Pundak
sebelah kanan, juga kiri, bergantian diberati laptop dan baju kotor. Saat itu,
memakai travel bag alih-alih ransel adalah keputusan yang patut
disesali. Bagaimana tidak, beban jadi tak seimbang, belum lagi saat naik motor,
mesti dipegangi agar tak jatuh atau berpindah tangan jika ada tangan jahil yang
menyambar.
Penitipan
barang di Stasiun Bogor hanya tersedia PopBox, layanan loker pintar yang tak
mudah dimanfaatkan oleh generasi milenial. Demikianlah, akhirnya travel bag
yang menjadi beban itu saya bawa serta ke TPU Blender, tempat Raden Mas Djokomono
Tirto Adhi Soerjo dimakamkan ulang.
“Oh,
yang di Kebon Pedes, ya?” tanya pengemudi ojek online.
Motor matik kemudian membelah Kota Bogor yang panas. Setelah melintasi rel kereta api, tujuan kian dekat. Namun, alih-alih menemukan gerbang utama, motor nyatanya masuk TPU Blender lewat belakang, mengikuti petunjuk warga. Beruntung saya menemukan kantor pengelola TPU tersebut.
“Pak Tirto pahlawan nasional?”
Saya
mengiyakan, motor matik kemudian menembus permakaman. Tak lama kemudian bertemu
dengan penjual bunga yang mengerutkan dahinya saat ditanya letak makam Tirto.
“Kompleks
makam keluarga Dewi Yull,” saya menegaskan. Barulah dia paham dan menunjukkan
letaknya.
Saya
sudahi duduk di belakang pengemudi ojek dan menyuruhnya kembali, lalu kasih
tabik. Nyatanya, saya mesti bertanya kepada tiga orang lagi sampai akhirnya
menemukan makam Tirto dalam kompleks berpagar yang dikunci.
Sabtu
siang, 11 Januari 2025, Matahari kian membakar, keringat berleleran. Saat mulai
duduk di pinggir sebuah pusara, seorang laki-laki paruh baya bertanya hendak ke
siapa. Saya sejenak mencerna pertanyaannya. “Hendak ke siapa?” Kok seperti mau
menemui orang hidup, padahal ini di pekuburan.
Setelah
tahu maksud saya, dia segera pergi memanggil “kuncen”, orang yang memegang
kunci kompleks pekuburan keluarga Dewi Yull yang di dalamnya terletak makam
Tirto.
Angin
pelit berembus. Pusara begitu padat berdempetan. Tak sekali dua saya menginjak
kubur. Memang hampir tak ada celah untuk meniti tanah kosong. Tak begitu jauh,
terdengar suara motor melintasi permakaman.
Laki-laki
setengah baya telah kembali, sementara “kuncen” belum kelihatan batang
hidungnya.
“Kemarin-kemarin
juga ada yang datang ke sini, alhamdulillah ngasih duit, lumayan buat beli
rokok,” ujarnya.
Tak
lama “kuncen” datang, membuka gembok, dan mempersilakan saya masuk ke kompleks
makam keluarga Dewi Yull. Dari luar kompleks permakaman keluarga Dewi Yull, pusara
Sang Pemula terhalang tembok—bangunan yang melindungi beberapa kubur di luar
kompleks tersebut. Maka, jika peziarah melongok dari luar pagar, memang akan
terlihat jauh dan tak bisa dijangkau.
Tiga
kuntum al-Fatihah saya kirimkan, membubung, menabrak dahan pohon kamboja dan terbang
ke langit luas. Langit tanah air merdeka yang berderak-derak diterjang
gelombang pasang. Gelombang yang meruntuhkan pagar api jurnalistik.
Saat
berdoa, seseorang berdiri di balik punggung. Rohman namanya. Dia mengaku
berusia 56 tahun. Mulai menjadi perawat makam keluarga Dewi Yull sejak 2006. Pendahulunya
telah meninggal digerogoti usia.
·
Rd. Ajusuhaehar Tirto Adhi Soerjo (wafat 3 Juni 1975 dalam
usia sekitar 102 tahun karena tanggal lahirnya tidak diketahui) à istri Tirto
·
R.M. Priatman Tirto Adhi Soerjo (lahir 15 Mei 1905-wafat 1982)
à anak Tirto
·
R.A. Siti Halimah Priatman Tirto Adhi Soerjo (wafat 1965) à menantu Tirto
·
H. R.M. Soendarjo, SH bin R.M. Priatman Tirto Adhi Soerjo (lahir
20 Agustus 1930-wafat 12 September 1987) à cucu Tirto
·
Hj. Ramie Modjo, SH binti H. Djamil Modjo (lahir 27 November
1935-wafat 23 April 2019) à istri cucu Tirto
Kira-kira
setelah waktu berjalan 45 menit, saya pamit. Rohman dan laki-laki paruh baya
yang memanggil Rohman di awal cerita ziarah ini—yang sabar menanti, saya kasih
uang rokok. Saat hendak memesan ojek online, saya baru sadar ternyata
makam Tirto tak jauh dari gerbang utama atau tempat parkir TPU Blender.
Kepada
pengendara ojek online yang datang beberapa menit kemudian, saya minta
tolong agar rutenya melewati Jalan Tirto Adhi Soerjo atau yang semula bernama
Jalan Kesehatan, lokasinya di Kecamatan Tanah Sareal, masih satu kecamatan dengan
TPU Blender.
Pada
10 November 2021, Wali Kota Bogor kala itu, Bima Arya Sugiarto, resmi mengganti
Jalan Kesehatan menjadi Jalan Tirto Adhi Soerjo atas permohonan Yayasan Priatman
untuk Negeri. Muhidin M. Dahlan alis Gus Muh menduga dipilihnya Jalan Kesehatan
karena Tirto sempat belajar di STOVIA—Sekolah Pendidikan Dokter Bumiputra.
Sebelum
Zuhur, saya telah kembali ke Stasiun Bogor. Pundak kepayahan, matahari kian
garang. Karena terlambat pulang ke rumah alias bergeser satu hingga dua hari
dari jadwal biasanya, roti unyil dan asinan jadi terlihat pantas dibawa serta. Tapi
karena hal itulah kelelahan makin menjadi karena keduanya berada di luar area
stasiun.
Sekira
pukul 13.10 bokong telah duduk di bangku tunggu. Dan pukul 14.00 KA Pangrango
mulai berjalan ke selatan, melintasi Bogor Paledang, Batutulis, Maseng,
Cigombong, Cicurug, Parungkuda, Cibadak, Karangtengah, Cisaat, dan berakhir di
Stasiun Sukabumi.
***
Dua hari
kemudian, yakni 13 Januari 2025, karena tidak tahu cerita ihwal pemindahan
makam Tirto dari Jakarta ke Bogor, pukul 13.10, lewat DM Instagram, saya
mengirim pesan kepada Raden Adjeng Dewi Pudjijati alis Dewi Yull, putri pasangan
H. R.M. Soendarjo dan Hj. Ramie Modjo, SH.
Tak
kurang, begini pesannya:
“Assalamualaikum
Selamat Siang, Bu Dewi
Perkenalkan saya Irfan Teguh,
wartawan dari media online Tirto.id. Saya bermaksud untuk menulis
ficer/feature tentang Pak Tirto.
Di media kami, tulisan tentang
sejarah dan riwayat Pak Tirto, baik sebagai tokoh pers maupun sebagai pahlawan
nasional sudah cukup banyak. Hanya saja informasi tentang pemindahan makam Pak
Tirto pada 30 Desember 1973 dari Mangga Dua ke Bogor belum banyak kami ketahui.
Maka itu saya hendak mengetahui
bagaimana cerita di balik ‘penemuan’ makam Pak Tirto yang wafat pada 1918 dan
pemakaman ulangnya di Bogor pada 1973.
Pada Sabtu (11 Januari 2025), saya
ziarah ke makam Pak Tirto di TPU Blender dan bertemu dengan Pak Rohman sebagai
penjaga makam tersebut. Namun beliau tidak mengetahui persis bagaimana proses
pemindahan makam itu.
Saya juga mengunjungi Jalan Kesehatan
yang kini telah berganti menjadi Jalan R.M. Tirto Adhi Soejo. Namun lagi-lagi
di sekitar ruas jalan tersebut tidak ada yang bisa saya tanya soal riwayat Pak
Tirto.
Dengan demikian, kiranya Bu Dewi
berkenan, saya bermaksud menimba cerita dan kisah di balik hal-hal yang saya
utarakan di atas. Juga dengan ini saya ingin mengonfirmasi apakah betul
keturunan dari Pak Tirto dari Boki Fatimah/Prinses Kasiruta di Pulau Bacan
memakai marga Sadar Alam atau Sedaralam.
Jawaban dari Ibu Dewi amat berharga
bagi saya yang menanti dengan pengharapan yang besar. Terima kasih. Hatur
nuhun.”
Pesan tak kunjung dibalas. Mengetahui
saya sedang menulis tentang Tirto, wapemred melempar satu nomor yang katanya
milik Okky, kerabat Tirto, namun tak jelas sebagai apa, entah cucu, buyut, atau
yang lain. Omong-omong, wapemred memang pernah terlibat dalam proyek “Seabad
Pers Kebangsaan” yang dikomandoi Muhidin M. Dahlan.
Tak banyak tanya, Rabu 22 Januari 2025, saya segera mengirim pesan via WA ke nomor tersebut yang isinya sama seperti yang saya sampaikan ke Dewi Yull via Instagram. Centang satu. Pesan tak juga terkirim. (irf)
No comments:
Post a Comment