Jika kita tengok beberapa koran
nasional hari Minggu, sesekali muncul nama Gus Tf Sakai di rubrik sastra. Suatu
kali namanya hadir di ruang cerita pendek, dan sesekali muncul di ruang esai
dan kritik sastra. Penulis yang menetap di Payakumbuh ini cukup rajin
menyambangi pembaca rubrik sastra dengan tulisan-tulisannya.
Selain menulis di koran, ia yang
mempunyai nama asli Gustafrizal Busra ini telah menerbitkan buku sejak tahun
1990. Mula-mula karyanya bergenre novel remaja. Setidaknya sudah tiga novel
remaja ia lahirkan, yaitu; “Segi Empat Patah Sisi” (1990), “Segitiga Lepas
Kaki” (1991), dan “Ben” yang terbit tahun 1992.
Perjalanan kepenulisannya
kemudian berkembang, ia tak hanya menulis novel remaja, namun juga mulai
membuat sajak dan cerita pendek. Buku-buku kumpulan sajak yang telah ia buat
yaitu; “Sangkar Daging”, “Daging Akar”, dan “Akar Berpilin”. Terhitung sampai
dengan tahun 2012, sejak karya pertamanya terbit dalam bentuk buku, Gus Tf
Sakai telah melahirkan tak kurang dari 15 buku.
Dalam rentang waktu tersebut
berbagai penghargaan berhasil dia raih, di antaranya; SEA Write Award dari
Kerajaan Thailand di tahun 2004, dan Penghargaan Sastra Lontar dari Yayasan
Lontar pada tahun 2001, keduanya untuk kumpulan cerita pendek yang berjudul
“Kemilau Cahaya dan Perempuan Buta.” Buku ini pun kemudian diterjemahkan ke
dalam bahasa Inggris dan diterbitkan oleh Yayasan Lontar dengan judul “The
Barber and Other Short Stories”.
Selain itu, penulis yang Oktober
nanti karya-karyanya akan ikut dipamerkan di gelaran Frankfurt Book Fair ini,
juga pernah mendapat penghargaan Khatulistiwa Literary Award untuk kumpulan
cerita pendek “Perantau” di tahun 2007, dan penghargaan Sastrawan Berdedikasi
dari harian Kompas pada tahun 2010.
Meski telah lama berkarya, dan
meraih sederet penghargaan, Gus Tf Sakai—seperti diutarakannya kepada sastra-indonesia.com, mengaku tidak mempunyai proses kreatif dalam menulis, “Ya,
dengan menyesal saya katakan, saya tidak punya proses kreatif. Ajaib? Bagi saya
tidak. Bila pengertian proses adalah runtutan perubahan atau perkembangan yang
berkelanjutan, bagaimanapun saya memeriksa; menjenguk ke dalam diri setiap kali
mencipta, hal itu tak pernah bisa saya temukan, tak pernah bisa saya
terangkan,” ujarnya.
Kemudian ia melanjutkan,
“Semuanya terjadi begitu tiba-tiba, ajaib, mencengangkan. Satu letupan, dan
tiba-tiba ia menjelma. Ada. Bagaimana saya mesti menjelaskan itu? Akhirnya,
bisa saja apa yang saya omongkan itu dilihat sebagai hal yang tidak penting
oleh orang lain. Bisa saja apa yang saya tulis itu omong kosong belaka,”
ungkapnya.
Terkait dengan gagasan
bercerita, pengarang yang sampai hari ini memilih menetap di tempat
kelahirannya itu menjelaskan, bahwa ia bisa mendapatkan ide dari mana saja
bisa. Melihat sepatu butut di kantor Gubernur pun bisa jadi karya menurutnya.
“Dulu, sebelum menikah, sering jalan-jalan cari inspirasi. Sesuai kantong saja.
Saya nebeng truk dari pangkalan penghasil pasir, diekspor lewat medan,” ujarnya
menambahkan.
Salah satu tema karya Gus Tf
Sakai yang menarik perhatian para pengamat sastra, yaitu ihwal ketertarikannya
kepada hewan melata. Pasca menulis cerita pendek yang berjudul “Ulat dalam
Sepatu” dan “Belatung”, ia kemudian menerbitkan novel berjudul “Ular keempat”
di tahun 2005. Hewan-hewan itu hadir dalam karyanya sebagai simbol dan metafor.
Dalam buku “Darah-Daging Sastra
Indonesia”, Damhuri Muhammad, penulis buku tersebut menjelaskan, “Bukan hewan
melata seperti yang dipahami dalam biologi, tetapi ulat dan belatung simbolis,
metaforis. Ulat menujumkan lelaku bobrok, belatung merepresentasikan mentalitas
busuk.”
Oktober nanti, karya
penulis yang nyaman tinggal di kampung ini, akan memperkaya keragaman sastra
Indonesia di hadapan publik dunia. ”Hewan-hewan melata” yang ia tulis, akhirnya
sampai di Frankfurt. [irf]
Postscript :
Re-post catatan ini dimaksudkan sebagai arsip dari naskah yang telah dipublikasikan di Pulau Imaji, dalam rangka mendukung Indonesia sebagai Tamu Kehormatan di Frankfurt Book Fair 2015. Ikuti juga akun @PulauImaji untuk informasi seputar pameran buku tertua di dunia tersebut.
No comments:
Post a Comment