Paham
dan kepercayaan yang telah mengakar ini, berpadu dengan omongan saudara dan
tetangga, juga salah paham, tak jarang melahirkan rasa minder, tak percaya
diri, yang pada akhirnya kerap memakan korban, salah satunya Uca.
Pegawai
biasa di salah satu kantor jawatan di Bandung ini sekali waktu bertemu dengan
Anah—wanita pegawai kantoran—yang sama-sama hendak mencegat oplet menuju tempat
kerjanya masing-masing. Pada pertemuan pertama keduanya langsung saling
tertarik, tapi tentu saja tak langsung saling mengenal. Mau kenalan sayang
sekali rasa malu lebih besar.
Baru
pada pertemuan yang ketiga, keduanya berani saling mengucapkan, “Wilujeng Énjing.”
Hanya itu. Tak lebih.
Namun,
seiring hari yang terus berganti, mereka akhirnya berkenalan, dekat, dan
berpacaran. Di titik inilah konflik mulai muncul. Ya, memang biasanya begitu,
kan? Hubungan dua manusia kerap serupa lilin yang rapuh.
Sekali
waktu Uca berkunjung ke tempat tinggal Anah. Dalam perbincangan, sampailah
pembahasan pada tempat kelahiran, dari mana berasal.
Anah berasal dari Kuningan, tepatnya di Jalan Pasapén, sebelah barat masjid agung. Singkatnya
dia orang kota. Sementara Uca sebaliknya, meski dia juga sama berasal dari
Kuningan, tapi kampung halamannya di Ciwaru, tepatnya di Pasirkadempét, jauh di
desa.
Karena
sadar dari kampung, Uca seketika minder. Padahal menurut Anah, dari mana saja
berasal, dari kota atau dari kampung, bukan itu yang utama, melainkan prinsip
dan agamanya.
“Tina
pok-pokan jeung pasemonna ku abdi katangén yén anjeunna téh isineun pédah
asalna tilembur singkur anu jauh ti kota. Ieu téh hartina, anjeunna ngarasa
leuwih handap batan urang kota pituin, ngarasa henteu satata jeung urang kota.
Cék saha henteu kolonial. Pandangan jeung sikep hirup kitu téh geus teu merenah
jaman anyeuna mah. Ku abdi henteu bisa ditarima, da puguh mangrupa warisan
jaman kolonial jeung féodal,” kata Anah kepada Ikah, kawannya.
Rasa
rendah diri Uca kian bertambah saat Anah mengaku bahwa dirinya anak seorang
pensiunan mantri polisi. Ia menganggap orang tua Anah lebih tinggi derajatnya
dibandingkan orang tuanya yang bekerja sebagai petani.
“Apan
ku pandangan jeung sikepna kitu téh ngandung harti yén anjeunna geus nempatkeun
darajat patani leuwih handap batan pangsiunan mantri pulisi, hartina
ngahinakeun patani, ngahinakeun sepuhna sorangan anu sakuduna dimulyakeun,”
sambung Anah.
Apa
yang dirasakan Uca, yakni minder saat tahu pasangannya secara status dan ekonomi
lebih dari dirinya, kiranya bukan urusan dia seorang. Kiwari, masih banyak
laki-laki yang “kuméok méméh dipacok”, mundur teratur karena merasa keluarganya
lebih rendah daripada keluarga pacarnya. Ini tentu saja beralasan, bisa jadi
dia khawatir nanti keluarganya dianggap tidak setara dan dihinakan. Tapi
bukahkah itu juga bisa dianggap sebagai ketakutan yang berlebihan?
Saya
ambil contoh nyata. Adik kawan saya hendak melamar pacarnya yang anak seorang
pensiunan TNI AU, orang Bandung kota. Kepada calon mertuanya dia berkata,”Bapak,
saya orang kampung, orang Jampang, lembur yang jauh dari pusat Kota Sukabumi. Saya
kerja di sebuah toko, dan hendak melamar anak bapak. Kiranya bapak mengizinkan.”
“Jika
bapaknya tidak ngasih, ya sudah, yang penting saya sudah sampaikan apa adanya,”
kata dia kepada saya saat bersua di kampung, di sebuah mudik lebaran.
Nyatanya
sang mertua merestui, kini dia sudah beranak dua. Sehat sentosa.
Kembali
ke cerita Uca dan Anah, selain minder, Uca juga ternyata kerap berlaku lancung.
Mula-mula dia jadi guru di kampungnya. Tapi karena ingin jadi orang kota, dia akhirnya
mengajukan pindah dengan sejumlah uang pelicin.
Di Bandung,
saat ditempatkan di sebuah jawatan, dia berkesempatan untuk kuliah dengan
dibiayai kantor. Namun, karena ingin hidup mewah, dia sibuk “berbisnis” hingga
melupakan kuliah dan bahkan jarang masuk kerja.
Menghadapi
dua noda pada diri Uca, yakni minder dan lancung, Anah muntab. Ia yang jujur
dan menginginkan suami yang juga jujur—sesuai dengan prinsip hidupnya, akhirnya
tak kuasa membendung amarah.
Bagaimana kesudahannya? Pembaca bisa mengikutinya langsung di novela setebal 43 halaman ini. Ceritanya sederhana, tapi relevan dan menohok bagi setiap laki-laki yang tingkat keberaniannya begitu mengkhawatirkan. [irf]
No comments:
Post a Comment