Tak pernah kami perkatakan bagaimana nanti kami
menjemput ajal. Kami sadar, pertanyaan itu di luar jangkauan kodrat kami untuk
menjawabnya. Tetapi, niat kami sudah teguh. Kalau kami mati, kami ingin
dikuburkan di daratan Nantalu, di hulu sungai ini, di mana hutan tak mengenal
tepi. Kami merasa tak nyaman dengan pekuburan umum, yang membuat kami
terus-menerus merasa dikejar-kejar perasaan bersalah, karena membiarkan orang
tua kami menjalani istirahat penghabisan dengan ancaman banjir dan limbah rumah
tangga yang amis.
Angan-angan kami adalah sebuah istirahat kubur yang damai di
bawah langit biru di lingkungan hutan hujan. Betapa bahagianya kami nanti dari
dalam liang lahad bisa menyaksikan air yang menderu tak habis-habisnya,
berebutan jatuh meluncur membasuh tebing. Akangkah nikmatnya menyaksikan hablur
air yang deras menghanyutkan jutaan kiambang buih ke Selat Malaka, meninggalkan
jejak pelangi di pucuk-pucuk pohon.
Tetapi, apa mau dikata, cita-cita yang sudah berusia lebih
setengah abad itu hanyut sudah. Sekarang aku berdiri seorang diri di tubir
sungai ini, di Nantalu. Hati terluka, karena apa yang dulu telah bulat kami
tancapkan sebagai niat tinggal angan-angan hampa belaka. Paling tidak untuk
Bro, kawanku….
Dulu, ketika baru balig, tak pernah kami bayangkan bahwa
kematian tidak selamanya harus berakhir di liang persegi panjang di sebidang
tanah. Agama yang kami anut tidak memungkinkan khayal kami untuk berpikir
tentang akhir hayat seperti itu. Yang tidak memerlukan tanah barang sejengkal
pun sebagai kuburan. Dan bahwa dengan panasnya tungku krematorium, tulang dan
daging seonggok jasad bisa tinggal hanya segumpal debu. Namun, justru jalan
kematian yang berapi seperti itulah yang telah ditempuh Bro, setelah dia
mengembara berpuluh tahun di dua daratan benua.
Sendirian aku di tepi sungai ini. Di kakiku air berkecipak
berlomba ke muara. Di tanganku telentang cawan seputih gading. Di dalamnya
tertumpuk jasad Bro yang hanya tinggal abu, seujung tajuk bunga kamboja
banyaknya. Dari Prancis, anaknya, Suilien, memohon agar aku berkenan melarung
abu ayahnya itu di sungai ini, di tumpah darahnya ini. Suilien tak bisa datang.
Bukan karena tak ada waktu untuk sang ayah. Masalahnya, dia membayangkan betapa
dia takkan kuasa menahan getirnya perasaan melihat mulut-mulut yang mencibir,
yang ditujukan kepadanya. “Cis najis, cucu berdarah iblis….” Begitulah mungkin
umpat semua mata begitu menyaksikan kedatangannya.
Suilien ingat bagaimana jasad atoknya, ayah dari ayahnya,
45 tahun lalu, dibiarkan dingin membatu, sampai-sampai cairan tubuhnya sudah
merembes dari celah kuku. Lalat dan belatung mengerubung, tapi tak ada warga
yang mau merapat. Tak ada yang ridho menguburkannya baik-baik, dengan doa, walau
hanya selenting. Dendam yang sesat telah menjadikan orang tua itu lebih hina
daripada ikan patin yang terapung membusuk. Padahal, dia yang terbujur itu
bukanlah pembangkang Tuhan. Dia pernah menjadi anggota parlemen, berulang-ulang
naik kapal laut untuk menunaikan ibadah haji. Tetapi, di mata mereka yang telah
merampas pedang dari tangan Tuhan, jasadnya tak layak dimakamkan, karena
anaknya dipercaya jadi dalang pembantaian para jenderal.
Beberapa tahun sebelum peristiwa berdarah yang
menjungkirbalikkan jalannya sejarah negeri ini, Bro dan istrinya bertolak
memenuhi undangan ke Tiongkok. Dia mendapat tawaran yang baik, menjadi guru
Bahasa Indonesia di sana. Malang, hanya sekejap dia menikmati hidup sebagai
seorang guru besar. Ajakan penyair Boejoeng Saleh melalui puisi pendeknya, “Datanglah ke Tiongkok/tengok
hari esok,”hanya menemukan kenyataan seperti tuba di dasar gelas.
Revolusi Kebudayaan melanda Tiongkok. Bukan cuma kaum komunis yang dicap jadi
borjuis di negeri itu saja yang jadi sasaran. Juga orang-orang Indonesia yang
menjadi tamu perayaan hari jadi Republik Rakyat Tiongkok. Mereka tak bisa
kembali ke kampung, kecuali siap untuk ditangkap dengan tuduhan terlibat
persekongkolan membantai para jenderal.
Bro dan kawan-kawannya disingkirkan dari kota. Sama dengan
kaum komunis lokal, yang dituduh terjangkit penyakit borjuis dan harus dicuci
otaknya, Bro juga menemukan nasib yang tak kalah buruk. Bersama kawan-kawannya,
dia digiring ke pedesaan. Dia dipaksa melakukan kerja badan, bertani, sebagai
hukuman untuk gaya hidup yang dicap berleha-leha ala tuan tanah selama ini. Bro
yang semasa kecil di kota kami ikut mengejek dan melempari apek, yaitu Cina
tua dan papa yang sedang membuang kotoran manusia ke sungai, sekarang nyahok. Dia dipaksa
memungut kotoran manusia untuk disiramkan ke tanaman sebagai pupuk, semacam
pembenaran terhadap petuah Ketua Mao bahwa pabrik pupuk terbesar di dunia ada
di perut manusia.
Akhirnya, Bro berniat melarikan diri, dan dia menemukan jalan
untuk menyingkir dari siksaan berkepanjangan. Melalui perjalanan darat beribu
kilometer, yang tak pernah dia bayangkan, sampailah dia di Paris. Di kota itu
dia bertemu dengan seorang kawan yang juga tak bisa pulang ke Jakarta, kecuali
siap ditangkap, disiksa, dan dibunuh.
Museum yang mengagumkan, restoran-restoran dengan bangunan antik
yang menggiurkan, menyaksikan Bro dan kawan-kawan yang bertubuh kecil itu,
menyeret-nyeret kaki, luntang-lantung mencari jalan untuk bertahan hidup.
Didorong angin musim panas, terkadang tubuh Bro yang gembor kelihatan sempoyongan
seperti layang-layang putus tali teraju. Sambil berjalan, hernianya kerap
kumat. Untung di Paris. Orang-orang di sini takkan melirik pisak celananya yang
menjendol sebesar kelapa. Di kota kami, penyakit itu akan menjadi olok-olok.
Akan ada orang yang iseng, membeli jeruk purut, dibubuhi garam, diperas, dan
ditiupkan jampi dari kejauhan, bikin kantong buah pelir membengkak, gatal tak
karuan.
Pada sebuah daun pintu, di sebelah gereja tua, harap-harap cemas
dua sahabat sepenanggungan itu mengetuk dengan kepala merunduk. Bolak-balik
beberapa kali bertemu dengan pengurus perkumpulan yang berkantor di sebelah
gereja itu, akhirnya mereka memperoleh pinjaman untuk mendirikan restoran
masakan Indonesia. Turis rupa-rupa bangsa, yang mencari-cari makanan eksotis, menemukan
yang mereka buru di situ. Mereka yang dikejar-kejar pemerintah Indonesia
menjadikan restoran yang taplak mejanya berwarna merah itu sebagai pusat temu
kangen. Buat pejabat dari Jakarta, kecuali seniman, yang mampir di Paris,
restoran tersebut adalah tujuan yang harus dihindari. Seperti ada wabah lepra
di situ.
Restoran bertaplak merah itu menarik perhatian Jio, teman Bro
ketika masih di Jakarta. Jio yang tak tahan menanggung siksa membelot menjadi
interogator terhadap para tahanan politik yang adalah kawan-kawannya sendiri.
Dia pelukis, dan dialah yang memberikan ilham jahat kepada penguasa militer,
bahwa di pedestal, di atas tempat patung Dirgantara akan ditempatkan, yang
lancip berdiri diperempatan Pancoran, Jakarta, adalah patung pencungkil mata. Untuk
membangkitkan amarah masyarakat terhadap pembunuhan jenderal, koran-koran yang
berada di bawah kontrol militer, yang bernafsu untuk menjatuhkan Soekarno
dengan membantai para pendukungnya, melansir berita bahwa para jenderal,
setelah dibunuh, dimutilasi dalam seribu potong. Dicungkil matanya. Patung
pencungkil mata itu buktinya.
Sebelum meninggal karena dibunuh kencing manis, Jio berniat
memata-matai restoran bertaplak merah itu. Tak sulit buatnya. Kekuasaan dekat
ketiaknya. Duit, apalagi. Dia pun terbang ke Paris. Bro kaget ketika melihat
Jio sudah berdiri di depan hidungnya. Nama Jio dan seluruh kelakuannya sudah
lama jadi bahan cemooh di kalangan mereka yang terdampar di Eropa. “Apakah
sudah sejauh ini tugas yang diterima kawan ini…?” tanya Bro di dalam hati.
Tenang, dengan keramahan setengah hati, dia melayani tamu
istimewanya hari itu. Yang tidak bisa dia patuhi adalah ketika Jio ingin
menginap di apartemennya. “Apakah sebagai interogator dan intel, tugasnya
termasuk memenggal kepalaku selagi tidur?” teriak Bro di dalam hati.
“Ingat kau,” tiba-tiba dia berbicara dalam nada tinggi, tak
tahan membendung amarah. “Ini bukan Kota Paris, sarang lonte di Senen, Jakarta.
Ini Paris, ibu kota negara di mana hukum jadi ukuran peradaban. Ini bukan
negaramu, negara hukuman…!” Sebagai warga negara Prancis, Bro tentu tak bisa
disentuh seorang pendurhaka semacam Jio.
Bro adalah sebuah perjalanan hidup yang tidak biasa, yang tiada
tara. Bertahun menetap di Beijing. Dihinakan Revolusi Kebudayaan. Kehilangan
istri di sini. Melompati Tembok Besar, melarikan diri ke Eropa. Berpuluh tahun
hidup bukan dari buku, tetapi dari ulekan sambal di dapur.
Semasa anak-anak, kami sepengajian. Kuingat benar, tiga kali
kami tamat membaca Alquran. Tiga kali pula diupah-upah berbarengan. Tapi, ah….
Lututku lemas. Empat tahun sebelum Bro jatuh terduduk dan tak bangun-bangun
lagi di restoran bertaplak merah itu, agama yang sama-sama kami yakini ternyata
dia tinggalkan. Ke mana pun pergi, sebentuk salib perak menggantung pas di
tentang jantungnya. Apakah perjalanan hidup yang kelabu, yang dia tempuh
berpuluh tahun, sama menyiksanya dengan yang dialami kawan-kawannya di tahanan
dan di pulau pembuangan Indonesia, di mana para penceramah agama dan Pancasila
menyumpahi mereka sebagai komunis, biang kufur?! Membuat iman si pesakitan
guncang?!
“Seberat apa pun cobaan, pantang kami menyerahkan iman.” Itu
kata penyair Aceh, sahabat Bro, begitu mendengar kabar terakhir tentang
dirinya. Pengusung salib sejati Bro juga tidak. Dia bersahabat dengan seorang
pendeta Buddha yang sama-sama ditindas komunis radikal di Tiongkok tempo hari.
Cahaya persahabatan itulah yang di kemudian hari mengilhami Bro dalam mengatasi
kemusykilan ketika akan menuliskan wasiat kepada anaknya, dengan jalan
bagaimana dia akan kembali kepada pencipta-Nya. Sebab, dia ingin jasadnya yang
sudah ditinggalkan rohnya—ibarat rumah yang sudah kosong—tidak hanya berada di
Paris, tetapi juga ada di Amsterdam, Beijing, Berlin, dan Nantalu. Bro memilih
jalan kematian seorang Buddhis: kremasi.
Bro telah menulis beberapa buku kenang-kenangannya semasa dia
masih berada di Indonesia. Dalam bayanganku, Bro tentulah akan menulis sebuah
buku dengan kisah yang merenggut perhatian, juga simpati, apabila dia
menceritakan perjalanan hidupnya di daratan jauh. Dan menumpahkan pengakuan
bagaimana kepercayaan, juga iman, telah menjadi permainan yang lapuk dalam
sebuah perjalanan hidup yang buruk dan tak pernah dia mimpikan.
Di Nantalu, ya, di Nantalu, nama yang bermakna “yang kalah,” air
terus berpendar berkecipak menciumi tebing. Tinggi-tinggi kuangkat cawan berisi
sejumput abu Bro. “Tuhan, siapa pun Kau, terimalah kawanku ini. Dia orang
baik-baik, sebagaimana yang telah kau tentukan bagi jalan hidupnya.” Lututku
ngilu. Aku membungkuk dalam-dalam, membenamkan cawan perlahan ke pusaran air.
Bro lenyap dalam sekejap. Aku percaya, kawanku itu sedang berenang-renang ke
surga… [ ]
Tayang di Jawa Pos edisi 12 Desember 2010
No comments:
Post a Comment