23 April 2014

Surat untuk Hisanori Kato

Kato San yang baik,

Apa kabarmu sekarang? Sejak terakhir kali kita bertemu di Transjakarta arah Tanjung Priok itu, rasa-rasanya waktu telah melebarkan sayapnya.

Belum berlalu lama tentu saja, tapi sejak pertemuan terakhir di tahun 2011 itu, jarak yang membentang telah membawa saya ke warung roti bakar sendirian. Tak ada lagi obrolan-obrolan kita yang membicarakan banyak hal. Penjual roti bakar pun kini telah berganti, dan mulai sepi pengunjung. 

Apa yang kamu khawatirkan perlahan mulai menjadi kenyataan, selain anak-anak muda, orang-orang tua yang dulu sering kita jumpai pun mulai beralih ke convenience store yang lampunya menyala terang hampir menyilaukan mata. 

Benar katamu, apa enaknya melakukan transaksi jual beli hanya dengan bantuan mesin pembaca barcode, dan menerima  ucapan “terima kasih” dari pelayan yang tanpa ekspresi?

Sambil menyeruput kopi hitam dan menyantap roti bakar rasa coklat, saya saat ini sesungguhnya tengah menikmati cuaca Jakarta yang basah karena hujan. Pohon-pohon yang dulu kamu sukai, kini benar-benar telah berkurang, habis dimakan pembangunan gedung-gedung berpendingin. 

 Meskipun memang kota ini pada dasarnya panas karena berada di pesisir pantai, namun kehilangan pohon dengan begitu massif membuat panas menjadi berlipat-lipat. Maka syukurlah, hujan membuat kota ini menjadi lumayan sejuk. Di kotamu sendiri bagaimana?, apakah hujan sedang turun? Ah maafkan saya yang tidak hafal siklus musim di negaramu.

Kato San, hari Rabu pada tanggal 1 Januari 2014 kemarin, saya hendak pergi ke toko buku yang berada di jalan Matraman. Di halte Senen saya transit dan menunggu bus yang hendak pergi ke arah Kampung Melayu. Rupanya pengalamanmu yang pernah kau ceritakan itu berulang pada saya. 

Katanya semalam, dalam rangka menyambut malam pergantian tahun, bus ini beroperasi 24 jam, sehingga pada siang hari armadanya sangat terbatas, mungkin para sopirnya masih mengantuk atau ada alasan lain, saya tidak tahu. Tapi yang pasti bus sungguh lama datangnya. 

Saya tunggu hampir satu jam, namun bus itu tak kunjung datang juga. Maka dengan kesal saya tinggalkan halte dan setengah berlari mengejar angkot jurusan Senen-Kampung Melayu. Tak lupa saya melambaikan tangan kepada para calon penumpang yang masih sabar menanti kedatangan bus yang entah kapan datangnya. Kau kan masih ingat pengalamanmu itu, bukan?

Apakah kau merindukan saat-saat mengamen di bus jurusan Blok M-Kota? Ya, waktu kau dan kawan Jepangmu mulai berteriak, “kami datang dari Jepang, silahkan dengarkan lagu-lagu kami.” Maka saat lagu selesai dan mereka dengan antusias bertepuk tangan dan hampir semuanya memberimu uang, apakah kau berpikir bahwa orang Indonesia memang ramah dan sangat bersahaja-berkawan? Ah, jangan terlampau yakin. Sikap kami, orang Indonesia ini, kepada orang asing memang selalu begitu. Tapi kepada bangsa sendiri, kadang-kadang, jika ada yang ngamen kami langsung pura-pura tidur.

Saya menulis surat ini sambil mendengarkan permainan piano Jaya Suprana membawakan lagu-lagu Ismail Marzuki. Apa kamu tahu musisi yang satu itu, Kato San?. Atau kamu hanya pernah mendengarkan lagu Ondel-ondel Benyamin Sueb saja selama di Jakarta dulu? Hehehe…

Oh iya, sehabis pulang dari toko buku saya mampir dulu di warung nasi Kapau yang ada di Simpang Lima Senen. Barangkali kau pun pernah makan di sana? Kalau belum pernah, biar saya ceritakan sedikit. Lauk pauk-nya sungguh enak, rasanya pun mungkin cocok dengan lidahmu yang kurang menyukai rasa manis seperti makanan Jawa. 

Ya, tentu saya masih ingat dengan ceritamu waktu kau mengunjungi Yogyakarta dan untuk pertamakalinya  menyantap Nasi Gudeg. Kau kan bilang waktu itu, “sebenarnya, saya suka yang manis-manis, tetapi kalau makanan manis dicampur dengan nasi saya kurang suka.” Seperti di Restoran Padang yang sering kau kunjungi, di warung nasi Kapau pun kau lebih baik menggunakan jari tangan saja waktu menyantapnya, lebih mantap.

Baru-baru saya mulai rutin lagi menulis di blog bersama seorang kawan. Sekali waktu modem saya hilang, pulsa habis, dan jaringan internet di kantor pun diputus. Akhirnya saya pergi mencari warnet, namun seperti juga wartel yang pernah kau ceritakan, di Jakarta kini susah menemukan warnet. Orang-orang sudah beralih ke smartphone untuk mengakses internet. Dunia benar-benar telah berada di genggaman jari. 

Setelah berputar-putar keluar-masuk gang, akhirnya saya menemukan warnet yang jaraknya cukup jauh dari rumah kontrakan. Pengunjungnya sepi, dan jaringannya sungguh menjengkelkan; lelet bukan main. Kau mungkin terpesona dengan sikap nrimo sebagian orang Indonesia pada hal-hal yang kadang menjengkelkan, namun ketahuilah itu hanyalah pandangan subjektifmu saja.

Kato San yang baik,

Selama kita berkawan dan membicarakan banyak hal waktu kau tinggal di Jakarta, saya menangkap semacam kebenaran umum, bahwa orang-orang asing yang tidak terlalu lama tinggal di sini, dan tidak terlampau mengakrabi kehidupan sehari-hari, selalu merasakan kesan yang bagus pada Indonesia, khususnya kota Jakarta. 

Atau semacam apresiasi pada kondisi kontras antara satu budaya dengan budaya yang lain. Maksud saya, seperti halnya turis-turis dari Barat, mereka selalu tertarik dengan hal-hal yang mungkin tidak mereka temui di kehidupan sehari-harinya. Misalnya, mereka terpukau dengan budaya Bali yang religius; persembahan, do’a, dan sesaji setiap hari.

Kau pun saya pikir tak jauh berbeda. Waktu di Jepang orang-orang bilang, “berusahalah dengan baik,” sedangkan di sini seperti yang kau katakan, “janganlah terburu-buru begitu!.” Sebuah budaya yang bertolak belakang sama sekali, kemudian kau terpesona. 

Tidak ada yang salah memang, karena seperti juga orang-orang Melayu dalam buku Edensor karangan Andrea Hirata—nanti kalau kau ke sini lagi saya pinjamkan, mereka juga terpukau dengan keindahan Eiffel di Paris, bahkan pada nama seorang warga Perancis sekali pun! Ya, kontras ragam budaya adalah semacam mataair yang tak henti-hentinya mengalirkan ketertarikan-ketertarikan manusia.

Pada kesempatan ini, saya sebenarnya ingin sekali menulis banyak hal tentang Jakarta hari ini, Jakarta yang setelah kepulanganmu ke negeri leluhur, terus berubah dan menyisakan banyak ironi. Saya tidak tahu, kalau kau datang lagi ke Jakarta, apakah kau masih tetap mencintainya atau malah sebaliknya. Bahwa pada akhirnya kau menulis buku tentang kerinduanmu pada Indonesia saya ucapkan terimakasih. Bagaimana pun, setiap orang berhak mengungkapkan perasaan dan pengalaman hidupnya.

Sampai di sini dulu surat saya, Kato San. Lain waktu insyaAllah disambung lagi.

Salam

No comments: