Di tengah gairah kampanye Kesundaan yang divisualkan dengan baju pangsi, iket, kebaya, dan hal-hal yang tak esensial lainnya, media Sunda yang berusaha menjaga budaya literasi justru hampir sekarat tanpa perhatian yang signifikan. Sebagai contoh, Majalah Mangle yang kini berusia 58 tahun berjalan terseok dengan tren jumlah pembaca yang kian turun. Juga mingguan Galura yang jika dilihat dari sisi bisnis hampir pasti tidak menggembirakan. Dengan jumlah penutur kedua terbesar di Nusantara, Bahasa Sunda mestinya adalah pasar yang jelas bagi media Sunda itu sendiri, namun kenyataannya adalah paradok yang semakin buruk.
Kondisi ini
tentu menjadi tanggungjawab Ki Sunda
yang peduli dengan perkembangan medianya. Jika dipetakan secara sederhana
berdasarkan usia, demografi pengembannya mencuatkan satu identitas yang khas,
yaitu anak muda. Di luar kata dan kalimat yang kerap dilekatkan kepada anak
muda seperti “pembaharu”, “pelopor”, “agent
of change” dan lain sebagainya, dalam kontek Bahasa Sunda, anak muda ini
adalah generasi pertengahan yang diapit oleh dua tubir jurang.
Jurang
pertama adalah anak-anak yang kini terperangkap dalam sistem pengajaran bahasa
yang terdegradasi. Di rumah, di lembaga yang mula-mula menadah pemahamannya
terhadap bahasa, para orangtua (ibu dan ayah) yang keduanya pituin Sunda, yang dalam komunikasi
antar keduanya menggunakan Bahasa Sunda, justru berbahasa Indonesia ketika
berkomunikasi dengan anaknya. Ihwal ini, Ajip Rosidi pernah menulis dalam buku “Kudu Dimimitian di Imah” (Harus Diawali
dari Rumah).
Dalam
pendadaran pengalamannya, Ajip menemukan dan menyimpulkan, bahwa lembaga utama dan
pertama dalam pewarisan bahasa adalah mutlak harus dimulai dari rumah. Laku
komunikasi sehari-hari akan menghasilkan pemahaman bahasa yang jauh lebih baik
daripada hanya belajar di sekolah, atau pun dari lingkungan pergaulannya. Jika hal
penting ini tidak disadari oleh para orangtua, lalu abai, maka Ajip menegaskan,
“Lamun para indung-bapa Sunda henteu
ngajak nyarita ku Basa Sunda ka barudakna, tanwandě hirupna Basa Sunda ngan baris nepi ka generasina.” (Kalau para ibu dan ayah Sunda tidak
mengajak bicara memakai Bahasa Sunda kepada anak-anaknya, tentu keberlangsungan
hidup Bahasa Sunda hanya sampai pada generasinya).
Anak-anak
Sunda yang dilahirkan dan besar di tengah kedua orangtua yang merasa lebih
bangga jika anaknya--dalam percakapan sehari-hari, berbahasa Indonesia, adalah generasi
yang tercerabut dari bahasa sěkěsělěr-nya. Ikatan
batin luntur, keterampilan lumpuh, lalu harapan seperti apa yang hendak
disandarkan kepada anak-anak ini dalam melanjutkan estafet pengelolaan media
Sunda? Pondasi yang lemah seperti ini adalah tubir yang punya kengeriannya
sendiri dalam keberlangsungan hidup bahasa dan media Sunda.
Sementara di
kalangan para senior (untuk tidak mengatakan tua), usia adalah sesuatu yang tak
bisa di lawan. Meskipun ada beberapa yang masih produktif sampai di titik yang
sudah senja sekalipun, namun satu-persatu barisan ini mulai pensiun dari medan
laga kerja media, juga tak sedikit yang sudah kembali ke hadirat-Nya. Tentu
jarak antara generasi ini dengan generasi yang seusia dengan para cucunya cukup
jauh, dan perlu jembatan untuk menghubungkannya. Di sinilah letak angkatan muda
itu.
Dari cerita
dan pengalaman para senior, bahwa pada pengelolaannya, media Sunda kerap
terabaikan sebagai anak tiri yang seolah tak pernah sudah. Pemerintah sebagai perwakilan
negara selalu berada di posisi yang kurang jelas dalam ngamumulě bahasa dan media Sunda. Seperti yang sudah ditulis di atas,
pemerintah justru lebih mementingkan tampilan daripada menyentuh persoalan yang
sesungguhnya.
Karena di
satu sisi pewarisan bahasa menemui jalan yang keliru, dan di sisi lain dukungan
dari pemerintah pun kerap membentur setapak buntu, maka tak heran jika media
Sunda seolah hanya bertahan dari kematian.
Tapi perspektif
di atas bagi anak muda adalah pandangan yang terlalu pesimis. Meskipun diapit
oleh dua tubir jurang yang akhirnya memposisikan dirinya (seolah-olah) menjadi
generasi—meminjam istilah Sjahrir, “yang apabila diam akan menjadi generasi
yang hilang, dan apabila bergerak akan menjadi generasi yang kalah”, namun
selalu ada celah untuk berkreasi dan terus produktif.
Anak muda
Sunda hari ini, yang pernah dibesarkan di lingkungan keluarga yang masih
memuliakan Bahasa Sunda, namun dihadapkan pada kenyataan tentang payahnya
keberlangsungan media Sunda, tentu harus bersiasat dengan mengisi dan mengolah ceruk-ceruk
lain untuk membebaskan media Sunda itu sendiri dari keterbatasan. Media sosial
yang kini begitu memanjakan alur dan arus informasi, adalah salah satu celah
untuk mengibarkan ajěn-inajěn Bahasa Sunda.
Di blog,
twitter, facebook, dan kanal-kanal lainnya, anak muda Sunda harus mulai
produktif menulis dalam bahasa sěkěsělěr-nya. Di sini,
di gorong-gorong media tak berbayar, anak muda tak perlu menengadah dan mengiba
perhatian dari pemerintah, namun justru berdikari dengan keras kepala--bahwa dengan
niat, minat, dan tekad yang bulat, media Sunda “independen” ini bisa terus hidup dan berkontribusi.
Kata “buntu”
mesti segera dipensiunkan dari entry kamus anak muda. Masih banyak jalan yang
bisa ditempuh, dan banyak cara yang bisa dilakukan. Di media Sunda formal, anak
muda pun bisa berkontribusi dengan cara mengirim naskah-naskah segar dan
trengginas. Bahwa media-media itu dinakhodai oleh para senior yang sudah legok tapak gentěng kaděk tak bisa dipungkiri, namun siapa
yang bisa menjamin bahwa ketersediaan naskah begitu melimpah? Hal inilah yang
perlu didukung oleh anak muda.
Dalam buku Semangat Baru; Kolonialisme, Budaya Cetak,
dan Kesastraan Sunda Abad ke-19 karya Mikihiro Moriyama, tersirat bahwa
sesungguhnya Bahasa Sunda ditemukan, dimurnikan, dan didayagunakan oleh Belanda
untuk kemudian berkembang meniti gelombang modernitas. Jika media Sunda
diibaratkan bahasa yang didayagunakan itu, maka di tengah keterpurukannya
seperti sekarang, anak muda sudah
saatnya mengambil peran sebagai pelaku aktif, bukan malah menjadi pengekor
tiada guna dan tanpa tendens. Dan pada muaranya, hirup-hurip bahasa dan media Sunda kita pertaruhkan. [ ]
No comments:
Post a Comment