23 April 2014

Ironi Kaum Terpelajar

Farid Gaban dalam bukunya yang berjudul Belajar Tidak Bicara pernah berkisah mengenai seorang oknum aparat militer yang bertengkar dengan seorang sopir angkot. Mereka beradu mulut, lalu oknum aparat tersebut mengancam dengan menyebut-nyebut jabatannya selaku pemegang hak legal senjata api. “Tunggu di sini!,” gertaknya. Merasa tidak bersalah, sopir angkot itu tak pergi. Selang beberapa saat oknum aparat datang lagi beserta seorang anak buahnya sambil menenteng sepucuk pistol. “Dor!” tembakan justru mengarah ke anak buahnya, sebab sebelum peluru itu muntah sopir angkot menangkis tangan si empunya senjata. Anak buahnya si oknum itu terkapar bersimbah darah.

Berita dari surat kabar, sekira bulan Juli 2013, seorang pengendara mobil yang masih berstatus mahasiswa di sebuah perguruan tinggi swasta di Jakarta, membuka portal yang sengaja dipasang di jalur bus Transjakarta. Waktu petugas menegurnya, dia menunjukkan kartu nama seorang Jenderal Kepolisian untuk menakut-nakuti petugas tersebut. Dia akhirnya lolos dan melenggang mengendarai mobilnya di jalur khusus bus.

Dua kejadian ini menegaskan kembali apa yang sering terjadi di republik tercinta, bahwa kekuasaan, otoritas, masih mempunyai kekuatan untuk “menegakkan” hukum sesuai keinginan si pemilik kekuasan. Aparat yang di tangannya bersemayam senjata seringkali masih didudukkan dan persepsikan sebagai “si pemenang” jika dihadapkan dengan warga sipil.

Petugas Transjakarta tahu yang ditunjukkan mahasiswa itu hanyalah selembar kartu, namun nama yang tertera pada kartu tersebut membuatnya mengerti bahwa persepsi tentang “si pemenang” tak bisa di lawan. Persepsi ini telah mengurat-mengakar di masayarakat kita, oleh sebab itu penyalahgunaan dan pelanggaran masih kerap terjadi. Membaca dua kisah di atas, saya tiba-tiba teringat sepotong puisi Rendra :
Mengapa harus kita terima hidup seperti begini? / seseorang berhak diberi ijazah dokter / dianggap sebagai orang terpelajar / tanpa diuji pengetahuannya akan keadilan.
Dokter di sini menjelma dalam wujud aparat militer dan mahasiswa. Bukankan mereka juga orang-orang yang sering kita anggap terpelajar?.

***

Cerita dua pelanggaran hukum itu pernah saya bicarakan dengan seorang kawan yang sekaligus tetangga rumah kontrakan di Jakarta. Di sebuah warung kopi kami ngobrol. “Alam reformasi saat ini mestinya harus bisa membersihkan persepsi seperti itu. Hukum yang kata Taufik Ismail dalam puisinya ‘doyong berderak-derak’ harus mulai ditegakkan.” Kawan saya tak menjawab, dia hanya tersenyum dan kemudian menyeruput kopi dari gelasnya.

Kawan saya mungkin kurang tertarik dengan apa yang saya bicarakan. “Bung ini katanya kuliah lagi?, mengambil S2 ya?,” saya mencoba mengganti topik pembicaraan. Dan dia mulai berbicara. Lumayan panjang. Setelah dia selesai menjawab pertanyaan, saya menghela nafas. Ada yang perih entah di mana.

Dia ini adalah seorang dosen dan sedang mengambil S2 di sebuah perguruan tinggi swasta di bilangan Jakarta Pusat. Menjadi dosen memang dituntut untuk terus meningkatkan pengetahuan, salah satunya dengan jalan meng-upgrade level pendidikan. Tapi apa yang dilontarkan kawan saya cukup membuat kaget. Katanya, ijazah S2 kalau nanti sudah lulus bisa menjadi uang dengan jalan “dijual”.

Begini penjelasannya : perguruan tingggi swasta yang semakin menjamur tentu membuat persaingan dalam menjaring calon mahasiswa semakin ketat. Jalan untuk menarik para calon mahasiswa dan terutama orangtuanya adalah dengan membuat perguruan tinggi seolah-olah hebat. Hal ini karena diisi oleh para pengajar yang gelar akademiknya meyakinkan. Adalah suatu nilai jual apabila di brosur-brosur perguruan tinggi (swasta) berderet nama-nama pengajar yang gelarnya tidak hanya sarjana. Untuk itulah dia menempuh jalan pasca sarjana.

Ijazah itu bisa “dijual” dengan nilai kontrak yang lumayan besar. Untuk satu tahun kalender akademik saja ijazah bisa dihargai senilai limapuluh juta. Soal mengajar menjadi sekunder. Cukup dengan masuk dua atau tiga kali tatap-muka persoalan selesai, selebihnya tanggungjawab mengajar diemban oleh staf pengajar perguruan tinggi bersangkutan. Kita terima uang tanpa harus bersusah payah mengajar di banyak tempat, cukup nama saja terdaftar sebagai pengajar, begitu terangnya.

Selesai obrolan saya kemudian pulang dan menyalakan televisi. Di Metro tv terlihat ada Prof. Tjipta Lesmana tengah membicarakan soal lembaga survey yang baru-baru merilis hasil kerjanya mengenai tingkat elektabilitas calon presiden menghadapi tahun politik 2014.

Beliau menyayangkan orang-orang terpelajar yang berada di belakang lembaga survey tersebut. Sikap beliau itu dilatarbelakangi oleh kontroversi seputar hasil kerja lembaga survey yang dirilis ke publik. Dalam rilisan itu terlihat jelas ada tendensi yang mengarahkan hasil kepada salah seorang calon presiden, seolah-olah tingkat elektabilitasnya meyakinkan. Padahal hasil survey-survey yang berkembang selama ini angkanya tidak berpihak kepada calon presiden tersebut. Dalam penelitian sosial sekalipun presisi masih bisa dikalkulasi secara akal sehat. Nah, lembaga survey yang satu ini ditengarai menabrak logika akal sehat. Prof Tjipta terlihat berang, “jangan sampai orang-orang terpelajar yang berada di belakangnya menjadi pelacur-pelacur intelektual!”

Penjelasan kawan saya di warung kopi, dan pro dan kontra di ranah politik tersebut tentu masih bisa diperdebatkan. Namun sejauh mana kesadaran kaum terpelajar yang berada di dalamnya barangkali patut kita pertanyakan. Saya tidak mau dan tidak berhak menghakimi, namun mungkin kita bisa sama-sama belajar meraba kembali nurani.

Di tengah hari-hari yang payah karena serbuan headlines berita berpijar di televisi dan surat kabar yang membuat kita marah, apa yang saya catat dari mula kisah oknum aparat sampai lembaga survey, pada akhirnya mengantar saya untuk berdiri di Karet, ziarah ke makam Pram. Di depan kuburan sastrawan besar itu saya lamat-lamat merapal apa yang pernah ditulisnya :
Seorang terpelajar harus juga berlaku adil sudah sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan. [ ]

No comments: