23 April 2014

Hanyut Bersama Sulak

Jakarta yang kini sedang sibuk mengatasi banjir adalah kota yang didirikan oleh para pemabuk. Mereka adalah raksasa berkulit bayi yang pada mulanya hanya singgah untuk mengisi air minum dan membeli arak. Ketika kemudian mereka membeli tanah kepada seorang pangeran, mereka mendirikan bangunan bercat putih dan memagarinya dengan meriam. Sempat terjadi beberapakali pertempuran demi memperebutkan kota tersebut, dan pemenangnya adalah para pemabuk itu. Namun tragis, karena penduduk kota kebanyakan jorok, pemimpin para pemabuk akhirnya tewas; bukan di medan pertempuran, namun karena sakit perut.

Cerita pembuka dalam kumpulan cerpen A.S. Laksana ini begitu menghayutkan. Kocak, tapi sekaligus sarat dengan muatan sejarah. Jika ditelusur, minimal di Wikipedia, cerita tersebut adalah sejarah Jan Pieterszoon Coen ketika mula-mula mendirikan Batavia. Sulak, begitu A.S. Laksana biasa disapa, bercerita dengan piawai dan menolak sama. Ketika buku kumpulan cerpennya gagal menjadi pemenang di Khatulistiwa Literary Award, banyak orang yang menyayangkan.

Imajinasi begitu dimanjakan di sini. Bagaimana misalnya budaya sekarang yang kerap mempertontonkan laki-laki bergaya perempuan, dan perempuan bergaya laki-laki; mulanya adalah karena cinta yang bertepuk sebelah tangan antara Belatung dan Fira.

Seorang bos bertabiat hidung belang mengejar-ngejar Fira; karyawati baru yang cantik aduhai. Suatu hari ketika Fira sedang jalan-jalan ke awan, si Belatung (begitu Sulak menamai si bos hidung belang) tanpa disangka sebelumnya, malah masuk ke dalam tubuh Fira yang tengah ditinggalkan pemiliknya. Karena bingung tak ada lagi tubuh yang kosong, akhirnya Fira masuk ke tubuh si Belatung yang juga ditinggalkan si empunya. Mereka akhirnya kawin, dan dimulailah budaya tukar-menukar itu.

Masih ingat Ponari? Batu Ponari yang dipercaya orang-orang karena konon dapat menyembuhkan itu ternyata ada riwayatnya yang memanjang ke belakang. Semuanya sebenarnya bermula ketika seorang pejabat yang tak bisa mengendalikan penguinnya, membiarkan burung tersebut menyelam ke dasar palung seorang penyanyi dangdut. Lalu kegiatan menyelam burung tersebut di tonton banyak orang dan menjadi bawah tertawaan, termasuk anak-anak SMP, lewat layar handphone.

Sulak begitu gesit bertutur dan sesekali mengolok-olok. Pada sebuah cerita yang berjudul Bagaimana Kami Selamat dari Kompeni dan Sebagainya ia menyentil ihwal Kaki-dashi atau kalimat pertama yang seringkali dipercaya sebagai lahan perjudian, pertaruhan bagi setiap pengarang. Begini dia menulis:
Setiap tukang cerita pastilah berniat memukau orang sejak kalimat pertama. Itu pula niatku meski pada akhirnya hanya bisa kudapatkan kalipat pertama yang amat sepele: Kata sahibul hikayat, orang-orang Cina menyukai hujan lebat di tahun baru.
Alur cerita yang sering tak terduga, dan gaya bahasa yang khas membuat buku ini seperti sebuah tendangan di tengah parade buku-buku cerita yang membuat ngantuk. “Saya ternyata bukan anak pertama. Kakak saya meninggal sebelum saya lahir,” begitu kata Sulak waktu diwawancarai oleh sebuah majalah edisi Juli 2013. Jawaban itu ia dapat setelah kakeknya meninggal, dan ia membuka peti milik kakeknya tersebut yang berisi sehimpunan catatan tentang kejadian sehari-hari.

Seperti halnya Sulak yang kaget dengan kenyataan identitas kelahirannya, buku ini pun kurang-lebih demikian; menghimpun cerita yang menghantam ruang imajinasi pembaca. Sulak menegaskan, “Hantu ada, kau tahu, karena kita memikirkannya. Begitu pun taman bunga.”

Selamat berimajinasi! [ ]

No comments: