Farid Gaban dalam bukunya yang berjudul Belajar Tidak Bicara
pernah berkisah mengenai seorang oknum aparat militer yang bertengkar
dengan seorang sopir angkot. Mereka beradu mulut, lalu oknum aparat
tersebut mengancam dengan menyebut-nyebut jabatannya selaku pemegang hak
legal senjata api. “Tunggu di sini!,” gertaknya. Merasa tidak bersalah,
sopir angkot itu tak pergi. Selang beberapa saat oknum aparat datang
lagi beserta seorang anak buahnya sambil menenteng sepucuk pistol.
“Dor!” tembakan justru mengarah ke anak buahnya, sebab sebelum peluru
itu muntah sopir angkot menangkis tangan si empunya senjata. Anak
buahnya si oknum itu terkapar bersimbah darah.
Berita dari surat kabar, sekira bulan Juli 2013, seorang pengendara
mobil yang masih berstatus mahasiswa di sebuah perguruan tinggi swasta
di Jakarta, membuka portal yang sengaja dipasang di jalur bus
Transjakarta. Waktu petugas menegurnya, dia menunjukkan kartu nama
seorang Jenderal Kepolisian untuk menakut-nakuti petugas tersebut. Dia
akhirnya lolos dan melenggang mengendarai mobilnya di jalur khusus bus.
Dua kejadian ini menegaskan kembali apa yang sering terjadi di
republik tercinta, bahwa kekuasaan, otoritas, masih mempunyai kekuatan
untuk “menegakkan” hukum sesuai keinginan si pemilik kekuasan. Aparat
yang di tangannya bersemayam senjata seringkali masih didudukkan dan
persepsikan sebagai “si pemenang” jika dihadapkan dengan warga sipil.
Petugas Transjakarta tahu yang ditunjukkan mahasiswa itu hanyalah
selembar kartu, namun nama yang tertera pada kartu tersebut membuatnya
mengerti bahwa persepsi tentang “si pemenang” tak bisa di lawan.
Persepsi ini telah mengurat-mengakar di masayarakat kita, oleh sebab itu
penyalahgunaan dan pelanggaran masih kerap terjadi. Membaca dua kisah
di atas, saya tiba-tiba teringat sepotong puisi Rendra :
Mengapa harus kita terima hidup seperti begini? / seseorang berhak diberi ijazah dokter / dianggap sebagai orang terpelajar / tanpa diuji pengetahuannya akan keadilan.
Dokter di sini menjelma dalam wujud aparat militer dan mahasiswa.
Bukankan mereka juga orang-orang yang sering kita anggap terpelajar?.
***
Cerita dua pelanggaran hukum itu pernah saya bicarakan dengan seorang kawan yang sekaligus tetangga rumah kontrakan di Jakarta. Di sebuah warung kopi kami ngobrol. “Alam reformasi saat ini mestinya harus bisa membersihkan persepsi seperti itu. Hukum yang kata Taufik Ismail dalam puisinya ‘doyong berderak-derak’ harus mulai ditegakkan.” Kawan saya tak menjawab, dia hanya tersenyum dan kemudian menyeruput kopi dari gelasnya.
Kawan saya mungkin kurang tertarik dengan apa yang saya bicarakan.
“Bung ini katanya kuliah lagi?, mengambil S2 ya?,” saya mencoba
mengganti topik pembicaraan. Dan dia mulai berbicara. Lumayan panjang.
Setelah dia selesai menjawab pertanyaan, saya menghela nafas. Ada yang
perih entah di mana.
Dia ini adalah seorang dosen dan sedang mengambil S2 di sebuah
perguruan tinggi swasta di bilangan Jakarta Pusat. Menjadi dosen memang
dituntut untuk terus meningkatkan pengetahuan, salah satunya dengan
jalan meng-upgrade level pendidikan. Tapi apa yang dilontarkan
kawan saya cukup membuat kaget. Katanya, ijazah S2 kalau nanti sudah
lulus bisa menjadi uang dengan jalan “dijual”.
Begini penjelasannya : perguruan tingggi swasta yang semakin menjamur
tentu membuat persaingan dalam menjaring calon mahasiswa semakin ketat.
Jalan untuk menarik para calon mahasiswa dan terutama orangtuanya
adalah dengan membuat perguruan tinggi seolah-olah hebat. Hal ini karena
diisi oleh para pengajar yang gelar akademiknya meyakinkan. Adalah
suatu nilai jual apabila di brosur-brosur perguruan tinggi (swasta)
berderet nama-nama pengajar yang gelarnya tidak hanya sarjana. Untuk
itulah dia menempuh jalan pasca sarjana.
Ijazah itu bisa “dijual” dengan nilai kontrak yang lumayan besar.
Untuk satu tahun kalender akademik saja ijazah bisa dihargai senilai
limapuluh juta. Soal mengajar menjadi sekunder. Cukup dengan masuk dua
atau tiga kali tatap-muka persoalan selesai, selebihnya tanggungjawab
mengajar diemban oleh staf pengajar perguruan tinggi bersangkutan. Kita
terima uang tanpa harus bersusah payah mengajar di banyak tempat, cukup
nama saja terdaftar sebagai pengajar, begitu terangnya.
Selesai obrolan saya kemudian pulang dan menyalakan televisi. Di
Metro tv terlihat ada Prof. Tjipta Lesmana tengah membicarakan soal
lembaga survey yang baru-baru merilis hasil kerjanya mengenai tingkat
elektabilitas calon presiden menghadapi tahun politik 2014.
Beliau menyayangkan orang-orang terpelajar yang berada di belakang
lembaga survey tersebut. Sikap beliau itu dilatarbelakangi oleh
kontroversi seputar hasil kerja lembaga survey yang dirilis ke publik.
Dalam rilisan itu terlihat jelas ada tendensi yang mengarahkan hasil
kepada salah seorang calon presiden, seolah-olah tingkat
elektabilitasnya meyakinkan. Padahal hasil survey-survey yang berkembang
selama ini angkanya tidak berpihak kepada calon presiden tersebut.
Dalam penelitian sosial sekalipun presisi masih bisa dikalkulasi secara
akal sehat. Nah, lembaga survey yang satu ini ditengarai menabrak logika
akal sehat. Prof Tjipta terlihat berang, “jangan sampai orang-orang
terpelajar yang berada di belakangnya menjadi pelacur-pelacur
intelektual!”
Penjelasan kawan saya di warung kopi, dan pro dan kontra di ranah
politik tersebut tentu masih bisa diperdebatkan. Namun sejauh mana
kesadaran kaum terpelajar yang berada di dalamnya barangkali patut kita
pertanyakan. Saya tidak mau dan tidak berhak menghakimi, namun mungkin
kita bisa sama-sama belajar meraba kembali nurani.
Di tengah hari-hari yang payah karena serbuan headlines
berita berpijar di televisi dan surat kabar yang membuat kita marah, apa
yang saya catat dari mula kisah oknum aparat sampai lembaga survey,
pada akhirnya mengantar saya untuk berdiri di Karet, ziarah ke makam
Pram. Di depan kuburan sastrawan besar itu saya lamat-lamat merapal apa
yang pernah ditulisnya :
Seorang terpelajar harus juga berlaku adil sudah sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan. [ ]
No comments:
Post a Comment