18 June 2015

Pembuktian Andrea Hirata


Setelah menyelesaikan International Writing Program 2010 di IOWA University, Andrea Hirata datang lagi ke gelanggang sastra Indonesia dengan novel terbarunya yang berkisah tentang hubungan ayah dan anak, namun sekaligus dibalut dengan cerita perkawanan dan cinta yang getir.

Kali ini dari segi bangunan cerita lebih bisa dipertanggungjawabkan. Berbeda dengan Laskar Pelangi yang melambungkan namanya namun penulisannya tidak fokus, atau bahkan dengan novel-novel dia yang lainnya, Ayah menampilan ramuan kisah, plot, dan twist yang cukup kokoh.

Namun meskipun demikian, tokoh-tokoh yang didadarkan di dalamnya masih kental dengan karakter-karakter komikal yang sangat mudah untuk die hard.

Ide ceritanya sebetulnya sederhana, bagaimana seorang laki-laki—seperti kata penulisnya; “bertelinga wajan dan bergigi tupai” begitu mencintai seorang perempuan yang sorot matanya seperti “purnama kedua belas”.

Adalah Sabari lelaki malang itu. Mulanya dia dikenal sebagai seorang anak yang “anti perempuan”, cinta baginya tak lebih dari tipu muslihat, atau merpati di tangan pesulap. Namun pada satu jenak hidup, tepatnya ketika diadakan ujian masuk SMA, dia terpesona oleh mata seorang anak perempuan yang merebut lembar jawabannya. Sejak itu dia berubah, dan sampai mati, Sabari tak pernah memalingkan cintanya kepada si perebut lembar jawaban tadi.

Sedangkan Marlena—anak perempuan “pemberani” itu, tak sedikit pun menaruh hati pada Sabari. Maka terjadilah kisah cinta bertepuk sebelah tangan yang abadi, yang baru berakhir di liang lahat.

Di lembar sebelum kisah digulirkan, Andrea Hirata menulis, “seperti dikisahkan Amiru kepadaku.”  Amiru alias Zorro tak lain adalah tokoh yang menjadi anak Marlena dari laki-laki entah, yang kemudian diasuh oleh Sabari sebab dia mau menumbalkan diri dengan menikahi Malena yang tengah mengandung Amiru di luar nikah.

Bayangkan, laki-laki mana yang sampai ikhlas menyerahkan hidupnya demi menolong status sosial seorang perempuan yang justru tak mencintainya, bahkan membencinya. Derajat cinta seperti ini hanya akan kita temui di komik-komik penuh fantasi. Namun terlepas dari bangunan tokoh yang kurang realis, semenjak pembuka sampai kisah itu khatam, Andrea Hirata memperlihatkan kepiawaiannya dalam mengatur ritme, membolak-balik waktu, dan menutupnya dengan manis.  

“Di bawah namaku, tulislah, purnama kedua belas.” Demikian pesan Marlena kepada Amiru, untuk menuliskan sesuatu di pusaranya. “Purnama kedua belas” adalah panggilan Sabari kepada cinta pertama dan terakhirnya, yang sepanjang hidup tak pernah hirau kepadanya.

***

Nurhadi Sirimorok pernah menghujam karya Andrea Hirata tepat di jantungnya. Dalam buku berjudul Laskar Pemimpi yang isinya mengobrak-abrik Laskar Pelangi, Sang Pemimpi, dan Edensor, Andrea disebut sebagai seorang novelis yang di batok kepalanya menancap ide-ide Orientalisme. Dengan menjelaskan sejarah bagaimana orang Barat menjadikan Timur sebagai ruang percobaan, lalu menuliskannya dengan sudut pandang Barat, Nurhadi mengkritisi pemujaan Andrea terhadap kehidupan akademik Barat dan alur cerita yang bermuara di Paris; tempat para orientalis menggodok temuan-temuannya.

Sedangkan dari hetih Rusli—seorang editor buku, dia menyoroti ihwal trend buku bestseller yang terjadi di Indonesia. Pada waktu hampir bersamaan, selain Laskar Pelangi yang penjualannya meroket, ada juga Negeri Lima Menara karya Ahmad Fuadi, dan 9 Summers 10 Autumns karya Iwan Setyawan. Jika diperhatian, ketiga buku tersebut menceritan tentang anak kampung yang berhasil ke luar negeri. Anak Belitong ke Paris, anak Padang ke Amerika Serikat dan London, serta anak Batu-Malang ke New York.

Hetih menulis bahwa, “pergi ke luar negeri dan pulang lalu menjadi seseorang masih menjadi impian sukses orang Indonesia.”

Karya-karya awal Andrea Hirata terjebak dalam dua hal di atas. Pembaca yang tanpa disertai dengan tulisan-tulisan penyeimbang (untuk tidak menyebut kritik), akan jatuh pada lumpur puja-puji akan kisah yang memang sangat menghibur, dan bisa dibilang berbeda dengan karya-karya penulis fiksi Indonesia sebelumnya.

Sebenarnya Andrea sudah punya ciri yang sangat khas. Dalam balutan tokoh-tokoh komikal, selalu menyala obsesi yang pantang padam. Sebagai contoh sebut saja Arai di Sang Pemimpi, Enong di Padang Bulan & Cinta di Dalam Gelas, serta Sabari di novel Ayah. Tokoh-tokoh tersebut tipikal orang yang pantang mundur bila layar telah terkembang. Ini selaras dengan jargon “mimpi” yang menjadi ruh di setiap karya Andrea.


Di karya ke sembilan inilah, selepas dari program menulis di Amerika Serikat, Andrea Hirata seperti hendak membuktikan bahwa dia adalah seorang yang cepat belajar. Meskipun kerap seolah tak hirau terhadap kritik, namun diam-diam Andrea menambal beberapa kekurangannya. [ ]


No comments: