29 April 2014

Madu Meleleh di Bawah Cahaya Rembulan


Koper dan ransel bervolume 40 liter dikosongkan. Yang dibawa hanya beberapa lembar baju ganti, celana selutut, sandang dalam, dan sebuah kamera entah berlensa apa. Kereta berjalan perlahan meninggalkan kota yang mulai bernuansa merah flamboyan. Dia duduk di dekat lorong, sedangkan istrinya, ya istrinya, duduk di sebelah jendela. Percakapan setengah nada. Tak elok bersuara keras di muka publik, lagi pula malam mulai merambati lorong kereta.

Seminggu yang lalu dia telah berhasil merebut perempuan yang duduk di sebelah dari tangan orangtuanya. Dari bermilyar yang ada, hanya perempuan itu yang akhirnya bersedia menemani siang-malamnya, panas-dinginnya, dan segala yang permanen di dirinya. Rayuan hanyalah riasan menor yang dilekatkan pada kanvas putih. Istrinya tahu itu, tapi ia juga serupa kembang gula yang bermanfaat menumpas segala pahit di rongga mulut.

Dia, dan juga istrinya, belum paham apa yang pernah ditulis Eco tentang Tamasya Dalam Hiperealitas. Malam itu keduanya membicarakan Umberto Eco, Ali Syariati, Camus, Tolstoy, dan Murakami. Membacai arus budaya dan cerita adalah kembang yang bermekaran sejak pagar berdiri kokoh dan akhirnya roboh. Tak mudah bagi radar menemukan penyusup yang bergerak melintas batas demarkasi, maka pertemuan dengan istrinya—dulu, kini, dan nanti—adalah sesuatu yang patut disyukuri, dia tahu ihwal itu.

Sementara organ pendengar berbagi awan-awan gloomy dari musikalisasi puisi Sapardi. Lampu redup, dan kereta terus melaju konstan dalam pelukan malam, maka nikmat mana lagi yang akan mereka dustakan? Istrinya tahu belaka, dia seperti punya kebiasaan akut: sedang berduaan pada suasana romantik sekalipun, dia selalu berbicara tentang kawan-kawannya. 

“Mereka sudara-sudara saya,” begitu katanya. Ya, sodara-saudara-sudara: kata itu berasal dari se-susu dan se-darah. Maka ritus perkawanan sesungguhnya melebihi jargon solidaritas dan kekariban. Ada perasaan intim yang melekat di lereng ingatan, tentang kenangan, impian, ambisi, cita-cita, maupun masadepan yang tengah dan telah dibangun. Kontra definisi terjadi ketika ritus itu akhirnya bergradasi dan kabur. Hidup seperti melesat pada rel dan gerbong yang berlainan dan tak saling kenal. Itu kekhawatirannya. Maka sedapat-dapat, pada istrinya, dia kerap berbicara tentang sudara-sudaranya. Tentang brother dan ikhwah-nya.

Di Yogja, para kamerad perbukuan telah menunggu mereka. Di sebuah station radio berjejaring sosial mereka siap mengudara dan diarsiapkan: inilah honeymoon pertama berbumbu labirin kata-kata.
Kubiarkan cahaya bintang memilikimu. Kubiarkan angin yang pucat dan tak habis-habisnya. Gelisah tiba-tiba menjelma isyarat, merebutmu. Entah kapan kau bisa kutangkap….
Kata-kata Sapardi menemani mereka tidur.

***

Muhidin namanya. Dia seorang kerani, dia adalah yang mula-mula menyambut sepasang suami-istri baru itu. Kopi dihidangkan dan pembicaraan datang bergelombang, seperti kawan lama yang baru bertemu kembali. “Bung dan nyonya sudah siap?” kata produser yang datang tiba-tiba. Seorang penyiar muda dan cantik sudah menunggu. Si Bung yang baru punya istri itu panggil saja Fidel. Dan acara dimulai, laku literasi mereka utarakan. 

“Belum terlampau lama sebetulnya, ada sekira enam bulan sebelum saya mengambil perempuan ini dari bapaknya.”

Mulanya Fidel hijrah ke Cibitung, melaksanakan kewajiban. Dia memilih pekerjaan yang lebih baik. Kemudian di tengah segala urusan kantor, dia membereskan kembali buku-bukunya yang berjumlah lima box besar, entah berapa judul, dia lupa menghitungnya. Kontrakannya dekat pohon mangga yang rimbun, tak jauh dari mesjid. Anak-anak tetangga menelan masa kanak dengan gembira. Sebelum dan setelah sholat mereka bermain di pekarangan mesjid. Gaduh memang, namun harap maklum, begitulah laku anak-anak, kewajibannya hanya bermain. Sekolah sesungguhnya adalah sampingan, hanya mengisi waktu luang di pagi hari, biar tidak diledek burung dan ayam jantan yang bersahutan sedari pagi.

Apakah anak-anak itu suka membaca buku? Sekali waktu Fidel bertanya pada dirinya. Namun kemudian ada sedikit keluh, dia tak punya barang sebiji pun buku cerita anak-anak. Kalau buku-buku politik dan novel dewasa dia punya banyak, tapi apa gunanya buku-buku demikian bagi jiwa bocah yang sedang rakus menelan jatah hidup gembira? Namun tak lama kemudian lampu terang menyala dalam kepalanya; dia hendak mendongeng saja. Maka sekali waktu, sehabis sholat, dia duduk dulu di teras mesjid. Seorang bocah duduk di dekatnya, istirahat dari berlari-lari. “Kamu mau mendengarkan dongeng alien yang berkelahi dengan keong racun?” Percobaan pertama gagal, bocah itu menggeleng sambil tersenyum, dan berlari lagi mengejar temannya.

Tak lama datang lagi seorang bocah. Percobaan kedua, “Kamu tahu bajak laut?” Ada anggukan. Kemudian menyusul, “Tahu ga kalo bajak laut itu sebenarnya bukan manusia, tapi burung pemakan bangkai?” Diam. “Kamu mau mendengarkan ceritanya?” Bocah pergi. Percobaan kedua gagal.

Mendung menyerang, langit seperti orang yang belum mencuci muka. Awan gelap bergulung-gulung. Hujan membubarkan anak-anak yang sedang bermain di pekarangan. Fidel beringsut ke dinding mesjid, hampir menempel dengan jendela. Lupakan bocah-bocah miskin imajinasi itu, karena waktu menendangnya ke minggu ketiga di pekerjaan baru.

Ke Krawang dia hanya lewat, namun ke Bekasi (akhirnya) sering datang. Namun dia tak pernah menjumpai Chairil yang menyadur Krawang-Bekasi. Kalaupun penyair bohemian itu masih hidup dan tak pernah tua; paling sedang sibuk mengunjungi gadis-gadis seperti kelakuannya dari dulu. Usia 27 memang terlampau muda untuk meninggal dunia, Chairil tahu. Dan dia kalah terlalu dini, sebelum (barangkali) beberapa maksud sempat diucapkan. “Hidup hanya menunda kekalahan. Dan tahu, ada yang tetap tidak diucapkan. Sebelum pada akhirnya kita menyerah”

Seperti air yang mengalir dan berhenti pada sebuah ceruk, cinta juga rupanya diciptakan demikian. Selalu ada halte terakhir yang mendorong kondektur bus untuk membangunkan penumpang yang pulas tertidur atau sibuk dengan gadgetnya. Dalam kedaulatan sepasang manusia yang telah berikrar, bus yang berhenti kemudian melaju lagi membawa dua planet besar, memikul dua ego yang dijaga bersama agar tidak saling bertabrakan. Maka demikianlah, pada sebuah petang yang biasa, Fidel (akhirnya) bertemu dengan perempuan itu.

“Bukan. Saya bukan asli Bekasi. Ari-ari dan banyak kenangan masa kecil ditanam di Bandung. Pekerjaan ayah yang membawa saya ke sini.” Fidel hanya diam. Perempuan itu meneruskan, “Suatu saat saya akan kembali ke Bandung, ke cinta yang sesungguhnya.” Shock therapy pertama. Apa maksudnya dengan ‘cinta yang sesungguhnya?’ Sementara harapan tengah ditabur dan ditanam kepada perempuan itu. Begitulah kodratnya, laki-laki mesti diberi tantangan, seperti layangan yang terbang menentang angin.

Pendek kata panjang perihal, setelah menaklukkan tantangan yang tak sedikit, Fidel akhirnya berhasil merebut perempuan itu dari ayahnya. Enam bulan sebelum ikrar yang teguh diucapkan, Fidel pernah meminta, “Saya belum mampu menjinakkan anak-anak di sekitar kontrakan, kau tentu mau membantunya, bukan?” Hanya dibalas anggukan. Dalam darah yang mengalir di diri perempuan, selalu ada rumah-rumah kecil yang imut milik para kurcaci, juga ada sekawanan liliput yang tengah menggotong seorang putri cantik yang hendak diculik raja zalim, namun kemudian diselamatkan pangeran berkuda putih. Ya, dengan caranya sendiri perempuan seringkali pandai menaklukkan bocah-bocah yang liar sekalipun.

Maka buku-buku kemudian ditata ulang, cerita-cerita anak yang sebelumnya tiada berangsur dikumpulkan. Perempuannya mendongeng, ada juga sebagian anak yang duduk di teras sambil membaca, sementara Fidel sibuk membuat bangku dari kayu demi disimpan di bawah pohon mangga yang semakin rimbun. Istri Fidel tentu punya nama, tapi saya tak mau buru-buru menyebutnya, sementara ini cukup dengan ‘perempuan’ saja.


Laju literasi menggoncang kampung sejak Fidel mengenal perempuannya. Dan kini setelah menjadi istri, bendera semakin tinggi dan berkibar.

***

“Besok lusa atau entah kapan, kalau Bung sudah pulang, pastikan kita tetap berkabar, ya.” Kemudian mereka bersalaman. Fidel dan istrinya kembali ke penginapan, meninggalkan Muhidin dan para kerani perbukuan.

Tidak langsung pulang ke penginapan sebenarnya, sebab lihatlah mereka tengah menyusuri Malioboro, lalu singgah di tenda roti bakar. Di kota yang terlanjur manis oleh cerita-cerita, lima orang pengamen kemudian menghampiri. Beberapa lagu lama dibawakan untuk ditukar dengan sedikit uang. Ada pelangi yang tak hendak beranjak dari langit jiwa pasangan itu, namun saya tak pandai menggambarkannya.

Menjelang dini hari mereka pulang. Di balkon, masih tersisa percakapan setengan nada; tentang sahabat, buku, dan madu. Ada waktu yang bergelombang di belakang, ada jejak yang terserak di setapak jalan yang telah masing-masing lalui. Cinta yang menenteramkan adalah yang mampu memasukkan masalalu ke dalam karung, diikat dan disimpan di gudang. Detak detik tak berjalan surut ke belakang, sementara kehidupan melaju ke depan mendekati titik akhir. Itu normatifnya. Namun siapa yang kuat ketika visual-visual masalalu yang bertentangan dengan suasana jiwa tiba-tiba menghampar di kepala? Pada sebuah titik akhirnya Fidel dan istrinya bersepakat untuk bersama-sama tak pernah membuka ikatan karung yang telah disimpan di gudang. Dan percakapan dilanjutkan di tempat tidur, dengan lebih lirih tentu saja.

Ketika pagi kembali datang, mereka kembali menikmati suasana kota. Yang paling lama menenggelamkan tentu saja pusat penjualan buku. Itu rumah mereka, bau kertas mencucuk hidung dan perasaan yang lepas menderas, larut bersama kata-kata. “Sayang, sudah sore. Hendak ke mana kita setelah ini?” Tarikan tangan adalah ajakan mencegat mobil bak terbuka yang hendak pergi ke selatan: arah pantai.

Maka demi kota yang tengah mandi cahaya, mereka terlentang di atas mobil bak terbuka dan pandangan tegas ke langit. Madu memeleh di situ, di bawah cahaya rembulan Yogya. [irf]

No comments: