PENGADILAN
RAKYAT Internasional atau The
International People’s Tribunal digelar
pada tahun 2015 di Den Haag, Belanda. Pengadilan itu mengangkat kejahatan
negara terhadap orang-orang yang diduga simpatisan dan anggota Partai Komunis
Indonesia setelah peristiwa berdarah September 1965.
Catatan tentang angka korban berbeda-beda, tergantung
versi siapa yang menginformasikan. Para korban tentu bukan semata data
statistik, mereka sepenuhnya manusia, dan pengalaman pahit yang menggedor
riwayat hidup mereka adalah kisah tentang kemanusiaan.
Rosidi namanya, biasa dipanggil Mang Idi. Ia salah
satu korban itu. Rosidi lahir di Cikawung, Kabupaten Cianjur, tahun 1931.
Sewaktu muda, Rosidi terkenal dengan julukan “Arjuna dari Cikawung.” Ia
mementingkan gaya, tampan, dan gemar bersolek. Demi penampilan, Rosidi pernah
menggunakan minyak stelped (pelumas mesin penggiling teh).
Selama hayat dikandung badan, Rosidi telah
menikah sebanyak enam kali. Mula-mula ia menikah dengan Mamah pada tahun 1953,
kemudian dengan Yuyum, Titik, Diah, Murtiyah, dan terakhir dengan Oneh pada
tahun 1964. Dari enam kali pernikahannya—setidaknya sampai buku ini terbit
pertama kali tahun 2016, Rosidi mempunyai 11 anak, 29 cucu, 14 cicit, dan 1 bao
(cucunya cucu).
“Saya lelaki, menikah dengan perempuan mana
saja yang saya mau. Asal orangnya mau,” ujarnya.
Pada 10 Oktober 1965, ia berkunjung ke rumah
pamannya dengan maksud hendak pamitan karena ia mendapat pekerjaan baru di
Goalpara, Sukabumi. Ia juga hendak berterimakasih atas kebaikan pamannya selama
bekerja di perkebunan teh Cikawung. Tak lama berselang, tentara datang. Pamannya
sedang di kamar, mungkin tahu bahaya tengah mengintai. Tak menemukan orang yang
dicari, akhirnya Rosidi diangkut sebagai tahanan pengganti, hanya karena ia
memiliki kartu SARBUPRI (Sarikat Buruh Perkebunan Republik Indonesia).
Bersama tahanan lain yang mayoritas tidak
tahu soal politik yang tengah membara di Jakarta, Rosidi dibawa ke penjara
Banceuy Cianjur. Ia diperiksa dengan sejumlah pertanyaan yang terkait dengan
malam jahanam di Halim.
“Saya belum pernah ke Jakarta. Ke Cianjur
juga baru sekarang ini. Saya tidak tahu apapun tentang pembunuhan di Halim,”
Jawab Rosidi.
Tentara tak percaya begitu saja, kemudian
Rosidi ditekan dengan kepemilikan kartu SARBUPRI, organisasi tersebut
ditengarai berafiliasi dengan PKI. Lagi-lagi Rosidi menjawab dengan polos dan
apa adanya, “Saya anggota SARBUPRI. Tapi tidak tahu tentang PKI.”
Semua jawaban Rosidi tak banyak menolong.
Meskipun ia dan tahanan lain tidak dibunuh seperti para tahanan di Jawa Tengah,
Jawa Timur, dan Bali, namun Rosidi dan rekan-rekannya harus menjalani kerja
paksa selama 13 tahun. Mengerjakan banyak hal yang bukan untuk dirinya. Ia
menebang pohon rasamala, menggali pasir dan mencari batu, membuat jalan
sepanjang 14 km, menjadi tukang masak dan pelayan restoran, membuka hutan untuk
ditanami palawija, sampai diselundupkan ke dalam bagasi mobil untuk menjalankan
tugas demi kepentingan pribadi tentara.
Keringat dan tenaganya diperas habis, namun
hasil dari kerjanya masuk kantong tentara, ia—kalau sedang beruntung—mendapat
sangat sedikit dari hasil kerjanya.
Oneh, istrinya yang keenam, ikut menemani
Rosidi hidup di kamp. Meskipun pada awalnya sempat dilarang oleh mertua, namun
Oneh berkeras. Ia tinggalkan pekerjaannya di perkebunan teh Bunga Melur, lalu
mencari suaminya yang ditangkap tentara dan tak pernah ada kabar.
“Saya ingin melihat Kang Rosidi. Hidup atau
matinya. Sampai di manapun, saya ingin melihat dengan mata kepala sendiri,”
ujar Oneh kepada mertuanya.
Di kamp yang serba darurat, Oneh melahirkan
beberapa anaknya. Untuk menghidupi keluarganya, Rosidi menggunakan tenaga,
waktu, dan akal sebaik-baiknya. Ketika menjalani kerja paksa menggali pasir dan
mencari batu, Rosidi menyisakan sedikit tenaganya untuk menjadi kuli pikul
belanjaan orang-orang yang pulang dari pasar. Selain itu, kalau diberi waktu
luang oleh komandan kamp, ia akan mencari kodok untuk kemudian dijual ke
seorang pengepul.
Ketika kodok susah didapat, Rosidi pernah
mencarinya sampai ke daerah Kecamatan Gekbrong, Cilaku, dan Cibeber yang
radiusnya 30 km dari Kamp Panembong. Uang dari hasil menjual kodok tersebut
biasanya dipotong dulu oleh seorang tahanan kepercayaan tentara. Merasa
dirugikan, Rosidi akhirnya bersiasat dengan tidak melaporkan jumlah pendapatan
secara keseluruhan. Kalau dapat uang Rp 500 ia bilang hanya dapat Rp 300,
supaya yang dibagi dua hanya Rp 300 itu, dan sisanya dapat ia gunakan untuk
kebutuhan keluarganya.
“Anak-anak saya yang lahir di Kamp Panembong,
dibesarkan dengan kodok dari hasil ngobor (kegiatan mencari kodok),” ujar Rosidi.
Rosidi dan keluarganya, juga para tahanan
lain yang akhirnya menetap di Sarongge, kerap dipandang dan mendapat perlakuan
buruk oleh masyarakat. Mereka dianggap orang-orang komunis yang harus dijauhi.
Karena hal itu juga, akhirnya beberapa anak Rosidi dinikahkan dengan anak-anak para
tahanan yang lain. Sarongge, kampung tempat mereka tinggal pun disebut Sarongge
Ubruk atau Sarongge buangan.
Hidup Rosidi yang sering kekurangan dan 13
tahun usianya dihabiskan di kamp tak membuat Rosidi melupakan nilai-nilai
kemanusiaan. Ia yang pernah enam kali menikah dan mempunyai banyak keturunan,
senantiasa menjaga tali silaturahmi. Salah satu anaknya dari Oneh pernah
ditolong oleh Mamah (istri pertama Rosidi) ketika melahirkan.
Rosidi
menggambarkan kekerabatan itu dalam kiasan Sunda, ‘pondok jodo, panjang
baraya’. Perjodohan bisa pendek, tapi kekerabatan, persaudaraan, lebih panjang.
Ketika Oneh sudah meninggal dan ia bertemu
dengan adik Oneh, Rosidi berucap, “Sekarang Oneh sudah tidak ada. Tapi jangan
buang saudara. Tinggal saya kakakmu. Kalau ada perlu, datanglah ke Sarongge,”
kata Rosidi.
Tosca Santoso, penulis buku ini yang
mengikuti Rosidi dalam ziarah dan napak tilas ke tempat-tempat yang sempat
disinggahinya, termasuk ke beberapa rumah saudara Rosidi, merasakan betul sikap
kekerabatan tersebut.
“Rosidi sangat peduli pada kekerabatan. Ia
merawatnya, juga dengan cerita-cerita dan hal-hal lucu yang tak mudah mereka
lupa,” tulis Tosca.
Cerita Hidup
Rosidi yang
diterbitkan oleh Kaliandra dan atas dukungan Aliansi Jurnalis Independen,
Yayasan Pantau, serta lembaga lainnya, mengingatkan pembaca bahwa korban sapu
bersih pasca malam berdarah 1 Oktober 1965 bukan sekadar data statistik, namun
kisah tentang anak manusia yang mengalami pelbagai cobaan dan kepahitan hidup.
Ia, sebagaimana yang didadarkan di Pengadilan Rakyat Internasional di Den Haag,
adalah sejarah yang harus dilihat, dibaca, dan diperlakukan secara adil.
[irf]
Tayang
pertama kali di pocer.co tanggal 3 Juni 2017
No comments:
Post a Comment