Apa kabarmu sekarang? Sejak terakhir kali kita bertemu di
Transjakarta arah Tanjung Priok itu, rasa-rasanya waktu telah melebarkan
sayapnya.
Belum berlalu lama tentu saja, tapi sejak pertemuan terakhir
di tahun 2011 itu, jarak yang membentang telah membawa saya ke warung
roti bakar sendirian. Tak ada lagi obrolan-obrolan kita yang
membicarakan banyak hal. Penjual roti bakar pun kini telah berganti, dan
mulai sepi pengunjung.
Apa yang kamu khawatirkan perlahan mulai menjadi
kenyataan, selain anak-anak muda, orang-orang tua yang dulu sering kita
jumpai pun mulai beralih ke convenience store yang lampunya
menyala terang hampir menyilaukan mata.
Benar katamu, apa enaknya
melakukan transaksi jual beli hanya dengan bantuan mesin pembaca barcode, dan menerima ucapan “terima kasih” dari pelayan yang tanpa ekspresi?
Sambil menyeruput kopi hitam dan menyantap roti bakar rasa coklat,
saya saat ini sesungguhnya tengah menikmati cuaca Jakarta yang basah
karena hujan. Pohon-pohon yang dulu kamu sukai, kini benar-benar telah
berkurang, habis dimakan pembangunan gedung-gedung berpendingin.
Meskipun memang kota ini pada dasarnya panas karena berada di pesisir
pantai, namun kehilangan pohon dengan begitu massif membuat panas
menjadi berlipat-lipat. Maka syukurlah, hujan membuat kota ini menjadi
lumayan sejuk. Di kotamu sendiri bagaimana?, apakah hujan sedang turun? Ah maafkan saya yang tidak hafal siklus musim di negaramu.
Kato San, hari Rabu pada tanggal 1 Januari 2014 kemarin, saya hendak
pergi ke toko buku yang berada di jalan Matraman. Di halte Senen saya transit
dan menunggu bus yang hendak pergi ke arah Kampung Melayu. Rupanya
pengalamanmu yang pernah kau ceritakan itu berulang pada saya.
Katanya
semalam, dalam rangka menyambut malam pergantian tahun, bus ini
beroperasi 24 jam, sehingga pada siang hari armadanya sangat terbatas,
mungkin para sopirnya masih mengantuk atau ada alasan lain, saya tidak
tahu. Tapi yang pasti bus sungguh lama datangnya.
Saya tunggu hampir
satu jam, namun bus itu tak kunjung datang juga. Maka dengan kesal saya
tinggalkan halte dan setengah berlari mengejar angkot jurusan
Senen-Kampung Melayu. Tak lupa saya melambaikan tangan kepada para calon
penumpang yang masih sabar menanti kedatangan bus yang entah kapan
datangnya. Kau kan masih ingat pengalamanmu itu, bukan?
Apakah kau merindukan saat-saat mengamen di bus jurusan Blok M-Kota?
Ya, waktu kau dan kawan Jepangmu mulai berteriak, “kami datang dari
Jepang, silahkan dengarkan lagu-lagu kami.” Maka saat lagu selesai dan
mereka dengan antusias bertepuk tangan dan hampir semuanya memberimu
uang, apakah kau berpikir bahwa orang Indonesia memang ramah dan sangat
bersahaja-berkawan? Ah, jangan terlampau yakin. Sikap kami, orang
Indonesia ini, kepada orang asing memang selalu begitu. Tapi kepada
bangsa sendiri, kadang-kadang, jika ada yang ngamen kami langsung
pura-pura tidur.
Saya menulis surat ini sambil mendengarkan permainan piano Jaya
Suprana membawakan lagu-lagu Ismail Marzuki. Apa kamu tahu musisi yang
satu itu, Kato San?. Atau kamu hanya pernah mendengarkan lagu Ondel-ondel Benyamin Sueb saja selama di Jakarta dulu? Hehehe…
Oh iya, sehabis pulang dari toko buku saya mampir dulu di warung nasi
Kapau yang ada di Simpang Lima Senen. Barangkali kau pun pernah makan
di sana? Kalau belum pernah, biar saya ceritakan sedikit. Lauk pauk-nya
sungguh enak, rasanya pun mungkin cocok dengan lidahmu yang kurang
menyukai rasa manis seperti makanan Jawa.
Ya, tentu saya masih ingat
dengan ceritamu waktu kau mengunjungi Yogyakarta dan untuk
pertamakalinya menyantap Nasi Gudeg. Kau kan bilang waktu itu,
“sebenarnya, saya suka yang manis-manis, tetapi kalau makanan manis
dicampur dengan nasi saya kurang suka.” Seperti di Restoran Padang yang
sering kau kunjungi, di warung nasi Kapau pun kau lebih baik menggunakan
jari tangan saja waktu menyantapnya, lebih mantap.
Baru-baru saya mulai rutin lagi menulis di blog bersama seorang
kawan. Sekali waktu modem saya hilang, pulsa habis, dan jaringan
internet di kantor pun diputus. Akhirnya saya pergi mencari warnet,
namun seperti juga wartel yang pernah kau ceritakan, di Jakarta kini
susah menemukan warnet. Orang-orang sudah beralih ke smartphone
untuk mengakses internet. Dunia benar-benar telah berada di genggaman
jari.
Setelah berputar-putar keluar-masuk gang, akhirnya saya menemukan
warnet yang jaraknya cukup jauh dari rumah kontrakan. Pengunjungnya
sepi, dan jaringannya sungguh menjengkelkan; lelet bukan main. Kau mungkin terpesona dengan sikap nrimo sebagian orang Indonesia pada hal-hal yang kadang menjengkelkan, namun ketahuilah itu hanyalah pandangan subjektifmu saja.
Kato San yang baik,
Selama
kita berkawan dan membicarakan banyak hal waktu kau tinggal di Jakarta,
saya menangkap semacam kebenaran umum, bahwa orang-orang asing yang
tidak terlalu lama tinggal di sini, dan tidak terlampau mengakrabi
kehidupan sehari-hari, selalu merasakan kesan yang bagus pada Indonesia,
khususnya kota Jakarta.
Atau semacam apresiasi pada kondisi kontras
antara satu budaya dengan budaya yang lain. Maksud saya, seperti halnya
turis-turis dari Barat, mereka selalu tertarik dengan hal-hal yang
mungkin tidak mereka temui di kehidupan sehari-harinya. Misalnya, mereka
terpukau dengan budaya Bali yang religius; persembahan, do’a, dan
sesaji setiap hari.
Kau pun saya pikir tak jauh berbeda. Waktu di Jepang orang-orang
bilang, “berusahalah dengan baik,” sedangkan di sini seperti yang kau
katakan, “janganlah terburu-buru begitu!.” Sebuah budaya yang bertolak
belakang sama sekali, kemudian kau terpesona.
Tidak ada yang salah
memang, karena seperti juga orang-orang Melayu dalam buku Edensor
karangan Andrea Hirata—nanti kalau kau ke sini lagi saya pinjamkan,
mereka juga terpukau dengan keindahan Eiffel di Paris, bahkan pada nama
seorang warga Perancis sekali pun! Ya, kontras ragam budaya adalah
semacam mataair yang tak henti-hentinya mengalirkan
ketertarikan-ketertarikan manusia.
Pada kesempatan ini, saya sebenarnya ingin sekali menulis banyak hal
tentang Jakarta hari ini, Jakarta yang setelah kepulanganmu ke negeri
leluhur, terus berubah dan menyisakan banyak ironi. Saya tidak tahu,
kalau kau datang lagi ke Jakarta, apakah kau masih tetap mencintainya
atau malah sebaliknya. Bahwa pada akhirnya kau menulis buku tentang
kerinduanmu pada Indonesia saya ucapkan terimakasih. Bagaimana pun,
setiap orang berhak mengungkapkan perasaan dan pengalaman hidupnya.
Sampai di sini dulu surat saya, Kato San. Lain waktu insyaAllah disambung lagi.
Salam
No comments:
Post a Comment