02 July 2025

Wilujeng Énjing: Surat untuk Laki-laki Penakut

Dalam budaya Jawa dikenal istilah bibit (keturunan/asal-usul), bebet (status sosial ekonomi), dan bobot (kualitas diri/kepribadian dan pendidikan) dalam memilih pasangan hidup. Trilogi ini begitu populer hingga kadang menjalar ke suku-suku lain di luar Jawa.

Paham dan kepercayaan yang telah mengakar ini, berpadu dengan omongan saudara dan tetangga, juga salah paham, tak jarang melahirkan rasa minder, tak percaya diri, yang pada akhirnya kerap memakan korban, salah satunya Uca.

Pegawai biasa di salah satu kantor jawatan di Bandung ini sekali waktu bertemu dengan Anah—wanita pegawai kantoran—yang sama-sama hendak mencegat oplet menuju tempat kerjanya masing-masing. Pada pertemuan pertama keduanya langsung saling tertarik, tapi tentu saja tak langsung saling mengenal. Mau kenalan sayang sekali rasa malu lebih besar.

Baru pada pertemuan yang ketiga, keduanya berani saling mengucapkan, “Wilujeng Énjing.” Hanya itu. Tak lebih.

Namun, seiring hari yang terus berganti, mereka akhirnya berkenalan, dekat, dan berpacaran. Di titik inilah konflik mulai muncul. Ya, memang biasanya begitu, kan? Hubungan dua manusia kerap serupa lilin yang rapuh.   

Sekali waktu Uca berkunjung ke tempat tinggal Anah. Dalam perbincangan, sampailah pembahasan pada tempat kelahiran, dari mana berasal.

Anah berasal dari Kuningan, tepatnya di Jalan Pasapén, sebelah barat masjid agung. Singkatnya dia orang kota. Sementara Uca sebaliknya, meski dia juga sama berasal dari Kuningan, tapi kampung halamannya di Ciwaru, tepatnya di Pasirkadempét, jauh di desa.

Karena sadar dari kampung, Uca seketika minder. Padahal menurut Anah, dari mana saja berasal, dari kota atau dari kampung, bukan itu yang utama, melainkan prinsip dan agamanya.

“Tina pok-pokan jeung pasemonna ku abdi katangén yén anjeunna téh isineun pédah asalna tilembur singkur anu jauh ti kota. Ieu téh hartina, anjeunna ngarasa leuwih handap batan urang kota pituin, ngarasa henteu satata jeung urang kota. Cék saha henteu kolonial. Pandangan jeung sikep hirup kitu téh geus teu merenah jaman anyeuna mah. Ku abdi henteu bisa ditarima, da puguh mangrupa warisan jaman kolonial jeung féodal,” kata Anah kepada Ikah, kawannya.

Rasa rendah diri Uca kian bertambah saat Anah mengaku bahwa dirinya anak seorang pensiunan mantri polisi. Ia menganggap orang tua Anah lebih tinggi derajatnya dibandingkan orang tuanya yang bekerja sebagai petani.

“Apan ku pandangan jeung sikepna kitu téh ngandung harti yén anjeunna geus nempatkeun darajat patani leuwih handap batan pangsiunan mantri pulisi, hartina ngahinakeun patani, ngahinakeun sepuhna sorangan anu sakuduna dimulyakeun,” sambung Anah.

Apa yang dirasakan Uca, yakni minder saat tahu pasangannya secara status dan ekonomi lebih dari dirinya, kiranya bukan urusan dia seorang. Kiwari, masih banyak laki-laki yang “kuméok méméh dipacok”, mundur teratur karena merasa keluarganya lebih rendah daripada keluarga pacarnya. Ini tentu saja beralasan, bisa jadi dia khawatir nanti keluarganya dianggap tidak setara dan dihinakan. Tapi bukahkah itu juga bisa dianggap sebagai ketakutan yang berlebihan?

Saya ambil contoh nyata. Adik kawan saya hendak melamar pacarnya yang anak seorang pensiunan TNI AU, orang Bandung kota. Kepada calon mertuanya dia berkata,”Bapak, saya orang kampung, orang Jampang, lembur yang jauh dari pusat Kota Sukabumi. Saya kerja di sebuah toko, dan hendak melamar anak bapak. Kiranya bapak mengizinkan.”

“Jika bapaknya tidak ngasih, ya sudah, yang penting saya sudah sampaikan apa adanya,” kata dia kepada saya saat bersua di kampung, di sebuah mudik lebaran.

Nyatanya sang mertua merestui, kini dia sudah beranak dua. Sehat sentosa.

Kembali ke cerita Uca dan Anah, selain minder, Uca juga ternyata kerap berlaku lancung. Mula-mula dia jadi guru di kampungnya. Tapi karena ingin jadi orang kota, dia akhirnya mengajukan pindah dengan sejumlah uang pelicin.

Di Bandung, saat ditempatkan di sebuah jawatan, dia berkesempatan untuk kuliah dengan dibiayai kantor. Namun, karena ingin hidup mewah, dia sibuk “berbisnis” hingga melupakan kuliah dan bahkan jarang masuk kerja.

Menghadapi dua noda pada diri Uca, yakni minder dan lancung, Anah muntab. Ia yang jujur dan menginginkan suami yang juga jujur—sesuai dengan prinsip hidupnya, akhirnya tak kuasa membendung amarah.  

Bagaimana kesudahannya? Pembaca bisa mengikutinya langsung di novela setebal 43 halaman ini. Ceritanya sederhana, tapi relevan dan menohok bagi setiap laki-laki yang tingkat keberaniannya begitu mengkhawatirkan. [irf]


No comments: