Jakarta yang kini sedang sibuk mengatasi banjir adalah kota yang
didirikan oleh para pemabuk. Mereka adalah raksasa berkulit bayi yang
pada mulanya hanya singgah untuk mengisi air minum dan membeli arak.
Ketika kemudian mereka membeli tanah kepada seorang pangeran, mereka
mendirikan bangunan bercat putih dan memagarinya dengan meriam. Sempat
terjadi beberapakali pertempuran demi memperebutkan kota tersebut, dan
pemenangnya adalah para pemabuk itu. Namun tragis, karena penduduk kota
kebanyakan jorok, pemimpin para pemabuk akhirnya tewas; bukan di medan
pertempuran, namun karena sakit perut.
Cerita pembuka dalam kumpulan cerpen A.S. Laksana ini begitu
menghayutkan. Kocak, tapi sekaligus sarat dengan muatan sejarah. Jika
ditelusur, minimal di Wikipedia, cerita tersebut adalah sejarah Jan
Pieterszoon Coen ketika mula-mula mendirikan Batavia. Sulak, begitu A.S.
Laksana biasa disapa, bercerita dengan piawai dan menolak sama. Ketika
buku kumpulan cerpennya gagal menjadi pemenang di Khatulistiwa Literary
Award, banyak orang yang menyayangkan.
Imajinasi
begitu dimanjakan di sini. Bagaimana misalnya budaya sekarang yang
kerap mempertontonkan laki-laki bergaya perempuan, dan perempuan bergaya
laki-laki; mulanya adalah karena cinta yang bertepuk sebelah tangan
antara Belatung dan Fira.
Seorang bos bertabiat hidung belang mengejar-ngejar Fira; karyawati
baru yang cantik aduhai. Suatu hari ketika Fira sedang jalan-jalan ke
awan, si Belatung (begitu Sulak menamai si bos hidung belang) tanpa
disangka sebelumnya, malah masuk ke dalam tubuh Fira yang tengah
ditinggalkan pemiliknya. Karena bingung tak ada lagi tubuh yang kosong,
akhirnya Fira masuk ke tubuh si Belatung yang juga ditinggalkan si
empunya. Mereka akhirnya kawin, dan dimulailah budaya tukar-menukar itu.
Masih ingat Ponari? Batu Ponari yang dipercaya orang-orang karena
konon dapat menyembuhkan itu ternyata ada riwayatnya yang memanjang ke
belakang. Semuanya sebenarnya bermula ketika seorang pejabat yang tak
bisa mengendalikan penguinnya, membiarkan burung tersebut menyelam ke
dasar palung seorang penyanyi dangdut. Lalu kegiatan menyelam burung
tersebut di tonton banyak orang dan menjadi bawah tertawaan, termasuk
anak-anak SMP, lewat layar handphone.
Sulak begitu gesit bertutur dan sesekali mengolok-olok. Pada sebuah cerita yang berjudul Bagaimana Kami Selamat dari Kompeni dan Sebagainya
ia menyentil ihwal Kaki-dashi atau kalimat pertama yang seringkali
dipercaya sebagai lahan perjudian, pertaruhan bagi setiap pengarang.
Begini dia menulis:
Setiap tukang cerita pastilah berniat memukau orang sejak kalimat pertama. Itu pula niatku meski pada akhirnya hanya bisa kudapatkan kalipat pertama yang amat sepele: Kata sahibul hikayat, orang-orang Cina menyukai hujan lebat di tahun baru.
Alur cerita yang sering tak terduga, dan gaya bahasa yang khas
membuat buku ini seperti sebuah tendangan di tengah parade buku-buku
cerita yang membuat ngantuk. “Saya ternyata bukan anak pertama. Kakak
saya meninggal sebelum saya lahir,” begitu kata Sulak waktu diwawancarai
oleh sebuah majalah edisi Juli 2013. Jawaban itu ia dapat setelah
kakeknya meninggal, dan ia membuka peti milik kakeknya tersebut yang
berisi sehimpunan catatan tentang kejadian sehari-hari.
Seperti halnya Sulak yang kaget dengan kenyataan identitas
kelahirannya, buku ini pun kurang-lebih demikian; menghimpun cerita yang
menghantam ruang imajinasi pembaca. Sulak menegaskan, “Hantu ada, kau
tahu, karena kita memikirkannya. Begitu pun taman bunga.”
Selamat berimajinasi! [ ]
No comments:
Post a Comment