Waktu duduk di bangku sekolah dasar, entah kelas berapa lupa lagi,
saya mulai mengenal segitiga kebutuhan dasar manusia;
sandang-pangan-papan. Baru-baru setelah dewasa, ada pula yang
menambahkan bahwa kebutuhan dasar yang ke empat adalah seks. Segitiga
berubah menjadi segiempat. Tapi semenjak tinggal di Jakarta,
rasa-rasanya yang paling sering terdengar adalah pangan. “Kalau kami
digusur, kami mau makan apa?,” begitu kata pedagang kakilima yang kena
razia polisi Pamong Praja. “Kerja sih kerja, tapi jangan ngambil priuk
nasi orang dong!,” kata seorang salesman obat yang langganannya
diserobot rekan kerja. Atau sebuah bisikan yang paling dekat dan nyata,
“Bung, pegang uang?, saya pinjam dulu ya buat makan, awal bulan saya
ganti.”
Dalam keseharian, persoalan pangan telah menjadi urat nadi interaksi.
Memang dalam gerak semesta kerja, urusan perut bukanlah satu-satunya
yang dikejar, namun seringkali menjadi yang pertama, atau yang
didahulukan. Dalam pergaulan orang Sunda ada istilah, “beuteung seubeuh, duit weuteuh, *sensor* baseuh”
(perut kenyang, uang utuh, yang disensor berkaitan dengan urusan seks).
Ungkapan itu menunjukkan bahwa pangan memang seringkali menempati
urusan yang mula-mula. Banyak orang paham belaka, Jakarta ini ibarat
gula yang dikerubungi jutaan semut yang berdatangan dari segala penjuru
Nusantara. Bahkan perumpamaan pun memakai kata “gula”, sesuatu yang bisa
dimakan.
Barangkali ada yang memandang sinis jika kerja diidentikkan dengan
urusan perut belaka, saya setuju, memang bukan di situ poinnya. Dari
urusan mengisi energi dengan makanan untuk kemudian dijadikan modal
tenaga dalam bekerja, barulah nanti kita bisa menakar perlahan-lahan.
Pagi hari di Jakarta, bahkan tembus sampai tengah malam yang sangat
larut, kata “bersegeralah” rupanya sangat dihayati oleh orang-orang yang
senantiasa bergerak menjemput rejeki. Di gang-gang sempit para penjual
keliling ramai bersahut-sahutan menawarkan barang. Di jalan raya,
angkutan publik yang lebih mirip monster selalu sesak oleh para pegawai
yang hendak menuju tempat kerja. Anak-anak sekolah yang hendak menjemput
rejeki ilmu berseliweran di atas motor tunggangannya masing-masing.
Sementara mobil pribadi memberi tahu bahwa para bos dan pimpinan
perusahaan pun tak ketinggalan. Sampailah ke permulaan malam hingga
larut, barangkali “kupu-kupu kertas” pun mulai berkeliaran. Jakarta
selalu berdenyut.
Dalam proses kerja yang riuh itu, dapatkah dipungkiri jika di
pusarannya selalu saja ada sikap saling terkam, saling serobot, dan
bahkan pertempuran?. Berita korupsi di layar kaca sudah terlalu populer
jika dibuat misal. Pada kenyataannya, seringkali kita melanggar
batas-batas kemanusiaan. Atas nama kompetisi kita bersaing dengan tidak
sehat. Demi menyenangkan istri adakalanya kita mengambil jatah yang
bukan hak. Menjilat ke atas, menginjak ke bawah. Dalam lagu Opiniku, yang liriknya saya tidak begitu hafal, Iwan Fals memotretnya dengan sangat jelas :
Manusia sama saja dengan binatang selalu perlu makan / Namun caranya berbeda dalam memperoleh makanan / Namun kadangkala ada manusia seperti binatang / Bahkan lebih keji dari binatang / Tampar kiri kanan alasan untuk makan / Intip kiri kanan lalu curi jatah orang
Apa yang dibutuhkan binatang?, bukankah yang utama dan pertama adalah
memenuhi kebutuhan perutnya, lalu kemudian hasrat birahinya. Berbangga
kita dengan melejitkan wacana nilai-nilai kemanusiaan, namun seringkali
justru terbenam dalam derajat yang rendah, karena tak bisa mengendalikan
sisi “kebinatangan” yang mengintai di setiap denyut, setiap gerak
ikhtiar dalam lautan kehidupan sosial, dalam kerumunan orang-orang yang
punya haknya masing-masing dan tak boleh kita dilanggar. Dari Jum’at ke
Jum’at, di jenak untuk menghela kesibukan, atau dari pengeras suara
mesjid terdekat yang merambat ke kamar melalui celah ventilasi udara,
barangkali sempat kita dengar sebuah penggalan ayat, “Mereka itu
seumpama binatang ternak, bahkan lebih sesat.”
Barangkali itulah mengapa puasa di dalam Islam memvisualkan tentang
manusia yang menahan makan, minum, dan seks. Kebutuhan yang sama dengan
binatang tersebut diistirahatkan sementara, demi menuai sisi
“kemanusiaan” yang seringkali terabaikan. Ikhtiar menjemput rejeki,
memang tidak layak jika disebut sebagai kegiatan berburu pangan, berburu
beras semata. Tapi di situlah, gerak dan laku akan mencuatkan dua
golongan; yang hanya berburu pangan (karena dominan sisi binatang), dan
yang jauh melampaui dari sekadar urusan makan (tersebab sisi
kemanusiannya yang menonjol)
Jakarta, tempat jutaan “semut mengerubungi gula” adalah rahim (rahmat
kerja) yang melahirkan anak-anak perilaku yang beragam, namun bermuara
pada dua sungai keniscayaan. Bukan maksud mengkutubkan, atau hendak
memposisikan “yang benar” dan “yang salah”, namun hemat saya antara
manusia dan hewan maqomnya jelas berbeda.
Sebelum catatan ini menjadi khotbah, saya teringat nasehat Pram lewat tokoh jufrouw Magda Pieters, “Kalian
boleh maju dalam pelajaran, mungkin mencapai deretan gelar kesarjanaan
apa saja, tapi tanpa mencintai sastra, kalian tinggal hanya hewan yang
pandai.” Tendensi saya bukan pada sastra, namun lagi-lagi hewan disepadankan dengan manusia.
Berburu “beras” di Jakarta, menakar laku antara hewan dan manusia. [ ]
No comments:
Post a Comment