Ketika Indonesia terpilih
sebagai Tamu Kehormatan di Frankfurt Book Fair 2015, selain para penulis,
penerbit, dan panitia, ada cahaya lilin yang seolah lebih benderang dari
biasanya. Di kantong-kantong literasi yang kadang sunyi, para juru gedor
pentingnya literasi juga ikut berbahagia. Beberapa di antaranya juga diajak
untuk berangkat ke Frankfurt.
Bepergian ke Frankfurt, boleh
jadi tetap tak sebanding dengan apa yang sudah mereka lakukan dengan caranya
masing-masing, juga dengan hambatannya sendiri-sendiri. Sebab di negeri ini,
laku membaca dan menulis bukanlah hal yang populer dan bisa mendatangkan
keuntungan dengan cepat.
Pada pidato penghargaan SEA
Write Award di Thailand tahun 1997, Seno Gumira Ajidarma menyampaikan
keprihatinannya tentang kondisi dunia literasi di tanah airnya :
“Saya berasal dari sebuah negeri
yang resminya sudah bebas buta huruf, namun yang dipastikan masyarakatnya
sebagian besar belum membaca secara benar—yakni membaca untuk memberi makna dan
meningkatkan nilai kehidupannya. Negara kami adalah masyarakat yang membaca
hanya untuk mencari alamat, membaca untuk harga-harga, membaca untuk melihat
lowongan pekerjaan, membaca untuk menengok hasil pertandingan sepak bola,
membaca karena ingin tahu berapa persen discount obral di pusat perbelanjaan,
dan akhirnya membaca subtitle opera sabun di televisi untuk mendapatkan sekadar
hiburan.”
Buku dan budaya membaca di
Indonesia, menurut Bre Redana dalam sebuah catatan pendek di harian Kompas,
lagi-lagi memang bukan sebuah tradisi laten. “Begitulah, dari fase dan tradisi
agraris, sebelum melewati fase dan tradisi industrial, tradisi literer,
tiba-tiba kita memasuki tradisi visual. Sebelum membaca menjadi kebiasaan
banyak orang, televisi keburu masuk ke seluruh rumah tangga sampai
kampung-kampung.”
Di sekolah-sekolah menengah, tak
ada sama sekali kewajiban siswa untuk setidaknya mengkhatamkan satu buku.
Kondisi yang kata Taufik Ismail sebagai “generasi nol buku” ini sudah
berlangsung berpuluh-puluh tahun. Siswa menjadi rabun atau bahkan tuna buku.
Situasi ini pernah membuat Taufik Ismail benar-benar frustasi dan akhirnya
“bermimpi” lewat sebuah puisi yang berjudul “Kupu-kupu di dalam Buku”.
Begini paragraf pertamanya,
“Ketika duduk di setasiun bis / di gerbong kereta api / di ruang tunggu praktek
dokter anak / di balai desa / kulihat orang-orang di
sekitarku / duduk membaca buku / dan aku bertanya / di negeri mana gerangan aku
sekarang.”
Peta tradisi dan budaya membaca
yang “gelap” seperti itulah, yang kemudian memicu para pegiat literasi, untuk
terjun membawa obor dalam ikhtiar menerangi jalan gulita itu. Meski ini adalah
jalan sunyi, karena tak dibangun dengan tempik-sorak, namun tak menyurutkan
langkah para pegiatnya. Ratusan kantong literasi berdiri dengan perkembangan
yang variatif, ada yang tegar sampai hari ini, namun tak sedikit juga yang
akhirnya tumbang berguguran.
Di kota-kota dan pedesaan,
kantong-kantong ini, baik yang masih bertahan atau pun yang sudah mati, tiap
hari bertempur dengan budaya lain yang lebih populer. Dari sekian tempat yang
banyak itu, Bandung adalah salah satunya.
Meskipun disesaki oleh lembaga
pendidikan yang tentu erat kaitannya dengan buku dan membaca, namun bagi dunia
literasi Bandung, tak mudah bertarung dengan arus deras konsumerisme. Bandung
hari ini, lebih terproyeksikan sebagai kota wisata kuliner dan fashion. Dua hal
tadi lebih riuh jika dibandingkan dengan tradisi membaca. Buku tak benar-benar
lekat dengan citra yang hendak dibangun dan keseharian warganya. Namun hal ini
tak menjadikan para pegiat literasinya gentar, setidaknya bagi yang masih
bertahan, citra dan kondisi Bandung ini merupakan medan “jihad” yang sempurna.
Sekadar menyebut contoh, di Jl.
Hegarmanah 52 (Bandung Utara) hadir Kineruku. Ruang baca dengan koleksi ribuan
buku itu kerap melakukan bedah buku dan temu penulis. Tanggal 29 Maret 2003,
Kineruku didirikan oleh Ariani Darmawan dan Oky Kusprianto. Koleksi buku
Kineruku antara lain buku tentang humaniora, meliputi genre fiksi, sastra,
budaya, filsafat, seni, desain, arsitektur, dan buku anak.
Masih di Bandung Utara, selain
Kineruku, ada juga Omunium di Jl. Ciumbuleuit (Depan Kampus UNPAR), Zoe di Jl.
Pager Gunung, Baca-baca Bookmart di Selasar Utara Sabuga ITB, Reading Light di
Jl. Babakan Siliwangi, dan masih banyak lagi.
Sementara di daerah Bandung
Selatan, tepatnya di Buahbatu, belum lama ini hadir Pustaka Preanger.
Perpustakaan mini yang berada di Jl. Solontongan 20 D ini, juga mencoba
menghidupkan dunia literasi Bandung dengan agenda-agenda seputar perbukuan.
Selain kerap mengundang para penulis buku dan editor, kegiatannya adalah
mengadakan “riungan buku” yang isinya berupa resensi lisan dari para pembaca
buku sastra, sejarah, filsafat, budaya, dan lain-lain.
Di Bandung Selatan ada juga
Rumah Baca Buku Sunda di Jl. Margawangi VII No. 5-Margacinta, dan
kantong-kantong literasi yang lain. Jangan lupa juga Tobucil dan Ultimus, yang
dengan caranya sendiri, memperlihatkan diri sebagai sosok-sosok "keras
kepala" yang terus menawarkan literasi di tengah kepungan konsumerisme
Bandung yang tak mudah dihadapi.
Di Jatinganor, dalam kerangka
“Bandung Raya dan sekitarnya”, di mana beberapa perguruan tinggi bersemayam,
ada juga beberapa pusat literasi, di antaranya; Batu Api di Jl. Pramoedya
Ananta Toer, dan Kelompok Kerja Nalar. Pengelola Batu Api, Anton Solihin,
adalah salah satu pegiat literasi Bandung yang akan ikut berangkat ke Frankfurt
Book Fair 2015.
Buku yang selama ini tak pernah
benar-benar ditempatkan pada posisinya yang terhormat, di tangan para pegiat
literasi, dalam hal ini di Bandung, perlahan mulai hadir dan mengetuk dengan
cahayanya yang masih redup-remang.
Adanya Frankfurt Book Fair,
tentu bukan semata membawa buku para penulis kita ke pergaulan luas di luar,
namun yang paling penting adalah bagaimana efek dari gelaran ini bisa
menghidupkan dan mempopulerkan buku dan budaya membaca di tanah air.
Dari langkah ini, ke
depan, barangkali puisi Taufik Ismail tadi tak sekadar “mimpi” yang hanya
menggantung di angan-angan, namun hadir secara nyata di keseharian kita. Dan ia
tak perlu lagi bertanya, “di negeri mana gerangan aku sekarang.” [irf]
Postscript :
Re-post catatan ini dimaksudkan sebagai arsip dari naskah yang telah dipublikasikan di Pulau Imaji, dalam rangka mendukung Indonesia sebagai Tamu Kehormatan di Frankfurt Book Fair 2015. Ikuti juga akun @PulauImaji untuk informasi seputar pameran buku tertua di dunia tersebut.
No comments:
Post a Comment