“Saat kau mencintai sebuah kota, dan sering menjelajahinya
dengan berjalan kaki, tubuhmu, apalagi jiwamu, akan mengenal segala sudut
jalannya dengan baik.” (Orhan Pamuk : Namaku
Merah Kirmizi)
***
Ini tentang penamaan jalan dan daerah. Insulinde atau Archipelago
atau dikenal juga dengan Nusantara, di Bandung adalah sewujud nama-nama jalan
yang berada di sekitar Departemen van
Oorlog (Departemen Peperangan) yang sekarang menjadi Kodam III Siliwangi.
Namun ihwal penamaan ini pada akhirnya menjadi identitas dalam penelusuran
suatu wilayah.
Kawasan insulinde dihuni nama-nama jalan seperti Jalan
Kalimantan, Jawa, Sumatera, Ternate, Seram, Riau, Ambon, Saparua, Bali, Sumbawa,
Banda, Bangka, Belitung, Aceh, dan lain-lain. Penamaan ini diberikan sejak dari
masa kolonial. Tak heran jika taman yang berada di sekitar jalan-jalan ini
disebutnya “Insulinde Park” atau “Taman Nusantara”, yang kemudian lebih dikenal
dengan nama “Taman Lalu-lintas”.
Konon Belanda memberi nama jalan-jalan ini dengan nama-nama
pulau yang ada di Nusantara, sebagai simbol bahwa pulau-pulau tersebut adalah
wilayah yang harus mereka jaga dan pertahankan. Namun terlepas dari informasi tersebut,
pemerintah kolonial Belanda memang kerap menamai jalan secara berkelompok,
mungkin maksudnya adalah untuk lebih memudahkan dalam menelusuri suatu daerah.
Hal ini pernah disinggung oleh Us Tiarsa dalam bukunya yang
berjudul Basa Bandung Halimunan :
“Ti mimiti
Bandung jadi haminteu (gemeente) loba jalan anyar. Ku walanda dibėrė ngaran
anyar deuih. Sanajan kitu, teu sagawayah mėrė ngaranna tėh. Ngaran wayang, kabėh
ngaran wayang. Ayana di Pasirkaliki ka kulon. Ngaran gunung, ngaran gunung
wungkul. Ngaran wahangan, wungkul ngaran wahangan. Ngaran manuk laleutik ayana tėh
di Cihaurgeulis. Ari manuk galedė tur garalak ayana tėh di Ciroyom ka kulon.
Ngaran bungbuahan ngawungkul bungbuahan, ayana di Kebonwaru Kalėr. Ngaran
kekembangan ngagunduk di Cikudapateuh. Ngaran kota mah ayana tėh di Kebonwaru
Kidul.”
(Dari awal Bandung jadi gemeente
atau kota madya, banyak jalan baru. Oleh Belanda dikasih nama yang baru pula.
Meskipun begitu, tidak sembarangan dalam memberi nama jalan. Nama pewayangan,
semuanya pewayangan; adanya di daerah Pasirkaliki sebelah barat. Nama gunung,
semuanya nama gunung. Nama sungai, semuanya nama sungai. Nama burung-burung
kecil adanya di Cihaurgeulis—sekitar Gedung Sate. Kalau nama burung-burung
besar adanya di Ciroyom sebelah barat. Nama buah-buahan hanya buah-buahan, adanya
di Kebonwaru Utara. Nama-nama kembang berkumpul di Cikudapateuh. Dan nama-nama
kota adanya di Kebonwaru Selatan).
Dari diskusi dan berbagi informasi dengan Komunitas Aleut, Jl.
Sunda yang mulanya saya sangka termasuk juga ke dalam wilayah insulinde, ternyata
pengecualian. Penamaan Jl. Sunda termasuk baru jika dibandingkan dengan
nama-nama jalan yang masuk ke dalam wilayah insulinde.
Sunda sendiri sebetulnya mempunyai beberapa pengertian. Dulu
deretan pulau dari Bali dan Nusa Tenggara disebutnya kepulauan Sunda Kecil,
sedangkan beberapa peneliti asing justeru menganggap Sunda itu ya Nusantara. Silang
sengkarut pengertian ini konon terkait juga dengan bangunan kampus ITB yang
kata beberapa orang desainnya “Minang banget”, padahal kita tahu bahwa ITB letaknya
di wilayah yang didiami oleh etnis Sunda. Hal ini menjadi masuk akal kalau
Sunda diartikan sebagai Nusantara.
Pengertian Sunda kemudian hanya dikenal sebagai sebuah etnik di
wilayah Jawa bagian barat, dan juga agama leluhur yang disebut Sunda Wiwitan. Sampai
di sini mengertilah kita mengapa Jl. Sunda tidak termasuk ke dalam wilayah
insulinde.
Insulinde, seperti keterangan Us Tiarsa di atas, memang hanya
salahsatu pengelompokan nama jalan atau wilayah di Bandung. Maka pada
permulaannya, atau bahkan sebelum kompleks perumahan banyak dibangun,
mengidentifikasi sebuah wilayah di Bandung bisa dengan mudah dilakukan
berdasarkan pengelompokkan nama.
Namun kini hal tersebut jadi agak rumit, sebab banyak nama
kompleks perumahan yang namanya sama dengan nama wilayah yang sudah terkenal
lebih dahulu. Lagi-lagi Us Tiarsa pernah menjelaskan hal ini masih dalam buku
yang sama:
Teu matak
sasab jaman harita mah nyanyabaan di kota Bandung tėh. Babari ngapalkeunnana
ngaran jalan jeung ngaran lembur tėh. Ngawungkul, sawewengkon-sawewengkon. Asal
disebut wewengkonna weh, teu matak hėsė. Anyeuna mah apan matak riweuh. Loba nu
sarua. Ngaran jalan nu makė bubuahan, contona, apan di Ahmad Yani aya di
Cijerah aya. Margahayu, ngaran lembur di sabudeureun lapang udara lebah Sayati,
anyeuna mah dipakė ngaran kompleks di Rancabolang (di tukangeun kompleks
pertokoan Metro, Jl. By pass anyeuna). Malah Cipaganti ogė aya deuih di
Ciwastra.
Ongkoh
anyeuna mah mėrė ngaran patempatan tėh sasat dialus-alus tepi ka matak hėsė
nyebutna. Ngaran jalan di kompleks Margahayu Raya ogė apan makė ngaran planėt.
Di Gumuruh apan makė ngaran bėntang palak (astrologi). Rėa deuih nu dirobah
pėdah kadėngėna teu matak genah kana ceuli. Upamana waė Lemahneundeut Kulon
jadi Sarijadi. Ciborėtė jadi Kawaluyaan, Cilokotot jadi Margahayu Permai,
Balaindah jadi Balėėndah, jeung sajabana.
---Terjemahan tidak tersedia, tersebab lebih dari satu
paragraph; terlampau banyak. Capė euy nerjemahkeunna :D ---
Dalam buku Bandung Purba;
Panduan Wisata Bumi, serampangannya penamaan daerah di Bandung belakangan
ini pernah disinggung juga. Sebagai contoh, kompleks Bumi Asri kini terdapat di
mana-mana; di Padasuka, di Cijerah, dan di Margahayu. Jadi kalau mau mencari
alamat rumah atau kantor di Bumi Asri, mesti jelas dulu Bumi Asri yang mana,
jangan sampai tertukar, sebab Bumi Asri yang satu dengan Bumi Asri yang lain
jaraknya berjauhan.
Contoh lain adalah nama Padasuka. Kini terdapat komplek Padasuka
yang letaknya antara Padalarang dan Cimahi. Padahal Padasuka sudah terkenal ke
mancanegara dengan angklungnya adalah yang terletak di dekat Cicaheum, tempat
Saung Udjo berkesenian.
Contoh yang paling lucu barangkali kasus yang terdapat di utara
Rajamandala. Dalam Peta Topografi buatan AMS (USA), di hilir sungai Cimeta, ada
tempat yang bernama Rancabaeud. Namun waktu ditanyakan kepada orang tua di
daerah Ciburahol, apakah masih ada Rancabaeud, orang tua itu tersenyum sambil
berkata, “nama tempat itu kini sudah diganti menjadi Rawasari!” Demikian juga
di dekat Sayati, ada nama tempat Rancabusiat, kini sudah berganti menjadi
Rancakasiat. Kurang lebih seperti itu keterangan dari T. Bachtiar & Dewi
Syafriani sebgai pengarang buku tersebut.
“Apa arti sebuah nama?,” kata William Shakespeare. Mesti ada
orang yang membisikkan ke kupingnya, mungkin mang Ridwan kamil lebih tepat, katakan
kepadanya, “meh teu lieur keleuusss...!” [ ]
1 comment:
Keren mas tulisannya
Post a Comment