04 October 2017

Gentaro Ose dan Jiwa-jiwa di Akhir Masa Pendudukan Jepang


“...Kedua anakmu sekarang tinggal dengan kami. Ibumu dan kedua orang kakak perempuanmu senang dengan kehadiran mereka sebagai ganti dirimu. Michiko tidak pernah lagi kembali dari Tokyo. Bulan yang lalu kedua kakakmu pergi ke sana ingin menyusulnya dan membawanya pulang. Ternyata dia sudah betah tinggal di Tokyo, menjadi selir seorang jendral di Kementerian Peperangan. Anggaplah dia sudah mati. Pada kedua anakmu telah saya katakan bahwa ibunya sudah mati, dan di altar keluarga kita telah kami pasang plakat namanya, agar anak-anak itu percaya, namun tetap menghormati ibunya. Sudah sejak sebulan ini setiap hari kami harus masuk ke lobang perlindungan, karena hampir setiap hari ada serangan udara dari pesawat sekutu. Mungkin dalam waktu dekat ini kami harus mengungsi ke luar kota...”  

Setelah membaca surat itu, Gentaro Ose, Letnan Satu yang menjadi komandan di kamp interniran Teratak Buluh, Kampar Kanan, Riau, hanya tertawa. Perang telah usai. Tiga hari sebelumnya Tenno Heika (Kaisar Jepang) telah membacakan pengumumam menyerahnya Dai Nippon. Ia hanya menunggu kedatangan tentara sekutu yang akan melucuti senjata dan memulangkannya ke negeri asal. Dalam situasi seperti itu, bayang-bayang masa lalu kembali bermunculan.

Ose sebetulnya tak ingin jadi tentara, apalagi dianggap pahlawan. Ia sudah puas dengan kehidupannya: istri yang dicintainya, dan pekerjaannya di perusahaan kontruksi bangunan di Osaka. Namun Michiko, istrinya, selalu mendesak.

“Suami teman-temanku semuanya telah mendaftar,” ujar istrinya.

“Supaya negeri bisa jalan, harus ada yang jadi militer, jadi petani, pegawai, serta kuli bangunan seperti saya,” kata Ose berseloroh.

Istrinya yang biasanya lembut, kali ini kelihatan keras. Ia mengutarakan kegundahannya ihwal suami teman-temannya yang pergi berperang membela negeri. Mereka kemudian berdebat. Hari ke hari. Tak ada lagi ketenangan di dalam rumah tangganya. Akhirnya setelah Ose memutuskan mendaftar menjadi tentara, barulah ketenangan muncul kembali.  

“Apa pun yang terjadi atas dirimu, Sayang, aku akan tetap setia. Aku mengharapkan kau kembali sebagai pahlawan, namun kalau terjadi sesuatu, aku akan merawat anak kita sebaik-baiknya,” ujar istrinya.

Dan ya, dengan surat di tangan kiriman dari ayahnya, Ose lagi-lagi tertawa mengingat hal itu. Tawa pahit, getir, dan kosong.

Ketika Ose dan beberapa perwira lain dipanggil ke markas besar di Pekanbaru untuk mendengarkan pengumuman menyerahnya Jepang, suasana kekalahan sudah terasa. Mereka tidak dijemput seperti biasanya. Setengah jam mereka berjalan kaki menuju markas besar, melalui tengah-tengah kota kecil Pekanbaru, dan terasa lama sekali. Mereka tidak berkata-kata, sementara hari sudah gelap. Mereka berjalan seperti orang kebingungan memperhatikan kota yang sunyi. Mereka bahkan tidak dapat berjalan dalam rombongan. Masing-masing dengan kecepatannya sendiri, dengan pikirannya sendiri. Masing-masing merasa sendirian. Kesunyian.

Sementara di Teratak Buluh dan seantero Riau lainnya, situasi mulai galau. Orang-orang menerka ihwal kesudahan perang. Ada yang mengatakan berdamai, ada yang mengatakan Amerika menyerah, ada pula yang mengatakan Jepanglah yang menyerah. Masyarakat menanti kepastian ini dengan amat melelahkan.

Di kamp interniran, Ose dilayani oleh Satiyah—perempuan asal Desa Mersi, Purwokerto, Jawa Tengah. Suaminya, Alimin, telah meninggal. Guru sekolah Angka Loro itu menghembuskan napas terakhirnya setelah tahu bahwa Satiyah kerap memacu berahi dengan Misran—laki-laki kampung yang pernah mencoba memperkosanya.

Ihwal Satiyah akhirnya jatuh berkali-kali ke pelukan Misran, tak dapat dipisahkan dari sulitnya kehidupan di zaman Jepang. Kebutuhan sehari-hari susah, terutama beras. Jepang memeriksa setiap kereta api, menggeledah barang-barang. Situasi sulit membuat masyarakat cerdik, serdadu Jepang dikelabui. Usaha “haram” ini berkembang subur, dan Satiyah menceburkan diri di dalamnya.

Misran tetap mengintai dan tak pernah sekali pun melupakan jeratnya. Bajingan tengik yang sudah lama memberahikan Satiyah itu menjadi informan Kenpei-tai (polisi militer), dan suatu hari ia mencokok Satiyah dengan ancaman.

“Kalau kamu tidak mengaku, suamimu saya seret ke kantor,” ujarnya.

Satiyah tak berdaya. Ia mengkhawatirkan Alimin, namun dengan biaya yang mesti dibayar oleh tubuhnya sendiri. Misran menyeretnya ke sebuah perladangan dan membawanya ke sebuah gubuk tinggal. Di bawah ancaman, dadanya mulai diraba, dan terjadilah yang mula-mula. Hari-hari berikutnya ancaman tak surut, dan Satiyah berulang melayani Misran, sampai akhirnya Alimin tahu.

Pendudukan Jepang terus berlanjut, Satiyah mengadu nasib ke perantauan, dan akhirnya terseret ke Sumatera, hendak bekerja untuk Jepang. Untung tak tak dapat diraih malang tak dapat ditolak, dalam perjalanan di kapal, Satiyah diperkosa Sersan Kiguchi—kawan sekaligus atasan Ose.

Kini di Teratak Buluh, Ose memperlakukannya dengan lembut, yang mengingatkannya pada almarhum suami tercinta, Alimin. Satiyah telah jatuh hati, jika saja Ose hendak tidur dengannya, ia akan sepenuh rela melayaninya. Namun seperti juga dirinya, Ose punya persoalan keluarga Tokyo, yang membuat Letnan Satu itu hanya bermuram durja.

Hari-hari sebelum Jepang menyerah, di kamp interniran yang padat oleh kerja, bentakan, dan dera kelelahan, orang-orang Belanda mulai merencanakan melarikan diri. Dua kubu terbentuk, antara yang setuju kabur dan sebaliknya. Di tengah orang-orang Belanda itu ada satu orang Romusha asal Jawa, Kliwon namanya. Pasca pembuatan jalur kereta api Muaro Sijunjung-Pekanbaru, ia diperbantukan di kamp tersebut.

Karena dianggap bukan musuh, Kliwon relatif lebih leluasa keluar masuk kamp. Ia bergaul dengan warga sekitar kamp dan menaksir Lena—anak gadis seorang haji kaya raya yang pada akhirnya berhasil ia rayu dan gauli. Kliwon ikut berencana untuk melarikan diri bersama orang-orang Belanda.  

Lena tak menghendaki Kliwon ikut kabur, namun ia tak dapat mencegah. Akhirnya ia diam-diam pergi mendahului para tawanan kamp interniran ke jalur pelarian Kliwon dan orang-orang Belanda, sementara di rumah, ayahnya bingung—ada seorang pedagang yang hendak melamar anak gadisnya. 

Ketika Ose memimpin para serdadu Jepang menyanyikan Kimigayo, Kliwon dan para tawanan mulai melarikan diri. Meski mereka telah kalah, namun Ose dan serdadu yang lain tidak terima jika tawanan melarikan diri.

“Kejar mereka, tangkap dan bawa ke sini. Kalau perlu, tembak di tempat,” perintah Ose sambil ia pun ikut dalam rombongan.

Pasukan bergerak mengejar tawanan. Kliwon dan orang-orang Belanda sudah tiba di satu titik tempat Lena menanti. Kedua orang yang sudah terpaut asmara itu saling berkeras: Kliwon menyuruh Lena pulang, namun perempuan itu menolak. Sementara serdadu Jepang semakin mendekat. Tak lama, dengan senjata api dan bayonet terhunus, mereka pun sampai di tempat para tawanan sempat berhenti.

Para tawanan berhasil lari, namun Kliwon, Lena, dan seorang Belanda masih tertahan di tempat semula.

“Tembak!” Teriak Ose.

Ketiga orang itu pun roboh diterjang timah panas.

Di hari-hari terakhir sebelum Ose dan Satiyah berpisah—setelah urusan para tawanan dianggap selesai, mereka duduk berhadap-hadapan. Satiyah berkeras agar ia bisa ikut dengan Ose, namun tak bisa.

“Jangan ikut saya, Satiyah-san. Purang kampung saja (orang Jepang susah melafalkan huruf ‘r’), jadi orang baik-baik, jaga anak-anak baik-baik. Jangan ikut saya,” ujar Ose.

Satiyah menangis. Ose menangis. Keduanya terisak sambil berhadap-hadapan. Saling tatap. Lalu berciuman. Ciuman penghabisan, ciuman perpisahan. Ya, ciuman-ciuman sedih. Namun, perlahan menjadi ciuman hangat membara. Keduanya mulai terengah-engah.

“Masta,” (panggilan Satiyah untuk Ose) bisik Satiyah lirih, “mari tidur sama saya.”

Teks fiksi yang mengabadikan periode pendudukan Jepang yang singkat di Indonesia, bisa jadi memang sedikit, dan kisah di atas adalah salah satunya: Dan Perang pun Usai. Roman satu-satunya dari Ismail Marahimin ini berhasil menjadi pemenang kedua sayembara mengarang roman Dewan Kesenian Jakarta tahun 1977. Karya penulis kelahiran Medan, 23 April 1934 ini juga mendapat penghargaan The Pegasus Prize for Literature—penghargaan yang diberikan oleh Mobil Oil Corporation untuk karya sastra suatu bangsa yang dianggap bermutu, oleh sebab itu layak diperkenalkan ke suluruh dunia.

“Dia membuat saya benar-benar menjadi penulis!” Ujar Helvy Tiana Rosa—sastrawan pendiri organisasi kepenulisan Forum Lingkar Pena, mengungkapkan kesannya terhadap dosennya tersebut. Di kalangan para alumni Universitas Indonesia, penulis yang wafat pada tahun 2008 itu terkenal karena metode belajarnya di mata kuliah Penulisan Populer.

“Kalau anda lulus mata kuliah ini, itulah modal hidup Anda!” Begitu ungkapan yang beredar di sebagian alumni UI.

Ketika memenangkan perhargaan dari Dewan Kesenian Jakarta, Ismail Marahimin sudah berusia 43 tahun, sebuah angka yang tidak muda lagi jika dibandingkan dengan para penulis lain yang menulis novel pertamanya di usia yang relatif masih muda. Sebagai contoh, novel pertama Merari Siregar terbit sebelum usianya 25 tahun, atau Ajip Rosidi yang novel pertamanya terbit sebelum ia genap berusia 20 tahun.

“Saya bukan orang yang tekun di bidang ini. Saya baru menulis kalau kebetulan lagi masa paceklik,” ujar Ismail Marahimin seperti dikutip laman Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dari Berita Mobil tahun 1984.

Nugroho Notosusanto—koleganya di Universitas Indonesia, masih di laman yang sama mengomentari Dan Perang pun Usai.

“Masa penjajahan Jepang telah meninggalkan pengalaman yang tragis. Namun, para jurnalis dan sejarawan telah menerangkan dan menganalisa masa itu atau beberapa segi dari masa itu dengan pendekatan makro, sedangkan Ismail Marahimin dengan novelnya telah menyentuh kehidupan rakyat kecil di sekitarnya sehingga menggambarkan kehidupan manusia yang sesungguhnya,” ujarnya.

Jejak pendudukan Jepang di Sumatera dan penderitaan para pekerja paksa yang mengerjakan pembuatan rel kereta api dari Muaro Sijunjung sampai Pekanbaru—yang juga menjadi salah satu latar novel ini, direkam oleh Henk Hovinga dalam The Sumatra Railroad: Final Destination Pakan Baroe, 1943-1945.

Kengerian dan penderitaan yang ditulis dalam buku yang diterbitkan oleh KITLV (Koninklijk Instituut voor Taal Land-en Volkenkunde)  tahun 2010 ini sekilas dapat dilihat dari prolog dan judul-judul bab di dalamnya: The Forgotten Drama, The road to oblivion, Railway through the mud, Beating and starch, Maggots with Sambal, The shadow of death, Slaving in the gorge, The golden spike, Waiting for freedom, dan Silent witnesses.   

“Seperti ada jalur-jalur rel, jadwal dan skenario yang ketat yang mengatur seseorang agar berada pada suatu tempat pada suatu waktu tertentu, untuk bertemu dengan seseorang lain yang akan membawa kebahagiaan, bencana atau hanya untuk berpisah kembali selama-lamanya, dan untuk sekadar meninggalkan ingatan dan kenangan,” tulis Ismail Marahimin terkait nasib manusia yang ada dalam karyanya. [irf]

No comments: