Asma Nadia, salah seorang
penulis dan pegiat literasi yang karya-karyanya banyak diangkat ke layar lebar,
namanya termasuk ke dalam daftar orang-orang yang akan berangkat ke Frankfurt
pada Oktober nanti. Adik dari Helvy Tiana Rosa ini telah melahirkan puluhan
buku yang rata-rata sukses di pasaran.
Perjalanan kepenulisan Asma
Nadia tidak bisa dipisahkan dengan “Forum Lingkar Pena” (sebuah organisasi
penulis terbesar di Indonesia). Ia bersama kakaknya, juga kawan-kawannya sesama
mahasiswa Fakultas Sastra Universitas Indonesia, pada tahun 1997 berkumpul
untuk berdiskusi tentang minat membaca dan menulis di kalangan para remaja
Indonesia.
Pertemuan tersebut mencuatkan
satu kesadaran bahwa kebutuhan masyarakat akan bacaan yang bermutu semakin
mendesak. Selain itu, mereka juga menyadari tentang betapa efektifnya
menyampaikan gagasan melalui tulisan. Dari sana kemudian lahirlah “Forum
Lingkar Pena” yang pada perjalanannya, sampai saat ini, telah beranggotakan
ribuan orang, serta hadir di hampir seluruh kota di Indonesia, juga punya
cabang di banyak negara.
“Forum Lingkar Pena” dari mula
kelahirannya sudah memposisikan diri sebagai forum para penulis yang
menghasilkan karya-karya Islami. Hal ini kemudian diperkuat dengan terbitnya
Majalah Annida, sebuah majalah yang menghimpun cerpen-cerpen Islam yang
mayoritas dibuat oleh para pegiat “Forum Lingkar Pena”. Maka tak heran jika
sekali waktu Majalah TEMPO pernah menulis bahwa forum ini sebagai “pabrik
penulis cerita”.
Organisasi tersebut kemudian
mendirikan Rumah Cahaya (Rumah Baca dan Hasilkan Karya), di mana Asma Nadia
aktif di dalamnya. Sampai saat ini setidaknya sudah ada 10 cabang Rumah Cahaya
di beberapa penjuru Nusantara, di antaranya; Aceh, Medan, Lampung Timur,
Ciputat, Puwokerto, Pekalongan, dan masih banyak lagi.
Maman S. Mahayana (mantan Ketua
Komite Sastra Dewan Kesenian Jakarta) yang juga akedemisi di Universitas
Indonesia, pernah berkomentar ihwal kiprah “Forum Lingkar Pena”. Kata Maman,
“Dalam sejarah sastra Indonesia, belum ada satu pun organisasi atau komunitas
(sastra) yang kiprah dan kontribusinya begitu menakjubkan, sebagaimana yang
pernah dilakukan FLP. FLP telah membuat catatan sejarah sastra Indonesia dengan
tinta emas!”
Di luar sepak terjangnya di
organisasi penulis tersebut, Asma Nadia juga kemudian mendirikan rumah
penerbitan sendiri yang ia beri nama “Asma Nadia Publishing House”. Di sana ia
kemudian melahirkan banyak sekali buku, dan juga kerap mengadakan lokakarya kepenulisan
bagi masyarakat.
Dalam perjalanannya sebagai
penulis yang banyak mengispirasi masyarakat, nama Asma Nadia kemudian dijadikan
nama untuk sebuah rumah baca, yaitu “Rumah Baca Asma Nadia”. Wadah ini
merupakan Taman Bacaan Masyarakat (TBM) – Perpustakaan Dhuafa – yang
diinspirasi oleh sosok Asma Nadia dengan tujuan mulia yaitu memberi wadah
alternatif yang menyediakan buku-buku bacaan untuk anak-anak dan dewasa.
Jaringan rumah baca ini telah meluas ke berbgai daerah seperti; Penjaringan,
Bekasi, Yogyakarta, Ciledug, Tangerang, Balikpapan, Gresik, Pekanbaru, Batam,
Samarinda, Kebumen, Cigombong-Bogor, dan Tenggarong.
Kini, Asma Nadia berkesempatan
untuk hadir di Frankfurt. Di sana, kiprahnya di dunia literasi, dan mungkin
juga karya-karyanya, dapat dilihat dan didiskusikan secara luas. Tidak hanya
sebagai pegiat literasi dan penulis perempuan, namun juga karena karya-karyanya
mewakili satu entry kata yang kerap diperbincangkan, yaitu “Islami”
Ia bisa menjadi wakil bagi
karya-karya Islami yang yang ramah, teduh, dan mempercayai kekuatan gagasan
yang disampaikan melalui teks. Ya, bagaimanapun hal tersebut harus dibicarakan,
bukan sebagai klarifikasi, namun sebagai satu perspektif tentang karya Islam
Indonesia yang memperkaya keragaman.
Dan di atas segalanya, terkait
dengan gelaran Frankfurt Book Fair ini, sebagaimana pernah dikutip dari Asma
Nadia, bahwa membaca dan menulis selamnya tidak dapat dipisahkan, “Kalau tak
ada yang kau baca, lalu apa yang mau kau tulis?”.
Asma berangkat ke
Frankfurt sebagai salah satu wakil dari gerakan literasi yang gigih
mengkampanyekan pentingnya buku, membaca dan menulis. Ia dipilih, tentu saja,
sebagai peringatan tentang Islam yang dulu pernah unggul dalam peradaban karena
menjunjung tinggi kegiatan literasi. Asma, dengan caranya sendiri, menggemakan
kembali perintah Tuhan yang pertama dalam kitab suci al-Quran: Iqra! (irf)
Postscript :
Re-post catatan ini dimaksudkan sebagai arsip dari naskah yang telah dipublikasikan di Pulau Imaji, dalam rangka mendukung Indonesia sebagai Tamu Kehormatan di Frankfurt Book Fair 2015. Ikuti juga akun @PulauImaji untuk informasi seputar pameran buku tertua di dunia tersebut.
No comments:
Post a Comment