Pada peringatan 100 tahun Albert Camus beberapa waktu ke
belakang, di linimasa jejaring sosial tiba-tiba ramai dengan kata “flaneur”. Flaneur adalah bahasa Prancis yang
artinya terkait dengan orang yang suka jalan-jalan, keluyuran di dalam sebuah
kota tanpa tujuan yang begitu pasti. Camus adalah seorang flaneur, ini diperkuat dengan banyaknya foto dia yang ambil di
ruang terbuka; trotoar, misalnya. Seseorang menulis di twitter untuk
mempermudah memahami arti kata flaneur
dengan mengutip puisi Chairil Anwar :
Flaneur, pengeluyur mana-suka, pelancong
iseng. Mereka pasti ngeh dengan baris
dari Chairil ini : “Waktu jalan, aku tidak tahu apa nasib waktu.”
Ihwal kenapa Camus begitu ramai dibicarakan di linimasa
jejaring sosial di Indonesia, barangkali tidak cukup mengagetkan, setidaknya
jika membaca kembali sebuah tulisan Goenawan Mohamad (selanjutnya ditulis GM) yang
terhimpun di buku Setelah Revolusi Tak
Ada Lagi. GM menulis bahwa ketika Asrul Sani pada tahun 1950-an berkunjung
ke Eropa, dia menulis sepucuk surat yang kemudian dimuat di sebuah majalah
kebudayaan di Indonesia tentang apa yang dialaminya. Dalam surat itu Asrul Sani
menyebut Camus, dia terpikat dengan pemikirannya. Beberapa waktu kemudian Asrul
Sani menerjemahkan sebuah lakon karya Camus : Caligula. Selain itu, La
Paste, novel Camus, terbit di tahun 1984 yang diterjemahkan oleh Nh. Dini,
salah seorang sastrawan Indonesia.
Flaneur, hanyalah sisi lain dari Camus, atau
barangkali sisi lain yang hanya diperbincangan di Indonesia. Tapi ada yang
menarik, setidaknya dalam imajinasi saya; jika linimasa diibaratkan kota, dan
kata adalah manusia, kira-kira bagaimana nasib Kata (dengan ‘K’ besar)?
Karlina Supelli, dalam Pidato Kebudayaan yang disampaikan
pada tanggal 11 November 2013, di Teater Jakarta, menyebutkan bahwa “informasi
menggantikan kebenaran.” Kata, sebagai alat untuk menyampaikan informasi (benar
ataupun salah) dan kebenaran, di titik ini bisa dimaknai lebih dalam. Dia bisa
saja hanya sehimpunan ucap “aborsi” yang tertulis, terhambur prematur, atau
muntah begitu saja tanpa terbebani apa
pun yang mengalir dari lereng pikiran dan pemahaman. Dia bisa juga menjadi
“seorang” flaneur di linimasa
berkapasitas 140 karakter. Ya, di kota yang sempit itu, dia bisa melancong iseng,
bebas, sekaligus terbatasi.
Jika menilik ke beberapa linimasa jejaring sosial yang
beragam, ada satu kecenderungan bahwa Kata sebagai pelaku penyampai komunikasi,
kerap bernasib lemah. Dia seringkali hanya dipakai untuk menyampaikan komentar
(sebuah pengertian untuk sesuatu yang kurang menitikberatkan gagasan), curhat, keluhan
banal, dan adu argumen tak lengkap (twitter menyebut ini dengan ‘tweetwar’).
Salahsatu pokok dari delapan poin Siasat Kebudayaan yang
disampaikan Karlina Supelli adalah; “Membangkitkan
kembali kebiasaan berpikir serius, bukan sekadar melempar komentar.” Jika ‘berpikir
serius’ diidentikkan dengan kemauan untuk memilih kata dengan baik, berusaha
menyampaikan gagasan dengan jelas, dan ada jeda untuk berpikir yang dalam dan
terukur, maka barangkali mayoritas lalulintas linimasa memposisikan sebaliknya.
Dalam ruang publik Kata, sebelum kita larut dalam linimasa
seperti sekarang, kita terlebih dahulu mengenal yang namanya blog. Meskipun
bisa diakses oleh siapa saja seperti halnya jejaring sosial yang dikenal
belakangan, namun blog lebih memberikan ruang untuk menuangkan gagasan secara
lengkap. Kalau pun “gagasan” dianggap terlampau “mengawang-awang”, setidaknya
curhat pun bisa lebih leluasa mengalirkan hujan emosi dan sensasi-sensasi. Blog
memberikan ruang untuk menakar Kata, di sana segala yang ingin disampaikan bisa
dihela perlahan-lahan. Jika linimasa adalah jalan, maka blog ibarat rumah. Jika
linimasa adalah arena berlari, maka blog adalah tempat istirahat untuk
memulihkan energi. Jika linimasa arus deras, maka blog adalah aliran yang
bergerak perlahan. Bila linimasa tempat rantau, blog adalah kampung halaman.
Mengertilah kita, kenapa Irwan Bajang--seorang pegiat buku--membuat
semacam proyek “mudik” ke blog. Dia mengajak siapa saja yang “pernah” punya
blog, untuk kembali ke rumah lamanya untuk sekadar mencabuti rumput liar di
halaman rumah. Saya tidak bisa membuktikan dengan angka, namun sekarang ini
meninggalkan blog dan bergiat di linimasa bukan lagi sebuah gejala, namun
barangkali sudah menjadi budaya. Kita dengan begitu masif menjelma menjadi
penikmat respon cepat yang bermujud dalam hujan komentar dan perang argumentasi
tawar.
Seorang kawan bilang, “dulu beberapa saat setelah bangun
tidur, kita biasanya menulis di blog, sekarang langsung berselancar di
linimasa.” Ibarat panggung, blog tidak terutama dibangun dengan gebyar
penonton, tempik-sorak, dan hingar-bingar tetabuhan. Dia laksana mimbar kuliah
subuh di mula pagi, tempat orang-orang meniti jalan sunyi, mengais sebisa-bisa
“arti” yang tersembunyi. Tidak semua memang, sebab di perpustakaan digital
raksasa bernama Google pun kita bisa dengan mudah menemukan blog yang berisi
cerita-cerita pembangkit birahi. Namun justru semakin menguatkan, bahwa blog
bisa sangat leluasa untuk mendedahkan hasrat purba sekalipun. Sebagaimana
rumah, kita pun mengenal yang namanya rumah bordil.
Perkembangan piranti digital yang bersemayam dalam gadget, yang
kita mengikuti (salahsatunya) untuk sekadar berkomunikasi dalam lautan
linimasa, mencuatkan satu identifikasi; bahwa hal yang paling dekat dengan kita,
hari ini, adalah Kata. Frase “siasat kebudayaan” sangat mungkin untuk diawali
dari yang paling dekat itu. Kata adalah jalan, yang siapa pun bisa
menempuhnya.
Dalam dua ruang yang berbeda, blog dan linimasa, setiap kita
dan Kata selalu punya pilihan; menjadi flaneur
atau merawat rumah sendiri. Atau mungkin keduanya; keluyuran dulu sepuasnya,
untuk kemudian pulang meredakan lelah. Dan di atas keduanya, nasib Kata
dipertaruhkan. [ ]
Pernah dimuat di Tribun Jabar edisi Sabtu, 23 mei 2015
No comments:
Post a Comment