23 September 2015

Menyentuh Kesadaran Literasi Melalui Budaya Layar

Jamal Wallace, seorang anak SMA dari kawasan Bronx, duduk terdiam di depan sebuah mesin tik. Ia bingung hendak menulis apa. Sementara di hadapannya, William Forrester—pengarang buku “Avalon Landing”, begitu lancar menulis dengan bunyi tik-tak tik-tak yang ritmis. Sambil menatap Jamal dan tangannya terus bekerja, William berkata, “Tulis saja. Gunakan hatimu, nanti baru gunakan kepalamu.”
Adegan dalam film “Finding Forrester” itu hanyalah satu contoh dari puluhan film luar yang mengangkat kisah tentang para penulis. Atau lebih luas lagi, film-film yang bercerita tentang berbagai irisan dari semesta dunia literasi. Sementara di Indonesia, adakah film yang mengangkat kisah demikian?
Kesadaran mencatat, apalagi yang merekam setiap hela peristiwa harian, baik yang terjadi di luar maupun yang berkecamuk di dalam diri, di negeri ini—setidaknya yang dipublikasikan, rasa-rasanya tidak terlalu banyak. Dari yang sedikit itu, catatan harian Soe Hok Gie dan Ahmad Wahib yang paling terkenal.
”Aku dilahirkan pada 17 Desember 1942, ketika perang tengah berkecamuk di Pasifik. Kira-kira pada usia 5 tahun, aku masuk sekolah Shinwa, di SMP Strada dari kelas 1 aku naik ke kelas 2.” Begitu bunyi pertama di catatan harian Soe Hok Gie. Miles Film di tahun 2005 kemudian membuat sebuah film biopic tentang tokoh tersebut. Film “Gie” menghamparkan perjalanan hidup seorang anak bangsa di tengah gejolak politik dan persalinan kekuasaan; semuanya ditatah dan dirangkai berdasarkan catatan hariannya.
Tiga tahun sebelumnya, duet Mira Lesmana dan Riri Riza sempat membuat film yang kental dengan aroma buku dan menulis. Lewat sosok Rangga yang kemudian digilai anak-anak remaja, jejalin puisi mengisi hampir di sekujur film. Tokoh yang diperankan oleh Nicholas Saputra itu, dengan magma misteriusnya, kerap digambarkan tengah mengkhidmati buku puisi Chairil Anwar. Di film “Ada Apa dengan Cinta”, kata-kata puitis menelusup-hidup ke tengah karya audio visual yang populer.
Tahun 2003, Ari Kusumadewa bersama produser Lola Amaria merilis “Novel Tanpa Huruf R”. Film itu berkisah tentang seorang wartawan kriminal yang merangkap sebagai penulis novel. Drum, si penulis novel, yang diperankan oleh Agastya Kandou, mengalami riwayat hidup yang perih dipenuhi bilur luka. Waktu ia masih kecil, ibunya hilang di laut dalam sebuah peristiwa kekerasan, sementara ayahnya tewas tertabrak mobil. Kekasih? Mati dibantai dalam kerusuhan beraroma rasialis.
Novelnya kemudian diminati oleh seorang mahasiswi untuk keperluan akademik. Namun Drum kemudian menyekap Air Sunyi—nama mahasiswi tersebut. Ia menggunakan Air Sunyi untuk mencari wajah ibunya yang raib ditelan keganasan laut. Wartawan dan penulis novel, dua pekerjaan yang sepenuhnya disesaki dengan kerja-kerja literasi, hadir menjadi bagian penting dalam film tersebut.
Djenar Maesa Ayu, di penghujung tahun 2007 merilis film “Mereka Bilang, Saya Monyet!” Adjeng, seorang penulis bertema cerita anak-anak muda, terjebak dalam ritme kehidupan sehari-hari. Di rumah, ia adalah seorang penurut dan pendiam. Namun jika di luar rumah, ia berubah menjadi sosok yang agresif. Kondisinya ini dilatari oleh trauma masa remaja ketika ayahnya melakukan pelecehan seksual terhadap dirinya. Dalam benang merah yang tegas, yaitu tentang ketidakmampuan perempuan dalam menghadapi masalahnya, Djenar yang seorang penulis novel dan cerita pendek, berhasil menghadirkan tokoh yang tidak jauh dari kesehariannya, yaitu pengarang.
Sementara “Fiksi”, peraih penghargaan film, sutradara, dan skenario terbaik di ajang Festival Film Indonesia tahun 2008, arahan sutradara Mouly Surya, lagi-lagi ceritanya beririsan dengan penulis novel. Kisah yang alurnya konon kebalikan dari film “Alice in Worderland” ini, menempatkan Bari sebagai salah satu tokoh utama, yang tak sanggup menyelesaikan bagian akhir dari novel yang tengah ia tulis. Kehadiran Alisha membuat cerita yang ia karang larut dalam akhir yang rumit, selesai antara fiksi dan kenyataan.
Di tengah gairah perfilman nasional yang hidup kembali pasca mati suri hingga akhir 1990-an, ada satu sisi dari sinema kita yang kerap luput diapresiasi, yaitu semangat literasi yang dibawa oleh tokoh-tokoh yang hadir dalam tubuh kisah. Dari penulis cacatan harian, penggila puisi, hingga penulis novel, semuanya hadir dalam film yang dikonsumsi masyarakat dengan budaya menonton lebih dominan ketimbang membaca dan menulis.
Sekarang mulai tak terhitung, sudah berapa film Indonesia yang diadaptasi dari buku bestseller para pengarang terkenal. Namun apakah semangat berkarya para penulis itu sampai ke masyarakat, atau hanya kisah rekaannya saja yang mengendap di benak, kiranya perlu ditimbang lagi.
Dalam buku “Twilight” karangan Stephenie Meyer, Bella Swan, si kekasih vampir kontemporer itu menulis begini, “Kukatakan akan menemui mereka di restoran satu jam lagi, aku mau mencari toko buku. Mereka sebenarnya bersedia ikut denganku, tapi aku menyuruh mereka bersenang-senang, mereka tak tahu betapa asyiknya aku bila sudah dikelilingi buku-buku, sesuatu yang lebih suka kulakukan sendirian.” Bayangkan, dalam kisah percintaan berbumbu vampir saja buku hadir di denyutnya.

Dunia literasi yang telah ada di beberapa film Indonesia, barangkali perlu dilihat ulang dan ditegaskan kembali, agar wacana keberaksaraan—lengkap dengan harapan-harapan tentang tradisi membaca dan menulis, yang selama ini tidak terlampau populer, bisa disentuh dengan pendekatan yang lebih disukai khalayak, yaitu menonton. [irf]

Postscript : 
Re-post catatan ini dimaksudkan sebagai arsip dari naskah yang telah dipublikasikan di Pulau Imaji, dalam rangka mendukung Indonesia sebagai Tamu Kehormatan di Frankfurt Book Fair 2015. Ikuti juga akun @PulauImaji untuk informasi seputar pameran buku tertua di dunia tersebut.

No comments: