19 December 2014

Ajo


Sempat juga, dulu, entah kapan saya lupa lagi, seorang kawan pernah bertanya tentang perempuan cantik, saya jawab saja Leigh Nash. Mantan vocalis Sixpence None The Richer itu memang cantik, terutama waktu membawakan Kiss Me. Gigi kelincinya menebarkan aroma innocent. Tapi sekarang dia sudah tua, lagi pula SNTR sudah bubar, dan kawan saya yang bertanya itu entah di mana, kabar terakhir posisi dia di Medan, jualan Bakpao katanya. 

Tapi saya masih ingat, dia dulu terlambat lulus alias pending gara-gara tugas akhirnya tersendat. Maka ketika saya dan kawan-kawan yang lain di wisuda di Sabuga ITB dan berhias toga macam pakaian Rama Aipama, dia hanya jadi penonton, ceria saja pembawaannya, entah perasaannya.  Di detik-detik ketika akhirnya para wisudawan mulai sibuk mencari kerja, dia malah sibuk di depan layar komputer, sendirian mengejar deadline demi wisuda gelombang kedua. Ralat, dia tidak sendirian tapi ditemani lagu Sway dari Big Runga.

Rokoknya Marlboro merah, tak penting betul saya ceritakan masalah cigarette ini, tapi memang dia tak mau jika harus membakar cigarette produksi Djarum yang aromanya, menurut dia, terlalu pekat. Sikapnya bersahaja-berkawan, dia adalah jenis sahabat yang nyaman di segala kondisi. Pernah sekali waktu, ketika tanggal sudah masuk ke penghujung bulan dan kiriman dari kampung belum datang, uang di kantong tak tersisa sepeser pun. Saya tergeletak tak berdaya di kamar kosan, tiba-tiba batang hidungnya muncul di balik pintu dan sebuah senyum pahit, dia datang dengan tangan penuh oleh kantong berisi dua bungkus nasi Padang dan dua bungkus rokok. “Untuk anak rantau kere macam kau,” katanya.

Beberapa dosen bersikap agak sinis kepadanya. Maklum saja, sebab dia lumayan sering bolos dan tugas sering terkatung-katung tak jelas kapan selesainya. Saya tak sampai hati menasehati, sebab saya tahu pada dasarnya dia cerdas, hanya saja beberapa gelintir setan penggoda kerasan tinggal di dirinya. Sekali saja sempat saya bilang, “kawan, pisau kau itu sebenarnya tajam, tapi mulai berkarat, asahlah sedikit.” Dan dia hanya, lagi-lagi, tersenyum pahit. Barangkali dia menyesal juga pada akhirnya, sebab tidak bisa lulus tepat waktu seperti kawan-kawan yang lain, tapi memang itu sudah terjadi, dan kini hanya menjadi kenang-kenangan bagi hidup yang begitu biru.

There she goes, there she goes again…,” suara Leigh Nash tengah mengusai kamar ketika dia, lagi-lagi, muncul tiba-tiba dari balik pintu. “Siapa yang pergi kawan?,” tanyanya. “She,” jawab saya. Lalu tawa pun pecah berderai-derai, nikmat betul. “Sejak kapan orang macam kau ditinggal cewe?, yang datang pun kaga pernah ada,” dan kami, saya dan dia tertawa lagi. Selain senyumnya, humor dia pun pahit, tapi tetap menghibur.

Braga, berapa kilometer jaraknya dari Sarijadi?, entah. Sekali waktu, sempat juga kami jalan kaki dari Sarijadi menuju Braga, bertiga, karena ditambah kawan satu lagi : Dani Batax Swasta. Yang ini pun bersahaja-berkawan. Ihwal gelar “Batax Swasta” adalah karena dia tak seperti umumnya orang-orang sekampung dia yang rata-rata bersuara lantang, dia malah kebalikannya. Tapi dia Batak tulen, ibu-bapaknya asli Sumatera Utara, hanya saja sudah terlalu lama tinggal di Bandung, jadi begitulah, dia lebih mirip orang Bandung, suaranya kadang-kadang seperti tertiup angin. Bukan rasis, tapi begitulah kenyataannya.

Malam hari waktu itu, dan hujan masih menyisakan rintik sebab sedari sore mengguyur deras kota Bandung. Kami seperti sedang napak tilas pasukan Siliwangi masa penjajahan yang hijrah berjalan kaki. Bertiga kami berjalan kaki membelah kota Bandung yang dingin sekaligus mengandung aroma romantik aneh yang membias dari lampu-lampu kota, tukang serabi, beberapa perempuan cantik yang nongkrong di Circle-K, dan wajah-wajah para pendukung Persib yang menyaksikan tim kesayangannya lewat pesawat televisi. Dan hidup tidak sama lagi setelah itu, sebab beberapa hari setelah membelah Bandung dengan berjalan kaki, kami akhirnya terpisah dijerat waktu yang mengiris di setiap milisekon hidup.

Sepotong ingatan masih tersisa. Sehari sebelum kami berpisah, kawan yang rokoknya Marlboro merah itu, di kamarnya yang berantakan, dengan mata entah nanar entah syahdu, didapati tengah mendengarkan Alicia Keys : Some People Want It All. Saya Tanya, “Sedang jatuh cinta kau rupanya kawan? Siapa yang kau sukai itu?” Dan dia menjawab pendek, sangat pendek, “She.” [ ]        


    

No comments: