Bandung sejak dulu terkenal dengan beragam kuliner. Dari peuyeum sampai borondong, yang bahkan kedua makanan itu diabadikan dalam bait-bait lagu. Hari ini Bandung pun menjadi salah satu kota tujuan wisata kuliner di Nusantara. Restoran, kafe, dan warung makanan tumbuh subur di kota ini, terutama di ruas-ruas jalan utama. Setiap akhir pekan, para wisatawan domestik kerap memenuhi tempat-tempat ini. Ada yang ingin mencicipi lezatnya makanan, namun tak sedikit pula yang hendak nongkrong dan menikmati suasananya.
Kuliner di
titik ini bukan hanya sekadar pemenuhun kebutuhan dasar, namun perlahan telah
beranjak menjadi gaya hidup. Konsep berjualan makanan dan minuman kemudian
berkembang. Para pemilik usaha ini tak lagi hanya menjajakan barang
dagangannya, namun dikemas sedemikian rupa agar pengunjung merasa nyaman.
Selain itu, para pemilik usaha pun terkadang mengedepankan idealismenya untuk,
misalnya—merepresentasikan minat personal, komunitas, dan lain-lain.
Jika dilihat
dari kacamata ekonomi dan budaya kota, perkembangan bisnis ini tentu mempunyai
kontribusi tersediri untuk mempertegas identitas kota yang hendak dicitrakan. Kota
Bandung dalam hal ini beruntung, sebab laju perkembangan bisnis kuliner dibarengi
dengan kerja dan konsep kreatif para pelakunya. Usaha mikro, kecil, dan
menengah ini mencuatkan satu kesadaran, bahwa kota tak melulu dibangun oleh
firma-firma raksasa, namun juga oleh segenap lini modal usaha yang hidup dan
bertahan di tengah medan laga ekonomi kreatif.
Salah satu
pemain di bisnis ini, tepatnya yang beroperasi di kawasan Bandung selatan
adalah Kedai Preanger. Bertempat di Jl. Solontongan No. 20 D, Buah Batu, kedai
yang fokus utamanya menjual sajian kopi dan teh, sampai saat ini setidaknya
telah menjalankan usaha selama satu tahun. Saat ditemui di kedai tersebut,
Ridwan Hutagalung—salah seorang pemilik, penggagas, dan pengelola kedai ini
menjelaskan seputar tempat usahanya.
“Sudah satu
tahun ini Kedai Preanger berdiri di sebuah ruko sewaan di Jl. Solontongan No. 20-D,
Buahbatu, Bandung. Ternyata tidak mudah membuka usaha yang awalnya ingin secara
khusus menyediakan berbagai jenis kopi dan teh dari penjuru wilayah Indonesia.
Untuk mendapatkan beragam kopi teh ini sudah merupakan kesulitan sendiri,“
ungkapnya.
Namun
demikian lanjut Ridwan, meskipun berjalan merayap dengan lambat, dengan
berbagai macam perubahan menu dan pergantian pegawai, mereka tetap mensyukuri
masa hidup yang sudah berjalan satu tahun ini. Durasi waktu yang tidak singkat,
mengingat banyak kedai, kafe, resto, atau apapun usaha yang sejenis ini
ternyata hanya mampu bertahan 1-2 bulan saja, lalu bubar.
Ide yang
kemudian dieksekusi dalam bentuk usaha ini, bagi Ridwan dan kawan-kawan (modal
patungan) memang disertai dengan idealisme tersendiri. Mereka melihat hal lain
dari kondisi kontemporer penjualan beberapa komunitas barang, khususnya teh dan
kopi, serta kecintaan mereka kepada tanah Priangan.
“Kedai
Preanger kami dirikan sebagai wadah usaha yang mungkin tidak melulu didorong
oleh kebutuhan berdagang, ada hal-hal yang lebih jauh dari itu. Belakangan ini
penjualan teh Indonesia sering diberitakan menurun, lalu kami menemukan berita
bagaimana teh putih Indonesia ternyata belum terlalu dikenal di dalam negeri,
dan fakta yang paling mudah ditemui yaitu bagaimana di negeri berpredikat
penghasil kopi terbaik dunia ini ternyata kafe-kafenya masih lebih banyak
menyediakan kopi-kopi impor. Satu alasan lain yang tak kalah penting adalah
kecintaan kami pada wilayah Priangan yang permai ini,” tutur Ridwan.
Bagi Ridwan
Hutagalung dan kawan-kawan, Priangan tercantik yang ada dalam benak mereka
adalah Priangan dengan hamparan perkebunan teh yang luas, dengan danau dan
kampung yang dikelilingi oleh pergunungan dan hutan lebat. Berjejak dari
gambaran tentang Priangan itulah kemudian mereka mengutamakan kopi dan teh.
Pada
perjalanannya, karena ditopang oleh jaringan pergaulan yang cukup luas, Kedai
Preanger salah satu kerap dikunjungi oleh konsumen yang berlatar hubungan
perkawanan yang datang dari banyak tempat, dan hendak mencoba ragam kopi atau
teh yang mereka sediakan. Para pengunjung menikmati suasana, bercengkrama
sambil berbagi cerita. Terkait hal ini Ridwan menjelaskan, “Mungkin bukan
racikan kopi dan teh yang luar biasa—kami pun tak pernah membuat klaim semacam
itu, apalagi dengan peralatan yang sangat seadanya saja, namun ada hal lain
yang dapat ditemukan di kedai kami ini,” tuturnya.
Karena
Ridwan Hutagalung dan beberapa koleganya adalah pendiri dan pegiat Komunitas
Aleut, maka kedai ini pun mengisi hari-harinya dengan basis komunitas. Kecintaan
pada Tanah Priangan dan visi Komunitas Aleut yang sejalan menjadi modal
tersendiri bagi pengembangan Kedai Preanger.
Seperti yang
telah dijelaskan di mula catatan ini, para pelaku yang menjalankan roda bisnis
ekonomi kreatif di bidang kuliner mempunyai konsep masing-masing yang unik. Dari
sudut pandang ini, Kedai Preanger mempunyai konsep dengan pendekatan komunitas,
yang seiring waktu komunitas itu mempunyai minat pada bidang sejarah, sastra,
budaya, dan banyak hal.
Salah satu
kegiatan yang dilakukan Komunitas Aleut di Kedai Preanger adalah acara Riungan
Buku. Di sini setiap pegiat Komunitas Aleut yang hadir meresensi buku secara
lisan. Kegiatan ini dilakukan setiap hari Sabtu. Mereka berdiskusi, bersilang
pendapat, kadang berdebat, dan belajar berdialektika. Inilah ikhtiar Kedai
Preanger sebagai sebuah usaha ekonomi mikro yang bergerak di bidang kuliner,
namun tak abai pada perkembangan dunia literasi.
Meskipun disesaki oleh lembaga
pendidikan yang tentu erat kaitannya dengan buku dan membaca, namun bagi dunia
literasi Bandung, tak mudah bertarung dengan arus deras konsumerisme. Bandung
hari ini, lebih terproyeksikan sebagai kota wisata kuliner dan fashion. Dua hal
tadi lebih riuh jika dibandingkan dengan tradisi membaca. Buku tak benar-benar
lekat dengan citra yang hendak dibangun dalam keseharian warganya. Namun hal
ini tak menjadikan para pegiat literasinya gentar, setidaknya bagi yang masih
bertahan, citra dan kondisi Bandung ini merupakan medan “jihad” yang sempurna.
Maka kiranya apa yang ditempuh
oleh Ridwan Hutagalung dan kawan-kawan melalui Kedai Preanger yang telah
berjalan selama satu tahun ini, adalah sebuah usaha menggabungkan dua hal yang
kerap diidentikan tak saling berhubungan, yaitu kuliner dan literasi.
Sebagai warga kota, apa yang
dikerjakan oleh para pemilik dan pengelola Kedai Preanger mungkin belum terlalu
banyak memberikan kontribusi banyak bagi Kota Bandung, namun setidaknya satu
semangat telah digulirkan. [irf]
PS : Tulisan ini pernah tayang di Majalah Karsa volume 4
No comments:
Post a Comment