“...Kedua anakmu
sekarang tinggal dengan kami. Ibumu dan kedua orang kakak perempuanmu senang
dengan kehadiran mereka sebagai ganti dirimu. Michiko tidak pernah lagi kembali
dari Tokyo. Bulan yang lalu kedua kakakmu pergi ke sana ingin menyusulnya dan
membawanya pulang. Ternyata dia sudah betah tinggal di Tokyo, menjadi selir
seorang jendral di Kementerian Peperangan. Anggaplah dia sudah mati. Pada kedua
anakmu telah saya katakan bahwa ibunya sudah mati, dan di altar keluarga kita
telah kami pasang plakat namanya, agar anak-anak itu percaya, namun tetap
menghormati ibunya. Sudah sejak sebulan ini setiap hari kami harus masuk ke
lobang perlindungan, karena hampir setiap hari ada serangan udara dari pesawat
sekutu. Mungkin dalam waktu dekat ini kami harus mengungsi ke luar kota...”
Setelah membaca surat itu, Gentaro Ose, Letnan Satu yang
menjadi komandan di kamp interniran Teratak Buluh, Kampar Kanan, Riau, hanya
tertawa. Perang telah usai. Tiga hari sebelumnya Tenno Heika (Kaisar Jepang)
telah membacakan pengumumam menyerahnya Dai Nippon. Ia hanya menunggu
kedatangan tentara sekutu yang akan melucuti senjata dan memulangkannya ke
negeri asal. Dalam situasi seperti itu, bayang-bayang masa lalu kembali
bermunculan.
Ose sebetulnya tak ingin jadi tentara, apalagi dianggap
pahlawan. Ia sudah puas dengan kehidupannya: istri yang dicintainya, dan
pekerjaannya di perusahaan kontruksi bangunan di Osaka. Namun Michiko,
istrinya, selalu mendesak.
“Suami teman-temanku semuanya telah mendaftar,” ujar
istrinya.
“Supaya negeri bisa jalan, harus ada yang jadi militer, jadi
petani, pegawai, serta kuli bangunan seperti saya,” kata Ose berseloroh.
Istrinya yang biasanya lembut, kali ini kelihatan keras. Ia
mengutarakan kegundahannya ihwal suami teman-temannya yang pergi berperang membela
negeri. Mereka kemudian berdebat. Hari ke hari. Tak ada lagi ketenangan di
dalam rumah tangganya. Akhirnya setelah Ose memutuskan mendaftar menjadi
tentara, barulah ketenangan muncul kembali.
“Apa pun yang terjadi atas dirimu, Sayang, aku akan tetap
setia. Aku mengharapkan kau kembali sebagai pahlawan, namun kalau terjadi
sesuatu, aku akan merawat anak kita sebaik-baiknya,” ujar istrinya.
Dan ya, dengan surat di tangan kiriman dari ayahnya, Ose
lagi-lagi tertawa mengingat hal itu. Tawa pahit, getir, dan kosong.
Ketika Ose dan beberapa perwira lain dipanggil ke markas
besar di Pekanbaru untuk mendengarkan pengumuman menyerahnya Jepang, suasana
kekalahan sudah terasa. Mereka tidak dijemput seperti biasanya. Setengah jam
mereka berjalan kaki menuju markas besar, melalui tengah-tengah kota kecil
Pekanbaru, dan terasa lama sekali. Mereka tidak berkata-kata, sementara hari
sudah gelap. Mereka berjalan seperti orang kebingungan memperhatikan kota yang
sunyi. Mereka bahkan tidak dapat berjalan dalam rombongan. Masing-masing dengan
kecepatannya sendiri, dengan pikirannya sendiri. Masing-masing merasa
sendirian. Kesunyian.
Sementara di Teratak Buluh dan seantero Riau lainnya, situasi
mulai galau. Orang-orang menerka ihwal kesudahan perang. Ada yang mengatakan berdamai,
ada yang mengatakan Amerika menyerah, ada pula yang mengatakan Jepanglah yang
menyerah. Masyarakat menanti kepastian ini dengan amat melelahkan.
Di kamp interniran, Ose dilayani oleh Satiyah—perempuan asal
Desa Mersi, Purwokerto, Jawa Tengah. Suaminya, Alimin, telah meninggal. Guru
sekolah Angka Loro itu menghembuskan napas terakhirnya setelah tahu bahwa
Satiyah kerap memacu berahi dengan Misran—laki-laki kampung yang pernah mencoba
memperkosanya.
Ihwal Satiyah akhirnya jatuh berkali-kali ke pelukan Misran,
tak dapat dipisahkan dari sulitnya kehidupan di zaman Jepang. Kebutuhan
sehari-hari susah, terutama beras. Jepang memeriksa setiap kereta api,
menggeledah barang-barang. Situasi sulit membuat masyarakat cerdik, serdadu
Jepang dikelabui. Usaha “haram” ini berkembang subur, dan Satiyah menceburkan
diri di dalamnya.
Misran tetap mengintai dan tak pernah sekali pun melupakan
jeratnya. Bajingan tengik yang sudah lama memberahikan Satiyah itu menjadi
informan Kenpei-tai (polisi militer),
dan suatu hari ia mencokok Satiyah dengan ancaman.
“Kalau kamu tidak mengaku, suamimu saya seret ke kantor,”
ujarnya.
Satiyah tak berdaya. Ia mengkhawatirkan Alimin, namun dengan
biaya yang mesti dibayar oleh tubuhnya sendiri. Misran menyeretnya ke sebuah
perladangan dan membawanya ke sebuah gubuk tinggal. Di bawah ancaman, dadanya
mulai diraba, dan terjadilah yang mula-mula. Hari-hari berikutnya ancaman tak
surut, dan Satiyah berulang melayani Misran, sampai akhirnya Alimin tahu.
Pendudukan Jepang terus berlanjut, Satiyah mengadu nasib ke
perantauan, dan akhirnya terseret ke Sumatera, hendak bekerja untuk Jepang.
Untung tak tak dapat diraih malang tak dapat ditolak, dalam perjalanan di
kapal, Satiyah diperkosa Sersan Kiguchi—kawan sekaligus atasan Ose.
Kini di Teratak Buluh, Ose memperlakukannya dengan lembut,
yang mengingatkannya pada almarhum suami tercinta, Alimin. Satiyah telah jatuh
hati, jika saja Ose hendak tidur dengannya, ia akan sepenuh rela melayaninya.
Namun seperti juga dirinya, Ose punya persoalan keluarga Tokyo, yang membuat
Letnan Satu itu hanya bermuram durja.
Hari-hari sebelum Jepang menyerah, di kamp interniran yang
padat oleh kerja, bentakan, dan dera kelelahan, orang-orang Belanda mulai
merencanakan melarikan diri. Dua kubu terbentuk, antara yang setuju kabur dan
sebaliknya. Di tengah orang-orang Belanda itu ada satu orang Romusha asal Jawa,
Kliwon namanya. Pasca pembuatan jalur kereta api Muaro Sijunjung-Pekanbaru, ia
diperbantukan di kamp tersebut.
Karena dianggap bukan musuh, Kliwon relatif lebih leluasa
keluar masuk kamp. Ia bergaul dengan warga sekitar kamp dan menaksir Lena—anak
gadis seorang haji kaya raya yang pada akhirnya berhasil ia rayu dan gauli. Kliwon
ikut berencana untuk melarikan diri bersama orang-orang Belanda.
Lena tak menghendaki Kliwon ikut kabur, namun ia tak dapat
mencegah. Akhirnya ia diam-diam pergi mendahului para tawanan kamp interniran
ke jalur pelarian Kliwon dan orang-orang Belanda, sementara di rumah, ayahnya
bingung—ada seorang pedagang yang hendak melamar anak gadisnya.
Ketika Ose memimpin para serdadu Jepang menyanyikan Kimigayo,
Kliwon dan para tawanan mulai melarikan diri. Meski mereka telah kalah, namun
Ose dan serdadu yang lain tidak terima jika tawanan melarikan diri.
“Kejar mereka, tangkap dan bawa ke sini. Kalau perlu, tembak
di tempat,” perintah Ose sambil ia pun ikut dalam rombongan.
Pasukan bergerak mengejar tawanan. Kliwon dan orang-orang
Belanda sudah tiba di satu titik tempat Lena menanti. Kedua orang yang sudah
terpaut asmara itu saling berkeras: Kliwon menyuruh Lena pulang, namun
perempuan itu menolak. Sementara serdadu Jepang semakin mendekat. Tak lama,
dengan senjata api dan bayonet terhunus, mereka pun sampai di tempat para
tawanan sempat berhenti.
Para tawanan berhasil lari, namun Kliwon, Lena, dan seorang
Belanda masih tertahan di tempat semula.
“Tembak!” Teriak Ose.
Ketiga orang itu pun roboh diterjang timah panas.
Di hari-hari terakhir sebelum Ose dan Satiyah
berpisah—setelah urusan para tawanan dianggap selesai, mereka duduk
berhadap-hadapan. Satiyah berkeras agar ia bisa ikut dengan Ose, namun tak
bisa.
“Jangan ikut saya, Satiyah-san. Purang kampung saja (orang
Jepang susah melafalkan huruf ‘r’), jadi orang baik-baik, jaga anak-anak
baik-baik. Jangan ikut saya,” ujar Ose.
Satiyah menangis. Ose menangis. Keduanya terisak sambil
berhadap-hadapan. Saling tatap. Lalu berciuman. Ciuman penghabisan, ciuman
perpisahan. Ya, ciuman-ciuman sedih. Namun, perlahan menjadi ciuman hangat
membara. Keduanya mulai terengah-engah.
“Masta,” (panggilan Satiyah untuk Ose) bisik Satiyah lirih,
“mari tidur sama saya.”
Teks fiksi yang mengabadikan periode pendudukan Jepang yang
singkat di Indonesia, bisa jadi memang sedikit, dan kisah di atas adalah salah
satunya: Dan Perang pun Usai. Roman
satu-satunya dari Ismail Marahimin ini berhasil menjadi pemenang kedua sayembara
mengarang roman Dewan Kesenian Jakarta tahun 1977. Karya penulis kelahiran
Medan, 23 April 1934 ini juga mendapat penghargaan The Pegasus Prize for
Literature—penghargaan yang diberikan oleh Mobil Oil Corporation untuk karya
sastra suatu bangsa yang dianggap bermutu, oleh sebab itu layak diperkenalkan
ke suluruh dunia.
“Dia membuat saya benar-benar menjadi penulis!” Ujar Helvy
Tiana Rosa—sastrawan pendiri organisasi kepenulisan Forum Lingkar Pena, mengungkapkan
kesannya terhadap dosennya tersebut. Di kalangan para alumni Universitas
Indonesia, penulis yang wafat pada tahun 2008 itu terkenal karena metode
belajarnya di mata kuliah Penulisan Populer.
“Kalau anda lulus mata kuliah ini, itulah modal hidup Anda!”
Begitu ungkapan yang beredar di sebagian alumni UI.
Ketika memenangkan perhargaan dari Dewan Kesenian Jakarta,
Ismail Marahimin sudah berusia 43 tahun, sebuah angka yang tidak muda lagi jika
dibandingkan dengan para penulis lain yang menulis novel pertamanya di usia
yang relatif masih muda. Sebagai contoh, novel pertama Merari Siregar terbit
sebelum usianya 25 tahun, atau Ajip Rosidi yang novel pertamanya terbit sebelum
ia genap berusia 20 tahun.
“Saya bukan orang yang tekun di bidang ini. Saya baru menulis
kalau kebetulan lagi masa paceklik,” ujar Ismail Marahimin seperti dikutip
laman Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dari Berita Mobil tahun 1984.
Nugroho Notosusanto—koleganya di Universitas Indonesia, masih
di laman yang sama mengomentari Dan
Perang pun Usai.
“Masa penjajahan Jepang telah meninggalkan pengalaman yang
tragis. Namun, para jurnalis dan sejarawan telah menerangkan dan menganalisa
masa itu atau beberapa segi dari masa itu dengan pendekatan makro, sedangkan
Ismail Marahimin dengan novelnya telah menyentuh kehidupan rakyat kecil di sekitarnya
sehingga menggambarkan kehidupan manusia yang sesungguhnya,” ujarnya.
Jejak pendudukan Jepang di Sumatera dan penderitaan para
pekerja paksa yang mengerjakan pembuatan rel kereta api dari Muaro Sijunjung
sampai Pekanbaru—yang juga menjadi salah satu latar novel ini, direkam oleh Henk
Hovinga dalam The Sumatra Railroad: Final
Destination Pakan Baroe, 1943-1945.
Kengerian dan penderitaan yang ditulis dalam buku yang
diterbitkan oleh KITLV (Koninklijk
Instituut voor Taal Land-en Volkenkunde)
tahun 2010 ini sekilas dapat dilihat dari prolog dan judul-judul bab di
dalamnya: The Forgotten Drama, The road
to oblivion, Railway through the mud, Beating and starch, Maggots with Sambal,
The shadow of death, Slaving in the gorge, The golden spike, Waiting for
freedom, dan Silent witnesses.
“Seperti ada jalur-jalur rel, jadwal dan skenario yang ketat
yang mengatur seseorang agar berada pada suatu tempat pada suatu waktu
tertentu, untuk bertemu dengan seseorang lain yang akan membawa kebahagiaan,
bencana atau hanya untuk berpisah kembali selama-lamanya, dan untuk sekadar
meninggalkan ingatan dan kenangan,” tulis Ismail Marahimin terkait nasib
manusia yang ada dalam karyanya. [irf]
No comments:
Post a Comment