Tom adalah seorang pekerja
kantoran yang hidupnya begitu-begitu saja, menjalani rutinitas dengan kejenuhan
yang setiap saat mengintai, menghela nafas dari sebuah jeda kerja ke jeda
berikutnya -- pendeknya hidup Tom membosankan. Begitu pun dengan Summer,
perempuan bermata bagus itu tak punya banyak alasan untuk mengklaim bahwa
hidupnya lebih menyenangkan daripada Tom. Ketika akhirnya mereka bertemu dalam
satu tempat kerja yang sama, cerita kemudian bergulir.
Kisah dalam film "(500)
Days of Summer" itu begitu digandrungi segmen penonton remaja. Para
kritikus film menyebutnya sebagai roman picisan yang menceritakan kisah cinta
orang-orang kantoran, tak lebih. Lalu apakah narasi seperti itu salah? Bukankah
cerita tetaplah cerita. Siapa pun dan bagaimana pun latar kehidupannya, setiap
orang berhak untuk diceritakan.
Adalah Ika Natassa, seorang
pekerja kantoran (bank), yang dengan kelihaian menyusuri setiap kelokan kisah,
berhasil membangun rangkaian cerita dengan latar dan tokoh para pekerja
kantoran. Sejak buku pertamanya yang berjudul “A Very Yuppy Wedding” terbit di
tahun 2007, ia langsung digemari para pembaca—dengan label, metropop.
Andrea, seorang karyawan sebuah
bank terbesar di Indonesia, karena kesibukan yang berlapis-lapis, hidupnya
berisi 8 hari dalam seminggu. Hari-harinya diprioritaskan untuk pekerjaan yang
kian hari semakin menyita waktu. Namun, ketika berada di tubir usia 29 tahun,
ia perlahan mulai mengubah haluannya; tuntutan perkawinan mengintai. Perjalanannya
menuju pelaminan yang diimpikan ternyata panjang dan berliku. Memilih antara
karir atau rumahtangga ternyata tidak mudah.
Cerita tentang Andrea tersebut,
yang ada dalam buku “A Very Yuppy Wedding”, adalah percobaan pertama Ika dalam
mengulik sisik melik kehidupan kaum metropolitan, yang hidup dan kehidupannya,
menarik untuk diangkat menjadi cerita. Mereka yang sehari-harinya berkutat
dengan rutinitas yang rigid, sebagaimana manusia yang lain, tetap adalah
kumpulan personal yang memiliki kisah dan tragedinya masing-masing.
Pada karya selanjutnya yang
terbit di tahun 2008, Ika menulis “Divortiare”. Kata dari bahasa Latin yang
berarti “perceraian” itu lagi-lagi menuturkan hubungan manusia dengan
pasangannya, berlatar kehidupan kaum urban, lengkap dengan pasang surut dan
tikungan tajam dalam hubungan antar keduanya. Tokoh dan latar yang dipakai oleh
Ika seperti tak hendak berjarak dengan kehidupan sehari-hari pengarangnya.
Profesinya sebagai karyawan di sebuah bank, barangkali yang membuat Ika mengail
ide dari kehidupan sekitarnya.
Ihwal kenapa ia akhirnya memilih
dua pekerjaan, sebagai karyawan bank dan penulis, Ika menjelaskan, “Nulis
sebenarnya hobi dari kecil di mana aku suka bikin cerita-cerita gitu, akhirnya
karena hobinya bisa diseriusi menjadi suatu pekerjaan di luar dari pekerjaan
yang day job, ya udah dilakuin aja,” terangnya.
Ika yang karya-karyanya akan
dibawa ke Frankfurt, di tahun 2011 kembali menulis buku berjudul “Antologi
Rasa”. Secara garis besar, tema yang diusung olehnya masih sama dengan dua
karya sebelumnya. Pencapaian Ika, dari segi gaya penceritaan dan medium yang
dipakai dalam mengeksplorasi kehidupan kelas menengah kaum metropolitan, baru
benar-benar menembus pakemnya ketika menulis “Twivortiare” di tahun 2012, dan
“Twivortiare 2” di tahun 2014. Tokoh utama rekaan Ika dibuat seolah-olah nyata
dan mempunyai akun twitter.
Alexandra, tokoh yang di novel
“Divortiare” adalah seorang istri yang kemudian bercerai, tiba-tiba hadir di
media sosial dengan akun twitternya. Ika sebagai admin akun tersebut membuat
seolah dia hadir nyata.
“Aku iseng bikin akun twitter si
tokoh utamanya. Aku ingin mengeksplorasi cara baru bercerita, kalau dulu kan
penulis bercerita cuma lewat cerpen, prosa, dan novel, nah aku ingin bisa bikin
cerita lewat tweet, jadi aku bikinlah akun twitternya. Tokoh utamanya nge-tweet
kehidupannya sehari-hari, ga pake plot, jadi seenaknya aku aja, misalnya hari
ini nge-tweet cerita ini, besok lain lagi, dan seterusnya. Sampai hari ini
follower-nya ada sekitar sepuluh ribu dan pending request-nya sekitar lima
ribu, “ ungkapnya.
Metropop atau novel populer, di
Indonesia, pernah berkembang di tahun 1970-an. Para pengarangnya seperti Marga
T., La Rose, Iskasiah Sumarto, Sri Bekti Subakir dan masih banyak lagi. Mereka
masuk ke tengah khalayak pembaca sastra dengan tema yang relatif lebih
“ringan”.
Maman S. Mahayana, pada buku
“Sembilan Jawaban Sastra Indonesia : Sebuah Orientasi Kritik” menjelaskan:
“Novel populer berperan sebagai
dokumen sosial dari kebaruan yang diperlihatkan di dalamnya. Hal-hal yang baru
muncul dan menjadi sesuatu yang sedang populer di masyarakat, itulah yang
dimaksud dengan kebaruan. Novel populer dapat menunjukkan perkembangan yang
sedang terjadi di masyarakat, dari teknologi, tempat umum, hingga pemakaian
bahasa. Karena itulah, secara tidak langsung, novel populer dapat menjadi
dokumen sosial.”
Jika menilik karya-karya Ika, di
dalamnya memang banyak dokumen sosial tersebut, misalnya merek sandang
terkenal, ungkapan-ungkapan memakai bahasa asing, dan tentu saja ihwal
pemakaian media sosial (yang tengah digandrungi) sebagai medium untuk
bercerita.
Inilah salah satu wajah sastra
Indonesia kontemporer. Dengan karya-karyanya, Ika berhasil memotret kehidupan
manusia (kantoran) perkotaan terkini, lengkap dengan kondisi lingkungan yang
hadir di sekitarnya. Dari sana juga ia akhirnya ikut memetakan ulang pembaca
karya sastra populer di Indonesia, berhitung tentang jumlah pembaca karya
“ringan”, yang bagaimana pun adalah realita yang kehadirannya memperkaya
keragaman sastra.
Jadi jika kemudian
karya-karyanya ikut dipamerkan di Frankfurt pada Oktober nanti, tentu bukan
persoalan bacaan “berat” atau “ringan”, namun tentang dokumentasi sosial yang
termuat dan dibawa oleh tulisan-tulisannya. Indonesia yang gigantik, tentu tak
bisa diwakili hanya dengan satu rupa, ia mesti dibangun oleh keragaman yang
banyak dan rancak. Ika dan karya, adalah satu dari yang rancak itu. [irf]
Postscript :
Re-post catatan ini dimaksudkan sebagai arsip dari naskah yang telah dipublikasikan di Pulau Imaji, dalam rangka mendukung Indonesia sebagai Tamu Kehormatan di Frankfurt Book Fair 2015. Ikuti juga akun @PulauImaji untuk informasi seputar pameran buku tertua di dunia tersebut.
No comments:
Post a Comment