27 January 2025

Ziarah ke Makam Pak Tirto

Tak sepeti biasanya, saya baru pulang Sabtu. Lazimnya Kamis atau Jumat sudah kembali ke Sukabumi dengan KA Pangrango. Dari kantor Tirto di Cipete Selatan, saya meluncur sekira pukul 8.00 pagi. Tiba di Stasiun Pasar Minggu, calon penumpang tak begitu ramai. Peron tampak lengang.

Pundak sebelah kanan, juga kiri, bergantian diberati laptop dan baju kotor. Saat itu, memakai travel bag alih-alih ransel adalah keputusan yang patut disesali. Bagaimana tidak, beban jadi tak seimbang, belum lagi saat naik motor, mesti dipegangi agar tak jatuh atau berpindah tangan jika ada tangan jahil yang menyambar.

Penitipan barang di Stasiun Bogor hanya tersedia PopBox, layanan loker pintar yang tak mudah dimanfaatkan oleh generasi milenial. Demikianlah, akhirnya travel bag yang menjadi beban itu saya bawa serta ke TPU Blender, tempat Raden Mas Djokomono Tirto Adhi Soerjo dimakamkan ulang.    

“Oh, yang di Kebon Pedes, ya?” tanya pengemudi ojek online.

Motor matik kemudian membelah Kota Bogor yang panas. Setelah melintasi rel kereta api, tujuan kian dekat. Namun, alih-alih menemukan gerbang utama, motor nyatanya masuk TPU Blender lewat belakang, mengikuti petunjuk warga. Beruntung saya menemukan kantor pengelola TPU tersebut.  

“Pak Tirto pahlawan nasional?”

Saya mengiyakan, motor matik kemudian menembus permakaman. Tak lama kemudian bertemu dengan penjual bunga yang mengerutkan dahinya saat ditanya letak makam Tirto.

“Kompleks makam keluarga Dewi Yull,” saya menegaskan. Barulah dia paham dan menunjukkan letaknya.

Saya sudahi duduk di belakang pengemudi ojek dan menyuruhnya kembali, lalu kasih tabik. Nyatanya, saya mesti bertanya kepada tiga orang lagi sampai akhirnya menemukan makam Tirto dalam kompleks berpagar yang dikunci.

Sabtu siang, 11 Januari 2025, Matahari kian membakar, keringat berleleran. Saat mulai duduk di pinggir sebuah pusara, seorang laki-laki paruh baya bertanya hendak ke siapa. Saya sejenak mencerna pertanyaannya. “Hendak ke siapa?” Kok seperti mau menemui orang hidup, padahal ini di pekuburan.

Setelah tahu maksud saya, dia segera pergi memanggil “kuncen”, orang yang memegang kunci kompleks pekuburan keluarga Dewi Yull yang di dalamnya terletak makam Tirto.

Angin pelit berembus. Pusara begitu padat berdempetan. Tak sekali dua saya menginjak kubur. Memang hampir tak ada celah untuk meniti tanah kosong. Tak begitu jauh, terdengar suara motor melintasi permakaman.

Laki-laki setengah baya telah kembali, sementara “kuncen” belum kelihatan batang hidungnya.

“Kemarin-kemarin juga ada yang datang ke sini, alhamdulillah ngasih duit, lumayan buat beli rokok,” ujarnya.

Tak lama “kuncen” datang, membuka gembok, dan mempersilakan saya masuk ke kompleks makam keluarga Dewi Yull. Dari luar kompleks permakaman keluarga Dewi Yull, pusara Sang Pemula terhalang tembok—bangunan yang melindungi beberapa kubur di luar kompleks tersebut. Maka, jika peziarah melongok dari luar pagar, memang akan terlihat jauh dan tak bisa dijangkau.

Tiga kuntum al-Fatihah saya kirimkan, membubung, menabrak dahan pohon kamboja dan terbang ke langit luas. Langit tanah air merdeka yang berderak-derak diterjang gelombang pasang. Gelombang yang meruntuhkan pagar api jurnalistik.

Saat berdoa, seseorang berdiri di balik punggung. Rohman namanya. Dia mengaku berusia 56 tahun. Mulai menjadi perawat makam keluarga Dewi Yull sejak 2006. Pendahulunya telah meninggal digerogoti usia.

Rohman tak banyak tahu tentang Tirto. Termasuk bagaimana kisah “penemuan” makam Tirto di Mangga Dua, Jakarta, hingga akhirnya dimakamkan ulang pada 30 Desember 1973 di TPU Blender, Bogor. Dia justru banyak bercerita tentang keluarganya. Konon, bapaknya seorang keturunan Tionghoa yang dibuang oleh keluarga karena menikah dengan ibunya yang seorang bumiputra.

Di kiri dan kanan pusara Tirto, terdapat makam istri, anak, dan cucunya. Berturut-turut:

·      Rd. Ajusuhaehar Tirto Adhi Soerjo (wafat 3 Juni 1975 dalam usia sekitar 102 tahun karena tanggal lahirnya tidak diketahui) à istri Tirto

·      R.M. Priatman Tirto Adhi Soerjo (lahir 15 Mei 1905-wafat 1982) à anak Tirto

·      R.A. Siti Halimah Priatman Tirto Adhi Soerjo (wafat 1965) à menantu Tirto

·      H. R.M. Soendarjo, SH bin R.M. Priatman Tirto Adhi Soerjo (lahir 20 Agustus 1930-wafat 12 September 1987) à cucu Tirto

·      Hj. Ramie Modjo, SH binti H. Djamil Modjo (lahir 27 November 1935-wafat 23 April 2019) à istri cucu Tirto

Kira-kira setelah waktu berjalan 45 menit, saya pamit. Rohman dan laki-laki paruh baya yang memanggil Rohman di awal cerita ziarah ini—yang sabar menanti, saya kasih uang rokok. Saat hendak memesan ojek online, saya baru sadar ternyata makam Tirto tak jauh dari gerbang utama atau tempat parkir TPU Blender.

Kepada pengendara ojek online yang datang beberapa menit kemudian, saya minta tolong agar rutenya melewati Jalan Tirto Adhi Soerjo atau yang semula bernama Jalan Kesehatan, lokasinya di Kecamatan Tanah Sareal, masih satu kecamatan dengan TPU Blender.

Pada 10 November 2021, Wali Kota Bogor kala itu, Bima Arya Sugiarto, resmi mengganti Jalan Kesehatan menjadi Jalan Tirto Adhi Soerjo atas permohonan Yayasan Priatman untuk Negeri. Muhidin M. Dahlan alis Gus Muh menduga dipilihnya Jalan Kesehatan karena Tirto sempat belajar di STOVIA—Sekolah Pendidikan Dokter Bumiputra.

Sebelum Zuhur, saya telah kembali ke Stasiun Bogor. Pundak kepayahan, matahari kian garang. Karena terlambat pulang ke rumah alias bergeser satu hingga dua hari dari jadwal biasanya, roti unyil dan asinan jadi terlihat pantas dibawa serta. Tapi karena hal itulah kelelahan makin menjadi karena keduanya berada di luar area stasiun.

Sekira pukul 13.10 bokong telah duduk di bangku tunggu. Dan pukul 14.00 KA Pangrango mulai berjalan ke selatan, melintasi Bogor Paledang, Batutulis, Maseng, Cigombong, Cicurug, Parungkuda, Cibadak, Karangtengah, Cisaat, dan berakhir di Stasiun Sukabumi.

***  

Dua hari kemudian, yakni 13 Januari 2025, karena tidak tahu cerita ihwal pemindahan makam Tirto dari Jakarta ke Bogor, pukul 13.10, lewat DM Instagram, saya mengirim pesan kepada Raden Adjeng Dewi Pudjijati alis Dewi Yull, putri pasangan H. R.M. Soendarjo dan Hj. Ramie Modjo, SH.

Tak kurang, begini pesannya:

 

“Assalamualaikum

Selamat Siang, Bu Dewi

Perkenalkan saya Irfan Teguh, wartawan dari media online Tirto.id. Saya bermaksud untuk menulis ficer/feature tentang Pak Tirto.

Di media kami, tulisan tentang sejarah dan riwayat Pak Tirto, baik sebagai tokoh pers maupun sebagai pahlawan nasional sudah cukup banyak. Hanya saja informasi tentang pemindahan makam Pak Tirto pada 30 Desember 1973 dari Mangga Dua ke Bogor belum banyak kami ketahui.

Maka itu saya hendak mengetahui bagaimana cerita di balik ‘penemuan’ makam Pak Tirto yang wafat pada 1918 dan pemakaman ulangnya di Bogor pada 1973.

Pada Sabtu (11 Januari 2025), saya ziarah ke makam Pak Tirto di TPU Blender dan bertemu dengan Pak Rohman sebagai penjaga makam tersebut. Namun beliau tidak mengetahui persis bagaimana proses pemindahan makam itu.

Saya juga mengunjungi Jalan Kesehatan yang kini telah berganti menjadi Jalan R.M. Tirto Adhi Soejo. Namun lagi-lagi di sekitar ruas jalan tersebut tidak ada yang bisa saya tanya soal riwayat Pak Tirto.

Dengan demikian, kiranya Bu Dewi berkenan, saya bermaksud menimba cerita dan kisah di balik hal-hal yang saya utarakan di atas. Juga dengan ini saya ingin mengonfirmasi apakah betul keturunan dari Pak Tirto dari Boki Fatimah/Prinses Kasiruta di Pulau Bacan memakai marga Sadar Alam atau Sedaralam.

Jawaban dari Ibu Dewi amat berharga bagi saya yang menanti dengan pengharapan yang besar. Terima kasih. Hatur nuhun.”

 

Pesan tak kunjung dibalas. Mengetahui saya sedang menulis tentang Tirto, wapemred melempar satu nomor yang katanya milik Okky, kerabat Tirto, namun tak jelas sebagai apa, entah cucu, buyut, atau yang lain. Omong-omong, wapemred memang pernah terlibat dalam proyek “Seabad Pers Kebangsaan” yang dikomandoi Muhidin M. Dahlan.

Tak banyak tanya, Rabu 22 Januari 2025, saya segera mengirim pesan via WA ke nomor tersebut yang isinya sama seperti yang saya sampaikan ke Dewi Yull via Instagram. Centang satu. Pesan tak juga terkirim. (irf)  

No comments: