Apalagi yang
luput untuk diceritakan? Gelas-gelas kosong, isak tangis surut, pelayat
beringsut meninggalkan rumah duka dan ayat-ayat suci menguap di udara. Jenazah
masih berbaring kaku, asing dari keajaiban.
Suasana
berkabung dengan air mata dan doa-doanya terlalu menyedihkan. Aku memandang
Togar, teman lamaku sejak kecil, dari kejauhan. Dia setengah mati menahan diri
untuk tidak menangis. Padahal dia berhak untuk itu. Kami berdua dan adiknya;
Ranto, yang menjadi jenazah sekarang, tak pernah luput satu sama lain semenjak
kecil. Aku pun mestinya menangis, tapi tidak. Tuhan—dan Anda juga nanti—tahu
aku adalah orang yang menyedihkan. Tidak perlu air mata untuk membuktikan itu.
Para
pelayat mulai surut; tinggal keluarga inti, beberapa kerabat dekat dan kekasih
yang ditinggal pergi. Aku meminta diri. Togar mengerti lalu mengantar sampai ke
pintu. Jabat tangan kami berlanjut jadi pelukan erat. Aku merasakan cairan
hangat merembes di punggungku. Samar sebuah isak lolos dari pengawasannya,
kemudian dia melepas lengannya dariku dengan wajah seperti yang selalu kulihat:
air muka keras dengan keangkuhan yang khas serta segaris senyum yang jarang
luput dipasang. “Sering-sering main ke sini,” katanya. “Pasti,” jawabku. Kami
saling bertukar salam dan dia kembali menyelinap dalam kesedihannya.
Aku
berbalik menelusuri jalan pulang. Pukul dua. Fajar tinggal beberapa jam lagi.
Purnama masih bergelayut di mana dia semestinya berada. Begitu pucat, begitu
pasi. Begitu mati. Aku terus melangkah tanpa menoleh ke arah rumah duka untuk
terakhir kalinya. Aku tidak bisa kembali melihat kesedihan itu. Tidak setelah
air mata Togar merembes di punggungku. Aku tidak pernah menyambanginya lagi
setelah malam itu.
Mungkin
kematian bukanlah hal yang menyenangkan untuk memulai sebuah cerita, tapi
sebuah cerita tetap harus dimulai dengan cara apa pun itu. Yang barusan kau
baca bukanlah kematian pertama dan, aku bisa memastikan, bukanlah yang terakhir
yang pernah bersentuhan denganku. Enam bulan setelahnya, kakek meninggal. Nenek
benar-benar terpukul dan nampak kehilangan sebagian besar porsi kehidupannya.
Satu tahun kemudian, beliau menyusul. Sebelum kusadari, aku mulai menandai
waktu dengan kepergian orang-orang di sekelilingku. Mungkin aku terkesan
terlalu muram; terlalu melebih-lebihkan, tapi seperti sudah kubilang sejak
awal, pada dasarnya aku memang orang yang menyedihkan.
***
Selepas kuliah aku mulai mengendus rupiah sebagai freelance graphic designer.
Nama yang kedengarannya cukup upbeat—mungkin karena ditulis dalam cetak miring—tapi
biar aku luruskan terlebih dahulu: kemilau graphic design nyaris hanya sebatas nama.
Sebagian lulusan sekolah graphic design terdampar
menjadi pengusaha jasa printing kelas menengah dan sebagian besar ilmu yang
dibayar dengan harga mahal tersesat tak tersalurkan. Sebagian lain bekerja
mati-matian untuk memenuhi tuntutan industri kemasan sekaligus harus berhadapan
dengan klien keras kepala, pesaing picik dan perlombaan dengan waktu.
Lama-kelamaan
kau akan kelelahan dan ketika rasa lelah itu merongrong batok tengkorakmu,
fakta yang tak terelakkan menendang bokongmu: kreativitas yang awalnya kau
harapkan akan membantu mendaki tangga karier tak membawamu ke mana-mana.
Kreativitas hanya kemampuan membongkar-pasang idiom-idiom klise lawas dari
tempat sampah untuk menghasilkan sesuatu yang—nampaknya—baru. Yang benar-benar
kau butuhkan adalah kecerdasan sosial.
Secara
finansial mungkin pekerjaan ini tidak terlalu memuaskan, tapi tidak ada lagi
yang bisa aku lakukan. Aku juga butuh makan dan orangtuaku tidak bisa
terus-terusan memanggul tanggung jawab itu. Bekerja adalah hal yang semestinya
dilakukan selepas kuliah. Untuk itulah orang rela membuang uang demi
pendidikan. Semua orang tahu: lahir, sekolah, kerja, menikah, punya anak, kerja
lagi, dan akhirnya, mati.
Hari-hari
berlalu. Banyak cerita yang luput. Lima tahun setelah pemakaman Ranto aku
berusia dua puluh enam dengan pekerjaan tetap dalam media massa. Wanita
datang-pergi, dua tahun ini bernama Asri. Satu tahun lebih muda, cerdas, manis,
dan punya senyum menawan ala iklan pasta gigi.
***
Kematian
menghadang suatu pagi. Tak diduga dan tak dikenal, bergelimpang begitu saja di
tengah jalan dengan sayur-mayur, tangis bocah dan sepeda motor tua. Sebuah truk
melanggar sebuah keluarga kecil yang berboncengan di atas motor di perempatan.
Sang ibu hanya luka kecil, begitu juga dengan kedua anaknya—bocah laki-laki
sekitar lima tahun dan gadis cilik selisih beberapa tahun lebih tua, keduanya
berseragam SD. Namun tidak dengan sang bapak. Wajahnya rusak terhantam trotoar
dan tubuhnya remuk tergilas roda truk. Dia tewas seketika. Puluhan orang
mengerubung, polisi merapikan lalu lintas yang kusut. Beberapa orang ditagih
keterangan. Sopir truk bermata merah diamankan. Aku urung bekerja hari itu.
Ibu
terkejut melihat kepulanganku, hari masih pagi dan aku sudah pulang dengan awan
hitam menggantung di atas ubun-ubun. Aku bilang sedikit tidak enak badan, dia
percaya lalu pergi ke kamar mandi. Di atas kasur aku mereka ulang kejadian;
bapak menjemput ibu di pasar lalu mengantar kedua anaknya bersekolah. Lampu
lalu lintas berubah merah, tapi kedua anaknya sudah hampir terlambat. Tak ada
kendaraan lewat di depan. Dia tancap gas. Lalu sopir truk: pertengkaran dengan istri
membuatnya tak bisa tidur semalaman, matanya berat meski segelas kopi kental
sudah disikat. Lampu kuning, dia mengusap mata dan menggeleng keras mengusir
kantuk. Gas diinjak dalam karena kecepatan bisa membuatnya tetap terjaga.
Sepeda motor melengang dengan suara terbatuk. Kantuk diusir panik. Rem sempat
diinjak, tapi terlambat tetap terlambat.
***
Keputusan
itu datang begitu saja. Mendadak menelusup masuk ke kepalaku ketika ia
terpelanting di atas bantal. Aku harus keluar dari tempat ini, sangkar yang menjadi
tempatku kembali sampai sekarang. Memalukan, kata orang, masih tinggal bersama
orangtua. Tapi bukan itu yang jadi alasan. Kejadian di jalan beberapa hari lalu
terus menghantui kepalaku. Darah di jalan, anak-anak menangisi kematian ayah di
dekapan ibu mereka—begitu intim. Begitu tragis.
Seperti
foto di dinding: ibu—dengan gaun merah dan rambut disisir ke belakang—di
sebelah kiri; memangku adik yang tidak sempat bersiap untuk difoto, ayah
mengenakan jas hitam dan sebuah kumis tipis berdiri kaku di samping ibu, aku di
depannya, tujuh tahun, dengan setelan kemeja putih dan tawa lebar. Waktu
membuat foto itu usang. Kenangan di dalamnya terasa berjarak. Di dalam bingkai
itu aku menemukan sebuah keluarga. Begitu intim. Ketika aku mendapati diriku
sendirian di meja makan untuk makan malam: begitu tragis.
Tidak
ada drama ketika aku pergi karena aku tidak pergi jauh. Rumahku hanya empat
puluh lima menit dari rumah. Ibu masih tertidur waktu aku mengangkut barang
terakhir, adik sudah pergi kuliah sedari pagi dan ayah pun tak ada di rumah.
Tempat tinggal baruku benar-benar sederhana. Satu ruang tamu, dua kamar tidur,
satu kamar mandi dan satu dapur. Sedikit perabotan… paling tidak aku bisa
menyebutnya rumah.
Dua
tahun kemudian aku dan Asri menikah.
Hari-hari
yang baru menunggu di depan sana. Aku mencintai Asri dan mungkin dia juga
begitu. Kebahagiaan-kebahagiaan kecil terus menyisip dari balik selimut, kopi
pagi, dan telepon di jam istirahat.
***
Suatu
malam aku terbangun dengan keringat dingin. Mimpiku pasti buruk sekali, mujur
aku lupa ketika terjaga. Mimpi itu masih menyisakan teror yang merayap di balik
kulit. Merobek dinding tipis yang memisahkannya dari realitas dan mengintip
dari celah sempit. Mengintai dengan tajam matanya yang entah, menunggu waktunya
tiba. Aku tidak tahu apa. Asri tidur meringkuk memunggungiku. Tersesat dalam
mimpinya sendiri. Saat seperti inilah, pembaca yang budiman, kesepian
nyata-nyata menyelimuti dan kau bisa menggapai tanganmu untuk merangkulnya.
“Jatuh
tertidur sungguh mengerikan,” celetuk Patricia Franchini. “Tidur memisahkan
manusia. Meski kau sedang tidur bersama seseorang, kau tetap sendiri.”
Hey,
siapa Patricia Franchini? Apa urusan dia di cerita ini?
Aku
bangkit menuju dapur untuk sekaleng bir lalu duduk di ruang tamu. Dua pasang
mata di dinding memandangiku tanpa berkedip. Tapi bukan aku benar yang mereka
pandang. Tatapan itu terlempar jauh ke depan, menantang masa depan dan segala
kejutan yang disimpannya tanpa bersenjata apa-apa. Mungkin tanpa senjata sama
sekali pun tidak sepenuhnya benar. Keduanya membersitkan cinta. Kau bisa
melihatnya dari mata Asri yang sedikit sembap karena haru. Hari pernikahan kami
benar-benar melepaskan kodratku sebagai makhluk yang—pada dasarnya—menyedihkan.
Sampai sekarang pun aku masih merasa asing di depan foto pernikahan kami.
Inikah
jawabannya—jalan keluar dari kehilangan dan kematian yang bertubi-tubi?
Tiba-tiba aku bertanya-tanya. Cintakah? Kalau benar, apakah benar aku
mengalaminya?
Cintakah Ferdinand dan Mariane, Samsul Bahri dan Siti Nurbaya—cintakah strangers in the night yang
begitu sendu dinyanyikan Frank Sinatra? Kalau bukan, kenapa aku menitikkan air
mata untuk mereka, seperti aku menitikkan air mata ketika Asri mengatakan ‘iya’
untuk lamaranku?
Aku
tidak menemukan jawabannya. Cuma ada tanah basah dan nisan dingin. Kaleng bir
lolos dari genggamanku lalu menghantam ilalang. Gila, hidupku hanya perjalanan
dari satu pemakaman ke pemakaman lain. Selalu tentang kematian dan kehilangan.
Pikiran ini sudah cukup untuk menerormu seumur hidup.
Aku
bersimpuh di depan nisan kakek. Nenek dan Ranto nampak tersenyum satu meter di
bawah tanah. Dengan pengap dan belatung yang menggerogoti tubuh bagaimana
mereka bisa tersenyum—seperti apa wujud tengkorak ketika sedang tersenyum?
Aku
menemukan diriku terkapar. Peluh merangkak dari ujung mataku. Tak mengapa. Tak
mengapa, tegasku meyakinkan diri sendiri.
Samar
lagu mengalun. Sebuah tangan menuntunku untuk berdiri. Senyum pasta gigi itu
menemukan pertahanan terakhirku dan meremukkannya dengan hangat. Tangan
kanannya menyelinap di pinggangku dan jemari tangan kirinya menyelinap dalam
jemariku.
“Sudah
lama kita tidak berdansa dengan lagu ini.”
Sudah
lama kami tidak berdansa dengan lagu ini. Aku bahkan sudah lupa bagaimana
caranya berdansa, tapi perlahan aku menemukan ingatanku dalam setiap langkah.
Aku tidak lagi berjalan gontai dari satu pemakaman ke pemakaman
lain. Aku berdansa. Kami adalah dua orang asing yang berdansa tengah malam di
atas alunan strangers in the night Sinatra.
Tak jauh dari kami Ferdinand dan Mariane berdansa, begitu juga Samsul Bahri dan
Siti Nurbaya. Tak ada yang tahu letak cinta, tapi cinta tahu untuk siapa dia
ada. Mungkin.
Senyum
pasta gigi Asri melumer, tinggal partikel kristal yang berkilauan di sela
deretan giginya. Begitu asing. Setelah sekian lama aku hanya jadi penonton
dalam hidupku sendiri, aku baru sadar aku tidak pernah sendiri. Selalu ada
tangan-tangan yang siap mengangkatku kalau aku jatuh dan aku tak pernah peduli.
Aku selalu penuh dengan diriku sendiri. Aku lebih banyak menggunakan ‘aku’
kalimatku. Aku tak tahu apa pun tentang Asri. Aku tak menyisakan banyak kalimat
untuk menggambarkan betapa cantik senyumnya, molek kulitnya, bagaimana matanya
menyihir kata-kata sampai kehilangan makna. Tentang kesedihannya,
kehilangannya… dia pantas untuk itu. Begitu juga dengan Ranto, nenek dan kakek.
Ayah, ibu, adik, Togar—
Cerita
ini harus ditulis ulang. Mulai dari hari pertama aku bertemu Asri. [ ]
--Tayang di Kompas edisi 3 April 2011
No comments:
Post a Comment