Jika
bersandar pada dua alternatif di atas, buku kumpulan cerpen karya Wiranta alias
Tjaraka yang berjudul Awéwé Dulang Tinandé (2011) rasa-rasanya kurang
tepat untuk mewakili isi secara keseluruhan. Juga jika dihubungkan dengan
catatan Ajip Rosidi pada pengantar buku ini yang berjudul “Kahirupan Sosial Urang
Sunda dina Carita-Carita Tjaraka (Wiranta)”, pemilihan cerpen “Awéwé Dulang Tinandé”,
hemat saya, tidak pas.
Mari kita urai. Cerpen “Awéwé Dulang Tinandé” mengisahkan rumah tangga seorang habib (warga keturunan Arab) yang tinggal di salah satu kecamatan di Cirebon. Rumah keluarga itu tak jauh dari kantor kecamatan. Sekelilingnya dipagar tinggi. Saat musim kemarau melanda, hampir semua tetangganya mengambil air dari sumur rumah keluarga habib yang entah mengapa tidak ikut kering.
Yang
menjadi perhatian banyak orang sebetulnya bukan hanya air sumur, tapi juga
istri sang habib yang masih muda, ramah, dan cantik. Berita ini akhirnya sampai
juga ke telinga sang camat yang kala itu masih bujangan.
Suatu
sore, camat berkunjung ke rumah habib dan pintu pagar tinggi dibukakan oleh istri
habib. Keduanya kemudian menuju teras rumah dan disambut sang habib yang
kakinya tengah sakit. Tuan rumah minta maaf karena belum menghadap camat baru
itu ke tempat tinggalnya karena kakinya belum kuat.
Pada
kunjungan berikutnya, sang habib ternyata tengah bertandang ke Betawi selama
beberapa pekan, kebetulan saat itu bulan puasa. Dari obrolannya dengan istri
habib yang cantik itu, camat akhirnya menyimpulkan bahwa istrinya habib adalah
awéwé dulang tinanda, atau perempuan yang menerima apa saja perintah dan pemberian
suaminya secara ikhlas—pada kasus ini sang suami, yakni habib, usianya jauh lebih
tua, sering sakit kaki, dan kerap meninggalkan istri cukup lama.
Kenapa
menurut saya cerpen ini kurang tepat diambil sebagai judul buku? Karena dari 19
cerpen yang dihimpun, cerpen “Awéwé Dulang Tinandé” tidak ada persaman apapun
dengan cerpen-cerpen lainnya, alias hanya berdiri sendirian. Bandingkan misalnya
dengan cerpen “Haturan Agan Nunung Rajainten”, “Mustika Ragrag”, “Kalangkang Béntang”,
dan “Ménak Baheula” yang semunya disatukan oleh benang merah kehidupan para
priayi atau menak. Malah jika harus mengambil salah satu cerpen tersebut
untuk judul buku akan lebih tepat jika mengambil “Kalangkang Béntang”, sebab judul ini
menggambarkan garis batas antara kaum menak dengan cacah atau rakyat biasa.
***
Secara
keseluruhan, yang paling menonjol dari buku ini adalah cerpen “Haturan Agan
Nunung Rajainten”. Cerita yang disimpan di bagian pertama ini membuatnya secara
kualitas begitu berjarak dengan cerpen-cerpen lainnya yang kebanyakan terasa
karikatural, atau setengah jadi karena si pengarang seperti ingin segera
mengakhiri kisah.
“Haturan
Agan Nunung Rajainten” menceritakan hubungan percintaan antara dua orang remaja
yang secara sosial beda kelas. Nunung, anak menak. Sementara tokoh abdi (saya)
sebagai narator adalah anak rakyat biasa, paling tinggi hanya menak kajajadén
atau menak jadi-jadian.
Hubungan
keduanya berlangsung lewat komunikasi atau suara narator yang amat menegaskan
batas. Undak usuk basa begitu jelas: mana buat orang lain dan mana untuk diri
sendiri. Perhatikan contoh berikut:
“Agan
gugah, abdi hudang. Pahareup-hareup bari sili pelong. Agan nyusut
lambey, abdi gé nyusutan biwir. Agan nyusutan karinget,
abdi gé nyusutan késang...”
Di
luar itu, cerpen ini juga ditulis secara tuntas, lengkap dengan narasi-narasi
yang menjurus seksual, kelakuan para menak yang seenaknya, hingga tragedi yang
memaksa para tokohnya untuk ikhlas menerima takdir.
***
Seperti
beberapa pengarang Sunda lainnya, Tjaraka juga termasuk angkatan lama, artinya
mengalami zaman sebelum perang. Ia lahir di Congéang, Sumedang pada tahun 1902
dan meninggal di Bandung tahun 1983.
Buku
kumpulan cerpen para pengarang senior ini adalah ikhtiar para pengarang Sunda generasi
yang lebih muda untuk mendokumentasikannya dalam sebuah himpunan. Seluruh
cerpen dalam buku Awéwé Dulang Tinandé (2011) diambil dari majalah Manglé.
Maka itu, segala kekurangannya adalah keniscayaan dari semangat mengarsipkan
warisan literasi sastra Sunda. [irf]
No comments:
Post a Comment