Setelah menyelesaikan
International Writing Program 2010 di
IOWA University, Andrea Hirata datang lagi ke gelanggang sastra Indonesia
dengan novel terbarunya yang berkisah tentang hubungan ayah dan anak, namun
sekaligus dibalut dengan cerita perkawanan dan cinta yang getir.
Kali ini dari segi bangunan cerita lebih
bisa dipertanggungjawabkan. Berbeda dengan Laskar
Pelangi yang melambungkan namanya namun penulisannya tidak fokus, atau
bahkan dengan novel-novel dia yang lainnya, Ayah
menampilan ramuan kisah, plot, dan twist yang
cukup kokoh.
Namun
meskipun demikian, tokoh-tokoh yang didadarkan di dalamnya masih kental dengan
karakter-karakter komikal yang sangat mudah untuk die hard.
Ide
ceritanya sebetulnya sederhana, bagaimana seorang laki-laki—seperti kata
penulisnya; “bertelinga wajan dan bergigi
tupai” begitu mencintai seorang perempuan yang sorot matanya seperti “purnama kedua belas”.
Adalah
Sabari lelaki malang itu. Mulanya dia dikenal sebagai seorang anak yang “anti
perempuan”, cinta baginya tak lebih dari tipu muslihat, atau merpati di tangan
pesulap. Namun pada satu jenak hidup, tepatnya ketika diadakan ujian masuk SMA,
dia terpesona oleh mata seorang anak perempuan yang merebut lembar jawabannya. Sejak
itu dia berubah, dan sampai mati, Sabari tak pernah memalingkan cintanya kepada
si perebut lembar jawaban tadi.
Sedangkan
Marlena—anak perempuan “pemberani” itu, tak sedikit pun menaruh hati pada
Sabari. Maka terjadilah kisah cinta bertepuk sebelah tangan yang abadi, yang
baru berakhir di liang lahat.
Di lembar
sebelum kisah digulirkan, Andrea Hirata menulis, “seperti dikisahkan Amiru
kepadaku.” Amiru alias Zorro tak lain
adalah tokoh yang menjadi anak Marlena dari laki-laki entah, yang kemudian
diasuh oleh Sabari sebab dia mau menumbalkan diri dengan menikahi Malena yang
tengah mengandung Amiru di luar nikah.
Bayangkan,
laki-laki mana yang sampai ikhlas menyerahkan hidupnya demi menolong status
sosial seorang perempuan yang justru tak mencintainya, bahkan membencinya. Derajat
cinta seperti ini hanya akan kita temui di komik-komik penuh fantasi. Namun terlepas
dari bangunan tokoh yang kurang realis, semenjak pembuka sampai kisah itu
khatam, Andrea Hirata memperlihatkan kepiawaiannya dalam mengatur ritme,
membolak-balik waktu, dan menutupnya dengan manis.
“Di bawah namaku, tulislah, purnama
kedua belas.”
Demikian pesan Marlena kepada Amiru, untuk menuliskan sesuatu di pusaranya. “Purnama
kedua belas” adalah panggilan Sabari kepada cinta pertama dan terakhirnya, yang
sepanjang hidup tak pernah hirau kepadanya.
***
Nurhadi
Sirimorok pernah menghujam karya Andrea Hirata tepat di jantungnya. Dalam buku
berjudul Laskar Pemimpi yang isinya
mengobrak-abrik Laskar Pelangi, Sang
Pemimpi, dan Edensor, Andrea
disebut sebagai seorang novelis yang di batok kepalanya menancap ide-ide
Orientalisme. Dengan menjelaskan sejarah bagaimana orang Barat menjadikan Timur
sebagai ruang percobaan, lalu menuliskannya dengan sudut pandang Barat, Nurhadi
mengkritisi pemujaan Andrea terhadap kehidupan akademik Barat dan alur cerita
yang bermuara di Paris; tempat para orientalis menggodok temuan-temuannya.
Sedangkan
dari hetih Rusli—seorang editor buku, dia menyoroti ihwal trend buku bestseller
yang terjadi di Indonesia. Pada waktu hampir bersamaan, selain Laskar Pelangi yang penjualannya
meroket, ada juga Negeri Lima Menara
karya Ahmad Fuadi, dan 9 Summers 10
Autumns karya Iwan Setyawan. Jika diperhatian, ketiga buku tersebut
menceritan tentang anak kampung yang berhasil ke luar negeri. Anak Belitong ke
Paris, anak Padang ke Amerika Serikat dan London, serta anak Batu-Malang ke New
York.
Hetih
menulis bahwa, “pergi ke luar negeri dan pulang lalu menjadi seseorang masih
menjadi impian sukses orang Indonesia.”
Karya-karya
awal Andrea Hirata terjebak dalam dua hal di atas. Pembaca yang tanpa disertai
dengan tulisan-tulisan penyeimbang (untuk tidak menyebut kritik), akan jatuh
pada lumpur puja-puji akan kisah yang memang sangat menghibur, dan bisa
dibilang berbeda dengan karya-karya penulis fiksi Indonesia sebelumnya.
Sebenarnya
Andrea sudah punya ciri yang sangat khas. Dalam balutan tokoh-tokoh komikal,
selalu menyala obsesi yang pantang padam. Sebagai contoh sebut saja Arai di Sang Pemimpi, Enong di Padang Bulan & Cinta di Dalam Gelas, serta Sabari di novel Ayah. Tokoh-tokoh tersebut tipikal orang
yang pantang mundur bila layar telah terkembang. Ini selaras dengan jargon
“mimpi” yang menjadi ruh di setiap karya Andrea.
Di karya ke
sembilan inilah, selepas dari program menulis di Amerika Serikat, Andrea Hirata
seperti hendak membuktikan bahwa dia adalah seorang yang cepat belajar.
Meskipun kerap seolah tak hirau terhadap kritik, namun diam-diam Andrea
menambal beberapa kekurangannya. [ ]
No comments:
Post a Comment