Tanggal 14-18 Oktober 2015, Indonesia berkesempatan
menjadi Guest of Honor atau Tamu
Kehormatan di gelaran Frankfurt Book Fair 2015. Pameran buku tertua di dunia
itu menghadirkan lebih dari 700 peserta dari berbagai negara, dan tiap tahunnya
menyedot jutaan pengunjung dari beragam lapisan masyarakat, terutama para
peminat dan pegiat literasi. Penerbit, penulis, pembaca, dan kolektor buku
tumpah-ruah di kota paling metropolitan di Jerman tersebut.
Tiap tahunnya, Frankfurt Book Fair
selalu mempunyai satu tamu kehormatan yang diberi ruang yang cukup lapang untuk
memamerkan--bukan hanya buku, namun juga budaya dan tradisi kontemporernya ke
hadapan khalayak dunia. Tahun lalu, yang menjadi tamu kehormatan adalah
Finlandia, dan tahun ini kesempatan itu bergulir ke tangan Indonesia.
Indonesia sebetulnya sudah ditawari
menjadi tamu kehormatan sejak beberapa tahun ke belakang, hanya saja Indonesia menolaknya
karena belum siap, dan baru menerimanya tahun 2013. Menjadi tamu kehormatan, di
satu sisi adalah kesempatan untuk tampil mempromosikan dunia literasi dalam
negeri ke publik dunia, namun di sisi lain bukanlah pekerjaan yang mudah, sebab
mesti menerjemahkan puluhan dan bahkan ratusan buku berbahasa Indonesia ke
dalam—minimal, bahasa Inggris. Namun karena pamerannya berlangsung di Jerman,
maka tentu akan lebih baik jika diterjemahkan pula ke dalam bahasa Jerman.
Maka sejak 2013, panitia yang
terhimpun dalam Komite Nasional; terdiri dari pemerintah, yang diwakili oleh
Kemendikbud, dan masyarakat yang diwakili oleh beberapa sastrawan serta para profesional
di bidang literasi, siang-malam bahu-membahu mempersiapkan diri agar pada
pelaksanaanya bisa berjalan lancar, dan Indonesia tampil dengan baik. Persiapan
dua tahun memang terhitung sangat sempit. Sebagai bandingan, Finlandia mempersiapkan
diri selama enam tahun jelang penampilannya sebagai tamu kehormatan.
Yang dilakukan mula-mula oleh panitia adalah
dengan menerjemahkan buku yang banyak beredar di masyarakat. Program yang
disubsidi oleh pemerintah ini, tentu pada pelaksanaannya ada proses kurasi
untuk menyaring buku apa saja yang layak diterjemahkan ke dalam bahasa asing.
Kriteria pemilihan buku dan karya
untuk Frankfurt Book Fair 2015 antara lain; karya tersebut merupakan karya
asli, artinya bukan terjemahan ataupun saduran. Lalu harus ditulis oleh Warga
Negara Indonesia, memiliki standar kualitas tinggi, tidak mengandung sentimen
anti SARA, dan karya tersebut tidak dalam status persengketaan hak cipta dan
hak penerbitan.
Untuk karya fiksi, ada beberapa syarat
khusus yang harus dipenuhi, di antaranya; ditulis dalam bahasa Indonesia, pernah
terbit di media massa cetak, dan karya yang menarik perhatian internasional.
Sementara untuk karya nonfiksi, karya
yang diajukan dapat berupa buku umum, buku anak, dan komik. Syarat yang harus dipenuhinya adalah; harus
memiliki ISBN, buku yang bersangkutan harus merupakan karya intelektual berupa
informasi, hasil renungan, atau pemikiran, baik yang bersifat ke-Indonesia-an
maupun yang bersifat universal. Selain itu, karya yang bersangkutan harus
mengangkat aspek-aspek kekayaan Indonesia di bidang alam/lanskap, arsitektur,
kesenian, kuliner, tekstil, dan lain-lain.
Beberapa buku, yang rata-rata
bersamaan dengan program penerjemahan yang disubsidi oleh pemerintah, berhasil
mencuri perhatian para penerbit asing, terutama Jerman. Tak kurang dari 18 buku
sastra yang terjual hak ciptanya ke bahasa asing. 16 di antaranya diterjemahkan
ke bahasa Jerman, dan 3 di antaranya ke lebih dari satu bahasa.
Buku-buku sastra yang diterjemahkan ke
lebih dari satu bahasa asing, dan hak ciptanya terjual yaitu; “Amba” karya
Laksmi Pamuntjak ke dalam bahasa Belanda dan Jerman. “Lelaki Harimau” karangan
Eka Kurniawan diterjemahkan ke bahasa Jerman dan Italia, dan “Pulang” karya
Leila S. Chudori ke dalam bahasa Jerman, Belanda, dan Italia.
Sementara karya lain yang semuanya
hanya diterjemahkan ke satu bahasa asing, yaitu; “Cantik itu Luka” (Eka
Kurniawan), “Dan Perang pun Usai” (Ismail Marahimin), “Don Quixote” (Goenawan
Mohamad), “Gadis Kretek” (Ratih Kumala), “Jangan Tulis Kami Teroris” (Linda
Christanty), “Jazz, Parfum, dan Insiden” (Seno Gumira Ajidarma), “Lumbung
Perjumpaan” (Agus R. Sardjono), “Nikah Ilalang” (Dorothea Rosa Herliany), “Pasung
Jiwa” (Okky Madasari), “Tarian Bumi” (Oka Rusmini), “Telegram” (Putu Wijaya), “Tuan
Tanah Kawin Muda; Hubungan Seni Rupa LEKRA, 1950-1965” (LEKRA), “Tuhan dan
Hal-hal yang Tak Selesai” (Goenawan Mohamad), “Ziarah” (Iwan Simatupang), dan “Sang
Pemimpi” (Andrea Hirata).
Frankfurt Book Fair, sekali lagi,
adalah pameran buku dan bukan festival penulis. Jadi konsepnya adalah penulis
yang mengikuti karya, dan bukan sebaliknya. Oleh karena itu, jika pada
pelaksaaannya ada penulis yang karyanya ikut dipamerkan namun berhalangan
hadir, hal tersebut tidak menyebabkan karyanya batal ditampilkan.
Dan tidak seperti pameran buku di
Indonesia yang pada umumnya cenderung konsumtif, artinya hanya ajang niaga para
penjual buku, di Frankfurt Book Fair kegiatan transaksinya lebih variatif.
Antar penerbit beda negara bisa saling beli hak cipta, hak terbit, dan
sebagainya. Bahkan pada dua hari pertama perhelatan tersebut, yang hadir khusus
para penerbit saja. Barulah pada hari ketiga, para pengunjung umum bisa masuk
ke ajang pameran.
Komite Nasional telah mengumumkan nama-nama
penulis dan narasumber yang akan tampil di Frankfurt. Para penulis dan
narasumber itu dibagi ke dalam beberapa kategori, yaitu; Buku Sastra &
Fiksi, Komik, Buku Anak, Buku Nonfiksi, Digital, Juru Masak & tokoh
Kuliner, Aktivis Literasi, serta Narasumber Seminar.
Sekadar menyebut beberapa contoh,
berikut daftar nama pengarang, komikus, pegiat literasi, tokoh kuliner, dan narasumber
yang hendak berangkat ke Frankfurt tersebut; Ahmad Fuadi, Avianti Armand, Ayu
Utami, Budi Darma, Dewi Lestari, Ika Natassa, Intan Paramaditha, Laksmi
Pamuntjak, Iksana Banu, Nirwan Dewanto, Beng Rahadian, Is Yuniarto, Muhammad Misrad,
Tita Larasati, Benny Rachmadi, Arleen Amidjaja, Renny Yaniar, Agustinus Wibowo,
Yoris Sebastian, Noor Huda Ismail, Taufik Assegaf, Bara Pattiradjawane, Budi
Lee, Ragil Imam Wibowo, Bondan winarno, William Wongso, Anton Solihin, Muhidin
M. Dahlan, Frans Magnis Suseno, Haidar Bagir, Endo Suanda dan lain-lain.
Ketika nama-nama tersebut diumumkan--terutama
di kalangan sastrawan, banyak terjadi perdebatan tentang siapa yang lebih layak
daripada siapa. Beberapa orang sastrawan melancarkan serangan dengan isu bahwa
yang berangkat ke Frankfurt tersebut dipilih atas dasar pertemanan dan bukan
karena karyanya bagus. Hal ini tentu dibantah oleh Komite Nasional yang
berperan selaku panitia.
Selain itu, perdebatan pun terjadi
ketika ada beberapa pihak yang menaruh kecurigaan kepada Komite Nasional,
khususnya Komite Buku dan Penerjemahan, terkait buku-buku yang hak ciptanya
terjual. Mereka menganggap bahwa Komite Buku dan Penerjemahan telah sengaja
memilih buku-buku tertentu untuk dilirik penerbit asing. Dan hal ini pun
lagi-lagi dibantah oleh panitia.
Husnie Syawie, selaku Ketua Komite Buku
dan Penerjemahan--seperti yang ia jelaskan kepada tim “Pulau Imaji” (akun
official Indonesia terkait Frankfurt Book Fair 2015), menjelaskan, “Saya tegaskan, kami selaku Komite Buku dan
Penerjemahan tidak mengarahkan buku tertentu kepada para penerbit luar. Proses
komunikasi antar penerbit sampai selesainya urusan copyright berjalan sewajarnya,” ujar Husni.
Komite penerjemahan,
kata Husni, hanya membantu memfasilitasi program penerjemahannya. Syaratnya,
karya tersebut sudah dibeli copyright-nya
oleh penerbit luar negeri. Pembelian copyright-nya
bisa langsung kepada pengarang dan penerbit Indonesia yang memegang right, atau melalui literary agent.
Karena selama ini karya para pengarang
Indonesia kurang begitu terkenal di luar negeri, dan sementara kesempatan untuk
menjadi tamu kehormatan telah digenggam, maka untuk membantu memperkenalkan
Indonesia di publik dunia, maka pada tanggal 28-30 Agustus 2015, Indonesia
tampil sebagai official theme country
di acara Museumsuferfest.
Museumsuferfest adalah gelaran seni
dan budaya terbesar di Eropa, yang diselenggarakan di tepi sungai Main,
Frankfurt. Tahun ini, Indonesia—karena posisinya sebagai official theme country, disediakan secara khusus untuk menggunakan
panggung utama yang luasnya mencapai 800 meter dan paling banyak dikunjungi
khalayak.
Beberapa penampil yang hadir di sana
di antaranya; Dwiki Darmawan, Dira Sugandhi, Mian Tiara, Djaduk ferianto dan Kua
Etnika, Hanuraga, Bonita & The Hus Band, JFlow, DJ Cream, Temu Gandrung,
Barong Osing, dan lain-lain. Penampilan mereka berhasil menyedot penonton dan
dengan sendirinya membantu memperkenalkan Indonesia yang akan menjadi tamu
kehormatan di Frankfurt Book Fair 2015.
Selain mengikuti Museumsuferfest,
Indonesia juga mengikuti beberapa pameran buku yang lain sebagai pemanasan
sebelum Oktober. Pada tanggal 12-15 Maret 2015, Indonesia mengikuti pameran
buku kedua terbesar di Jerman, yaitu Leipzig Book Fair. Lalu berpartisipasi
juga di Bologna Children Book Fair pada tanggal 30 Maret-2 April 2015. Dan yang
terakhir ikut hadir di London Book Fair yang diselenggarakan pada tanggal 14-16
April 2015.
Ketika Frankfurt Book Fair 2015
berakhir di tanggal 18, sepuluh hari setelahnya, Indonesia akan memperingati Hari
Sumpah Pemuda. Pada teks terakhir sumpah bertitimangsa 1928 itu, dengan jelas
terpancar semangat : “Kami Putra dan Putri Indonesia / Menjungjung Bahasa
Persatuan / Bahasa Indonesia.”
Bahasa Indonesia, dalam riwayat
panjang perjalanannya, selain menjadi bahasa persatuan, juga terus berkembang
dan digunakan, serta dimaknai lebih luas. Hari-hari ini, di Frankfurt, bahasa
Indonesia dengan beberapa terjemahannya, tampil di hadapan publik dunia. Ia tak
semata sebagai teks penyampai kisah, namun sebagai satu bahasa yang merekatkan
dan mempersatukan seluruh tumpah darah Indonesia. [ ]
No comments:
Post a Comment