Pagi itu kamu sudah berada di komplek Balai Kota Bandung yang ramai. Ratusan ibu-ibu berusia senja tengah senam dipandu instruktur yang gesit, dan sebagian lagi ikut lomba gerak jalan. Kamu tak ikut bergabung dengan mereka, sebab kamu bukan ibu-ibu dan belum berusia senja, juga karena kamu hendak mengikuti sebuah perjalanan pendek yang akan mengubah perspektifmu terhadap tanaman untuk selamanya.
Sambil
menyantap bacang, kue clorot, kue kuk, dan kelepon, kamu menunggu peserta lain
yang satu persatu mulai berdatangan. Adalah Indischemooi, sebuah tour agency yang
belum lama lahir di Kota Bandung, yang mengadakan Biotour—kegiatan yang hendak
kamu ikuti itu.
Kegiatan
tersebut bertajuk “Bandung Botanical Garden”. Mulanya kamu heran dan
bertanya-tanya, “di mana kiranya Kebun Raya Bandung?” Yang kamu tahu kebun raya
hanya ada di Bogor yang tersohor itu. Tapi kamu kemudian paham ketika membuka leafletyang penyelenggara berikan. Di pengantarnya
tertulis, “Kota Bandung tersusun dari komplek perumahan, gang-gang sempit,
komplek perkantoran, permakaman, taman kota, pusat niaga, rumah ibadah, dan
ruang publik lainnya—yang semuanya membutuhkan tanaman untuk mendukung
kehidupan: ini yang kemudian kami narasikan sebagai Kebun Raya Bandung”.
Lalu di
paragraf berikutnya kamu dapati penjelasan lanjutan, “Tanaman tak mesti diisolasi
dalam satu wilayah, namun ia harus hadir dalam keseharian, dekat dengan warga,
dan dapat diidentifikasi manfaat dan mudaratnya. Dalam konteks pengelolaan
kota, hal ini akan memudahkan pemerintah dalam penataan ruang publik, sehingga
ke depan tidak ada lagi tanaman—misalnya, yang ditanam di pinggir jalan
sehingga membahayakan pengendara karena dahannya rapuh.”
Ketika semua
peserta sudah hadir, dan ibu-ibu senja yang tengah senam dan gerak jalan mulai
berkeringat, kegiatan pun dimulai. Arifin Surya Dwipa Irsyam namanya.
Panggilannya Ipin. Ia menjadi pemandumu dan peserta yang lain dalam kegiatan
itu. Dengan gayanya yang penuh gelora, ia mula-mula memaparkan keprihatinannya
ihwal perlakuan manusia terhadap tanaman yang tidak semestinya. “Kita kerap
memperlakukan tanaman hanya sebagai objek. Padahal mereka juga sama seperti
kita: makhluk hidup yang bernapas. Mereka bisa terluka, kesakitan, dan mati,”
ujarnya.
Trembesi
atau Ki Hujan namanya. Pohon ini tumbuh tak jauh dari kamu dan rombongan
berdiri. Ia menjulang dengan kanopi yang amat lebar. Pikiranmu seketika
melayang ke sebuah acara tentang binatang di televisi. Pohon ini seperti yang
kerap dijadikan markas macan tutul untuk mengamankan dan menyantap hasil
buruannya. Lalu Ipin menjelaskan bahwa pohon ini, dengan kanopinya yang lebar
dan akarnya yang kokoh, sebaiknya ditanam di tengah lapangan yang luas sebagai
peneduh. Trembesi tak cocok ditanam di pinggir jalan raya sebab akarnya akan
merusak trotoar. Dengan penjelasan tersebut, tahulah kamu bahwa di beberapa
titik di Kota Bandung, penanaman trembesi letaknya kurang tepat.
Kamu dan
rombongan kemudian berjalan menuju pohon berikutnya. Bacang, kelepon, dan
kue-kue lainnya sudah tandas. Amunisimu yang tersisa hanya sebotol air mineral
ukuran sedang.
“Seluruh bagian dari pohon ini mengandung senyawa saponin, yaitu senyawa untuk bahan pembuatan sabun. Dan ketika turun hujan, senyawa tersebut akan keluar melalui akar. Oleh karena itu, pohon ini tidak cocok ditanam di dekat jalan raya, sebab senyawa saponin akan membuat jalan menjadi licin, dan tentunya akan membahayakan pengguna kendaraan bermotor,” ujar Ipin ketika menjelaskan pohon Ki Sabun atau Kiara Payung.
Kemudian di
titik berikutnya Ipin menjelaskan pohon kayu manis. “Ciri khas dari kayu manis
adalah ketika daunnya kita remas, maka akan menimbulkan bunyi seperti kalau
kita meremas perkamen,” terangnya. Pohon ini selain bagus buat peneduh, juga
kulit batangnya bisa dimanfaatkan untuk olahan aneka kue dan masakan. Aroma
kulit batang dan daun kayu manis yang kamu cium seketika mengingatkanmu pada
kue-kue beraroma rempah.
Kamu tertawa
ketika Ipin berkata, “Pohon ini mempunyai buah yang panjang, hitam, keras, dan
di dalamnya mengandung cairan bening nan kental.” Pohon yang dimaksud adalah
Trengguli. Mulanya pohon ini dari India dan Sri Lanka. Disebarkan ke berbagai
belahan dunia karena dipercaya berkhasiat untuk menurunkan berat badan. Hal
tersebut disebabkan senyawa yang terkandung di dalam buah ini dapat dengan
efektif menyerap sari-sari makanan yang dikonsumsi oleh manusia. Selain itu,
buah trengguli juga bisa dijadikan bahan penyamak kulit binatang. Sedangkan
akarnya, karena mengandung anti bakteri, dapat mencegah perluasan luka terbuka
sehingga mempercepat penyembukan.
“Selanjutnya
kita akan melihat pohon yang namanya populer, namun sudah jarang ditemukan di
lingkungan perkotaan,” kata Ipin sambil memimpin rombongan menuju pohon
tersebut. Lalu kamu mendapati sebuah pohon besar yang cukup rindang dengan
beberapa buah menggantung sebesar kepalan anak kecil.
“Adakah yang
tahu ini pohon apa?” Semua terdiam, kecuali Ipin yang kemudian menjelaskan.
Pohon tersebut adalah kemiri atau muncang dalam bahasa Sunda. Kemiri merupakan
salah satu rempah populer selain pala, cengkeh, dan kayu manis. Di Indonesia
umumnya dijadikan sebagai salah satu bahan pembuat sambal dan bahan untuk
menyuburkan serta menghitamkan rambut. Selain itu, di daerah Papua, minyak
kemiri dijadikan sebagai bahan bakar untuk penerangan. Namun demikian, buahnya
yang masih muda mengandung racun yang dapat mengakibatkan iritasi kulit. Pohon
peneduh ini mulai jarang ditemukan di daerah perkotaan, termasuk di Kota
Bandung.
Setelah itu
kamu dan rombongan menuju pohon buni. Ini pun adalah salah satu pohon yang
buahnya cukup populer namun—setidaknya di daerah perkotaan tanah Sunda, kini
sudah jarang ditemukan. Buahnya yang kecil kerap dikonsumsi dengan cara
dirujak. Kemiri dan buni membawamu kepada masa lalu. Rasa-rasanya sambal kemiri
buatan ibumu yang pedas dan gurih masih tersisa di lidah. Adapun buni, kenangan
masa kecil bersama kawan-kawan seolah kembali hadir.
Kamu pernah
melihat bunga patrakomala yang terbuat dari perunggu di atas stilasi Bandung
Lautan Api. Dan kali ini kamu melihatnya yang asli, berwarna oranye dan kuning.
Tahun 1998, bunga ini dipilih sebagai simbol resmi flora Kota Bandung. Meski
demikian, bunga ini sejati bukanlah asli Bandung, tapi berasal dari Amerika
Selatan. “Karena memiliki warna yang cantik, patrakomala selalu dijadikan
sebagai tanaman hias. Namun perlu diketahui, seluruh bagian pohon patrakomala
sebenarnya adalah racun!” ujar Ipin.
Dari total
24 tanaman yang dibahas dalam kegiatan itu, favoritmu adalah oleander, bunga
cantik berwarna pink yang amat berbahaya. Racun yang terkandung dalam getah
oleander bila termakan dalam dosis tinggi bisa menyebabkan kematian. Kamu
bergidik ketika menyadari pohon oleander yang kamu dapati ditanam di pinggir
jalan raya, dan bersebelahan dengan trotoar. Lalu kelebatan-kelebatan mulai
berdatangan. Dalam remang lintasan imajinasi, kamu melihat seorang bocah
memetik daun pohon itu, memakannya, dan mulai sempoyongan.
Menjelang
dzuhur, kamu sudah tiba kembali di titik awal, di komplek Balai Kota Bandung
yang masih menyisakaan ibu-ibu berusia senja yang tengah beristirahat setelah
lomba gerak jalan selesai. Kamu dan ibu-ibu senja itu sama-sama berkeringat.
Kamu bergerak, mereka bergerak, menghela nafas di kota yang sama: Kota Bandung
yang bukan hanya dipadati taman, namun juga ragam tanaman yang mesti ditata
kelola dengan baik. [irf]
Tayang pertama kali di minumkopi.com tanggal 13 Juni 2017
No comments:
Post a Comment