03 July 2025

Awéwé Dulang Tinandé: Kekurangan dan Keniscayaan

Sejauh pengetahuan saya yang amat terbatas, salah satu pertimbangan membuat judul buku kumpulan cerpen adalah diambil dari salah satu cerpen yang paling menonjol dalam buku tersebut. Lain itu, barangkali ada juga yang memutuskan mengambil salah satu judul cerpen yang dianggap mewakili secara keseluruhan—meskipun hal ini terkadang sangat sulit karena beragamnya tema yang terkandung kumpulan cerpen tersebut.

Jika bersandar pada dua alternatif di atas, buku kumpulan cerpen karya Wiranta alias Tjaraka yang berjudul Awéwé Dulang Tinandé (2011) rasa-rasanya kurang tepat untuk mewakili isi secara keseluruhan. Juga jika dihubungkan dengan catatan Ajip Rosidi pada pengantar buku ini yang berjudul “Kahirupan Sosial Urang Sunda dina Carita-Carita Tjaraka (Wiranta)”, pemilihan cerpen “Awéwé Dulang Tinandé”, hemat saya, tidak pas.

Mari kita urai. Cerpen “Awéwé Dulang Tinandé” mengisahkan rumah tangga seorang habib (warga keturunan Arab) yang tinggal di salah satu kecamatan di Cirebon. Rumah keluarga itu tak jauh dari kantor kecamatan. Sekelilingnya dipagar tinggi. Saat musim kemarau melanda, hampir semua tetangganya mengambil air dari sumur rumah keluarga habib yang entah mengapa tidak ikut kering.

Yang menjadi perhatian banyak orang sebetulnya bukan hanya air sumur, tapi juga istri sang habib yang masih muda, ramah, dan cantik. Berita ini akhirnya sampai juga ke telinga sang camat yang kala itu masih bujangan.

Suatu sore, camat berkunjung ke rumah habib dan pintu pagar tinggi dibukakan oleh istri habib. Keduanya kemudian menuju teras rumah dan disambut sang habib yang kakinya tengah sakit. Tuan rumah minta maaf karena belum menghadap camat baru itu ke tempat tinggalnya karena kakinya belum kuat.

Pada kunjungan berikutnya, sang habib ternyata tengah bertandang ke Betawi selama beberapa pekan, kebetulan saat itu bulan puasa. Dari obrolannya dengan istri habib yang cantik itu, camat akhirnya menyimpulkan bahwa istrinya habib adalah awéwé dulang tinanda, atau perempuan yang menerima apa saja perintah dan pemberian suaminya secara ikhlas—pada kasus ini sang suami, yakni habib, usianya jauh lebih tua, sering sakit kaki, dan kerap meninggalkan istri cukup lama.

Kenapa menurut saya cerpen ini kurang tepat diambil sebagai judul buku? Karena dari 19 cerpen yang dihimpun, cerpen “Awéwé Dulang Tinandé” tidak ada persaman apapun dengan cerpen-cerpen lainnya, alias hanya berdiri sendirian. Bandingkan misalnya dengan cerpen “Haturan Agan Nunung Rajainten”, “Mustika Ragrag”, “Kalangkang Béntang”, dan “Ménak Baheula” yang semunya disatukan oleh benang merah kehidupan para priayi atau menak. Malah jika harus mengambil salah satu cerpen tersebut untuk judul buku akan lebih tepat jika mengambil “Kalangkang Béntang”, sebab judul ini menggambarkan garis batas antara kaum menak dengan cacah atau rakyat biasa.

***

Secara keseluruhan, yang paling menonjol dari buku ini adalah cerpen “Haturan Agan Nunung Rajainten”. Cerita yang disimpan di bagian pertama ini membuatnya secara kualitas begitu berjarak dengan cerpen-cerpen lainnya yang kebanyakan terasa karikatural, atau setengah jadi karena si pengarang seperti ingin segera mengakhiri kisah.

“Haturan Agan Nunung Rajainten” menceritakan hubungan percintaan antara dua orang remaja yang secara sosial beda kelas. Nunung, anak menak. Sementara tokoh abdi (saya) sebagai narator adalah anak rakyat biasa, paling tinggi hanya menak kajajadén atau menak jadi-jadian.

Hubungan keduanya berlangsung lewat komunikasi atau suara narator yang amat menegaskan batas. Undak usuk basa begitu jelas: mana buat orang lain dan mana untuk diri sendiri. Perhatikan contoh berikut:

“Agan gugah, abdi hudang. Pahareup-hareup bari sili pelong. Agan nyusut lambey, abdi gé nyusutan biwir. Agan nyusutan karinget, abdi gé nyusutan késang...”

Di luar itu, cerpen ini juga ditulis secara tuntas, lengkap dengan narasi-narasi yang menjurus seksual, kelakuan para menak yang seenaknya, hingga tragedi yang memaksa para tokohnya untuk ikhlas menerima takdir.

***

Seperti beberapa pengarang Sunda lainnya, Tjaraka juga termasuk angkatan lama, artinya mengalami zaman sebelum perang. Ia lahir di Congéang, Sumedang pada tahun 1902 dan meninggal di Bandung tahun 1983.

Buku kumpulan cerpen para pengarang senior ini adalah ikhtiar para pengarang Sunda generasi yang lebih muda untuk mendokumentasikannya dalam sebuah himpunan. Seluruh cerpen dalam buku Awéwé Dulang Tinandé (2011) diambil dari majalah Manglé. Maka itu, segala kekurangannya adalah keniscayaan dari semangat mengarsipkan warisan literasi sastra Sunda. [irf]

 

No comments: