Saya terpaut sepuluh tahun dengannya. Sebuah jarak yang dipenuhi
kabut ingatan. Lamat-lamat dari album foto terekam beberapa gambar tentang
perjalanan rantau yang sangat dini. Dia pergi selepas lulus sekolah dasar di
kampung. Mula-mula yang disinggahinya adalah sebuah pesantren di Pabelan. Menurut
ceritanya, dia menangis hampir tiap hari dalam sebulan pertama menempuh
pendidikan di rantau orang. Sementara saya masuk sekolah dasar pun belum.
Sejak itu, riwayat pendidikan formalnya tak pernah kembali ke
kampung. Menikah dan berumah tangga pun di luar kota, sampai detik saat nafas
terakhirnya melayang, dia jalani semuanya di puak orang.
Komunikasi antara anak pertama dan anak kelima bukanlah jembatan
yang mulus, meskipun kami sama-sama anak laki-laki; hanya berdua dari tujuh
bersaudara. Saya percaya bahwa tiap generasi mempunyai bahasa dan alam pikirannya
sendiri yang berlain-lainan. Seperti ada gap
yang tak hendak kami seberangi.
Meskipun demikian, saya banyak berhutang kepadanya. Tak
terhitung pertolongan yang mengalir di nadi riwayat hidup yang pernah saya
lalui. Dari perspektifnya; anak pertama mesti jadi nakhoda kedua setelah
orangtua. Dan saya tak berdaya menolak semua kebaikannya.
Selepas di Pabelan, Surakarta adalah kota kedua perantauannya. Masih
di pesantren modern yang ketat, kemampuan bahasa asing diasah di sana. Kelak
kalau ada libur panjang dan pulang kampung, latihan mengajar di madrasah
tsanawiyah adalah pilihannya.
Sekira tiga minggu sebelum “pasar malam berakhir”, kawan-kawan
semasa SMA-nya datang yang disambut dengan linangan air mata. Barangkali haru
membuncah di lereng ingatan tentang masa jaya di kampus putih-abu. Memang dia
sempat aktif di OSIS, Calung, Band, dll. Dan mengenang hal tersebut dengan
orang yang sama, yang datang dari masalalunya, sementara kondisi kesehatan
semakin memburuk, memang bukan sesuatu yang mudah.
Do’a dan penyemangat membanjir, lalu terbang merambat ke langit.
Sementara rumah sakit masih dalam kondisi kelabu, tentang daya tahan tubuh yang
semakin menurun. Saya melemparkan pandangan ke arah gunung Malabar di selatan. Kabut
samar-samar menutupi puncaknya. Ya, barangkali puncak geografis itu laksana
harapan manusia, semakin tinggi semakin banyak pula halangannya.
Derap detik itu seperti menghitung mundur perpisahan dengan
hidup. Saya duduk di pinggir kasur, menatap kakinya yang semakin mengecil. Tak
lama nafasnya kembali berat.
Jika SMA dihabiskan di Cibadak-Sukabumi, maka Depok adalah
tempat melanjutkan untuk kuliah di Politeknik UI. Kalau kondisi lumayan baik,
dia suka cerita masa-masa kuliahnya. Dan satu yang dapat saya simpulkan;
baginya, masa kuliah tidak terlampau berkesan. Selepas wisuda, dan sampai akhir
hayatnya dihabiskan di jalan berliku dunia perbankan; sesuatu yang justeru tak
pernah berhasil saya tembus.
Telah beberapakali saya memandikan jenazah dan menyaksikan raga
diantarkan ke liang lahat, keduanya berhasil membuat hati menjadi luluh dan
bergetar. Namun sekali ini saya menyaksikan sesuatu yang lebih menggentarkan!
Pada awal sebelum yang penghabisan saya menemaninya di ruang
yang hanya merawat satu pasien. Besoknya dia ingin pindah ke ruangan yang
dihuni dua orang pasien, biar ada kawan katanya. Saya menuruti saja. Sementara
dari semalam kondisi pernafasannya semakin mengkhawatirkan; tak bisa tidur sampai
pagi. Di ruangan yang baru pun sama saja, serangan sesak semakin sering.
Kemudian datanglah hari Jum’at. Jam 10 pagi dia melontarkan
pertanyaan terakhir. Lalu badai dahsyat datang! Setelah menunggu kekalahan
selama 2 jam 15 menit, akhirnya dia tumbang.
Dulu waktu SD sebuah puisi tentang pahlawan yang gugur pernah
dia deklamasikan di depan orang banyak. Dan kini dia sendiri telah layu
dihadapan sang takdir dan ketentuan yang tak seorang pun mampu menolaknya.
Selamat jalan. Semoga kembali dengan jiwa yang tenang. Amin. [irf]
Dedicated to my old brother
No comments:
Post a Comment