Baru-baru seorang kawan semasa SMA datang ke Jakarta. Dia seorang
aparat kepolisian yang bertugas di Kalimantan Tengah. Kami bertemu dan
ngobrol sampai larut malam bahkan dini hari. Maklum sudah hampir 12
tahun tidak bertemu. Singkat kata panjang perihal, dia mengajak saya
untuk kerja di Kalimantan. “InsyaAllah banyak peluang bagus,” katanya.
“Baik, biar saya timbang terlebih dahulu,” jawab saya pendek. Lusa
setelah pertemuan itu dia pulang ke tempat bertugasnya.
Ihwal ajakan ini saya utarakan kepada kawan lain yang bekerja di
Jakarta. Maka masukan dan nasihat menghambur serupa air hujan. Namun di
penghujung bicaranya dia bilang, “Jangankan ke Kalimantan, saya mah di
Jakarta juga sering kangen ke kampung halaman. Paling lama juga sebulan, setelah itu pasti pulang ke Sukabumi.” Saya hanya mendengarkan saja.
Di kontrakan bu haji tempat saya tinggal, sepulang kerja sudah nampak
si Jun, kawan yang berasal dari Padang Panjang. Sehari-hari dia
berdagang di ITC Cempaka Mas. Air mukanya nampak tidak sedang gembira,
tidak seperti biasanya. Saya tanya, dan begini rupa jawabannya, “gua
udah empat tahun ga pulang ke Padang, udah empat kali lebaran ga ketemu
sama ibu gua, kangen juga ternyata.” Amboi, rupa-rupanya dia teringat kampung kelahiran.
Dan sore ini, di mikrolet 53 yang hendak meluncur ke Kota, abang
sopir memutar lagu-lagu Batak. Tak paham memang saya artinya, namun ada
sepotong lirik berbunyi begini, “Oh tanah Batak…oh tanah Batak…” Barangkali si abang juga tengah teringat tanah moyangnya. Seketika saya teringat sebait sajak Saut Situmorang.
O Jakarta metropolis pertama
Dongeng yang jadi silau mata
Makin sayup kini suara ibu
Dalam hiruk pikuk karnaval aspal hitammu
Dalam lamunan sore, saya menerka, rupa-rupanya kota ini telah
menerbitkan kerinduan. Jakarta adalah keping-keping jiwa yang merindu
pada tanah asal, tempat mula-mula ari-ari ditadah dan ditanam. Ketika
tempat ibu mengayun dan menggendong jauh dipisahkan batas dan waktu,
Jakarta mewujud sempurna sebagai tempat rantau yang meruncingkan gundah.
Namun di jalanan, hakikat kerinduan lenyap dalam keberingasan.
Orang-orang berlomba saling serobot marka. Klakson bersahutan-sahutan
sebagai nada usiran bukan mengingatkan. Waktu lampu merah menyala,
pengendara terbiasa berhenti di zebra cross, pejalan kaki
menyeberang penuh rasa was-was. Dalam macet yang mencekik, para
pengendara motor tiba-tiba mengusai trotoar, sedangkan mobil merampas
jalur khusus bus. Tak jarang terjadi perkelahian sesama pengendara roda
dua, baku hantam di tengah jalan.
Seringkali saya berpikir, mencoba menghubung-hubungkan, bukankah rasa
rindu akan kampung halaman mestinya menebarkan kearifan?. Di kampung,
di mana keakraban sosial begitu menyengat dalam keseharian, mengapa tak
juga menular ketika raga di rantau orang, terutama di jalanan. Mudik
sebagai ritual meluruhkan rindu, yang kerap dibayar mahal dengan
beratus-ratus tumbal kecelakaan lalu-lintas, kiranya kemesraan bersua
dengan karib-kerabat, handai-taulan, tak dibawa di belantara jalanan
yang semakin ganas. Sisi kemanusiaan tergadai, hilang entah ke mana, dia
muncul lagi hanya ketika berkumpul dengan keluarga.
Keping rindu tidak kita temukan di jalanan yang terburu-buru.
Barangkali saya berlebihan, namun penafsiran seperti apa yang terbit
demi melihat bapak tua berlari untuk menyeberang, sedangkan lampu jalan
tengah merah. Para pengendara tak kuasa menahan sabar melewati beberapa
detik kendaraan terhenti. Di jalanan, peradaban tercermin dengan begitu
telanjang.
Majalah Tarbawi edisi 15 Februari 2007, dengan begitu menghujam menulis kajian utamanya : Begitu Keluar Rumah Sering Kita Terlibat Pertikaian Murahan. Ya,
rumah di sini, dan kampung halaman di sana; dua tempat yang kerap
menyuburkan rindu, tak mampu menjadi “penerang” bagi para pengacau
jalanan. Mereka seolah menaruh semua cinta, dan melaju dengan jiwa
nirtoleransi. Biarlah, biarlah catatan ini disebut hiperbola.
“Kalau kau pergi, anakku. Siapa lagi kan menghibur hati ibu?” Begitu bait pembuka dalam sajak Andung-andung Petualang
Saut Situmorang. Ya, di jalanan, kemesraan seperti itu telah
tercerabut, tepat ketika “sang anak” pergi ke rantau dan tidak lagi bisa
menghibur hati ibu. [ ]
No comments:
Post a Comment