Karel
Frederik Holle adalah salah seorang yang ikut dalam rombongan pelayaran warga
Belanda yang dipimpin oleh Guillaume Louis Jacques van der Hucth pada tanggal
25 September 1843. Rombongan yang berlayar dari Belanda itu hendak menuju tanah
harapan di timur jauh, yaitu sebuah negeri koloni yang bernama Hindia Belanda. Ia
yang waktu pelayaran masih berusia 14 tahun, pada perjalanannya menjadi salah
seorang pengusaha perkebunan di Priangan atau Preangerplanters yang sukses.
Mula-mula
ia menekuni pekerjaan sebagai seorang klerk
di Kantor Residen Cianjur, kemudian di Kantor Directie van Middelen en Domeinen
di Batavia. Setelah bekerja selama sepuluh tahun, ia rupanya tidak merasa puas.
Maka kemudian ia memutuskan untuk berhenti dan meninggalkannya pekerjaannya. KF
Holle lalu diangkat menjadi Administratur Perkebunan Teh di Cikajang, Garut.
Setelah itu lalu membuka Perkebunan Teh dan Kina Waspada (Bellevue) di kaki
Gunung Cikuray.
Dalam
menjalankan pekerjaan barunya di bidang perkebunan, KF Holle ternyata tertarik
dengan literasi dan kebudayaan Sunda. Dalam keseharian, seperti yang tertulis
dalam buku “Kisah Para Preangerplanters”
karya Her Suganda, KF Holle selalu berbicara dengan bahasa Sunda sebagai bahasa
pengantar dalam pergaulannya sehari-hari dengan masyarakat dan penguasa
setempat. Tak hanya itu, ia pun kerap berpakaian menyerupai kaum pribumi, seperti
memakai sarung dan kerepus.
Di
tempat barunya ia berteman dengan Moehamad Moesa (Hoofd Penghulu Limbangan),
juga dengan RA Lasminingrat, salah seorang putri Moehamad Moesa yang kemudian
menjadi tokoh pendidikan dan sastrawan wanita Sunda. Berkat dorongan KF Holle,
Lasminingrat berhasil mengarang dan menerjemahkan beberapa buku. Selain itu,
salah seorang murid KF Holle, yakni Hasan Mustapa (Hoofd Penghulu yang pernah
bertugas di Aceh dan Bandung), kemudian menjadi sastrawan Sunda yang berhasil
melahirkan banyak karya.
Salah
satu langkah penting yang pernah dilakukan KF Holle yaitu mendorong kawan-kawan
pribuminya untuk berkarya. Moehamad Moesa, berkat persahabatan dengannya
berhasil membuat beberapa karya yang dituangkan dalam buku, di antaranya :
“Wawatjan Woelangkrama” (1862), “Wawatjan Dongeng-dongeng Toeladan” (1862),
“Woelang Tani” (1862), “Wawatjan Satja Nala” (1863), “Wawatjan Tjarios Ali
Moehtar” (1864), “Elmoe Nyawah” (1864), “Wawatjan Woelang Moerid” (1865),
“Wawatjan Woelang Goeroe” (1865), “Wawatjan Pandji Woeloeng” (1871), dan
“Dongeng-dongeng Pieunteungeun” (1887).
Di
bawah pengawasannya, selain karya Moehamad Moesa, ada juga penulis pribumi lain
yang berhasil melahirkan karya, di antaranya; Adi Widjaja, patih daerah Limbangan
di Priangan, dan Bratawidjaja, mantan patih daerah Galuh di Kabupaten Sukapura
(Tasikmalaya). Produksi buku-buku berbahasa Sunda yang berada dalam pengawasan KF
Holle kira-kira berlangsung sampai 1880-an. Buku terakhir yang terbit di bawah
pengawasannya adalah “Pagoeneman Soenda djeung Walanda” (Buku Percakapan Sunda
Belanda), terbit pada tahun 1883. Dan yang terakhir dieditnya adalah “Mitra noe
Tani” (Sahabat Petani) terbit tahun 1896.
Di
bidang sejarah, KF Holle pernah menulis karangan tentang Dipati Ukur. Dari
beberapa versi cerita tentang Dipati Ukur yang beredar di masyarakat, ia menulis
tentang bupati Imbanagara dan Bagus Sutapura yang diceritakan memegang peranan
penting dalam penumpasan pemberontakan Dipati Ukur terhadap Kerajaan Mataram dan
reorganisasi pemerintahan di wilayah Priangan.
Tahun
1877, ia mentranskripsikan Prasasti Geger Hanjuang di Tasikmalaya yang tertuang
dalam tulisannya yang berjudul “Beschreven Steen uit de Afdeeling
Tasikmalaja Residentie Preanger”. Tulisan-tulisan lainnya banyak dijumpai
dalam majalah Tijchrift van het
Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen, Indische Gids, dan Tijdschrift van Landbouw en Nijverheid,
yakni majalah pertanian dan kerajinan.
Dengan
kemampuannya membaca bahasa Sunda Kuna, Holle juga sempat berusaha membaca
prasati Batutulis yang ada di Buitenzorg (Bogor). Tahun 1869, hasil
penelitiannya ditulis dengan judul “De Batoe Toelis te Buitenzorg”. Dalam
tulisannya ia menyimpulkan bahwa Pakuan didirikan oleh Sri Baduga.
Salah
satu bukunya yang paling populer, yang ia tulis bersama AW Holle (adiknya) adalah
“Tjarita koera-koera djeung monyet”. Cerita fabel ini kemudian menyebar secara
luas di kalangan masyarakat Sunda dengan judul “Sakadang Kuya jeung Sakadang
Monyet”. Cerita ini kerap didongengkan kepada anak-anak menjelang tidur. Buku tersebut
dianggap sebagai pelopor buku pegangan siswa di Jawa Barat yang diterbitkan
pada tahun 1851 oleh Lange & Co, sebuah penerbit swasta di Batavia.
Apa
yang dilakukan KF Holle di bidang literasi, menurut Mikihiro Moriyama dalam
buku “Semangat Baru; Kolonialisme, Budaya
Cetak, Dan Kesastraan Sunda Abad ke-19” merupakan salah satu dari gerakan
penemuan, pemurnian, dan pendayagunaan bahasa Sunda, setelah dua abad
sebelumnya dianggap tidak ada karena pengaruh kekuasan Mataram. Sepanjang abad
17 dan 18, bahasa tulisan yang dipakai dan berkembang di Tatar Sunda adalah
bahasa Jawa. Hal ini tak lepas dari dikuasainya tanah Priangan oleh Kerajaan
Mataram dari Jawa, dampak “penjajahan” Mataram ini terjadi di berbagai lini kehidupan,
salah satunya adalah bahasa. Maka tak mengherankan jika selama hampir dua abad
kesastraan Sunda berkembang menurut estetika Jawa.
Kondisi
terpinggirkannya bahasa Sunda akibat pengaruh Jawa tersebut, juga pernah
dikeluhkan oleh Moehamad Moesa dalam sebuah tulisan :
“Basa Soenda noe kalipoet / tanda jén
kalipoetan / boektina di Soenda sepi / hanteu aja boekoe woengkoel basa Soenda
/ Réja maké doewa basa / Nja éta salah-sahidji / Malajoe atawa Djawa.” (Moesa
1867: 5)
“Bahasa
Sunda yang tersembunyi / tanda bahwa ia tersembunyi / adalah bahasa Sunda
dipencilkan / tidak ada buku yang ditulis / hanya dalam bahasa Sunda /
kebanyakan ditulis dalam dua bahasa / yaitu salah satu di antara / bahasa
Melayu atau Jawa.”
Bahkan
kenyataan ini membuat pemerintah kolonial Belanda pada mulanya menganggap bahwa
di Pulau Jawa tidakak ada bahasa etnik lain selain bahasa Jawa. Barulah
kemudian pada abad ke-19, para intelektual Belanda yang berstatus pejabat
pemerintah kolonial, penginjil, dan partikelir yang hidup pada abad itu, menemukan
bahasa Sunda sebagai sebuah bahasa mandiri yang memiliki kosa kata dan struktur
tersendiri, yang artinya berbeda dengan bahasa Jawa yang sebelumnya dianggap
sebagai bahasa tunggal.
Apa
yang di lakukan KF Holle dalam pergaulan sehari-harinya yang banyak tercurahkan
terhadap budaya dan literasi Sunda, terutama persahabatannya dengan Moehamad
Moesa, juga karena ia sendiri menjabat sebagai penasehat kehormatan pemerintah
Hindia Belanda untuk urusan pribumi, kemudian melahirkan prasangaka dan kecurigaan,
baik dari kalangan pribumi maupun dari pihak Belanda. Mikihiro Moriyama
menyebut hal ini dengan kalimat yang tepat, yaitu “paduan ganjil antara
oportunisme, persahabatan, dan keingintahuan.”
Namun
bagaimanapun, peran KF Holle dalam perkembangan literasi Sunda kiranya tak
dapat diabaikan begitu saja. Ketika ia meninggal dunia pada tahun 1896, anak
lelaki Haji Moehamad Moesa yang bernama Kartawinata, menulis satu buku kecil
yang ternyata menandakan berakhirnya suatu zaman. Ya, zaman yang ditinggalkan KF
Holle dengan segala kecintaan dan peranannya terhadap perkembangan literasi
Sunda. [irf]
4 comments:
maaf gan, kalo blh tau apa aja sumber yang dipake dlm tulisan ini? trus dpt sumber dri mana?
maaf sebelumnya, kalo blh tau apa aja sih sumber yg dpke dlm tulisan ini? trus dpt sumber dri mana? thank's
1. "Kisah Para Preangerplanters" karya Her Suganda terbitan Kompas
2. “Semangat Baru; Kolonialisme, Budaya Cetak, Dan Kesastraan Sunda Abad ke-19” karya Mikihiro Moriyama terbitan Komunitas Bambu
3. "Ceritera Dipati Ukur" karya Edi S. Ekadjati terbitan Pustaka Jaya
Wah sangat membantu sekali untuk pencarian jejak sejarah. Ulasan bukunya keren-keren Kang. Kang kalu boleh usul blog-nya disetting untuk mobile friendly. Matur suksma.
Post a Comment