23 September 2015

Dokumentasi Sosial dalam Cerita Metro-Pop

Tom adalah seorang pekerja kantoran yang hidupnya begitu-begitu saja, menjalani rutinitas dengan kejenuhan yang setiap saat mengintai, menghela nafas dari sebuah jeda kerja ke jeda berikutnya -- pendeknya hidup Tom membosankan. Begitu pun dengan Summer, perempuan bermata bagus itu tak punya banyak alasan untuk mengklaim bahwa hidupnya lebih menyenangkan daripada Tom. Ketika akhirnya mereka bertemu dalam satu tempat kerja yang sama, cerita kemudian bergulir.
Kisah dalam film "(500) Days of Summer" itu begitu digandrungi segmen penonton remaja. Para kritikus film menyebutnya sebagai roman picisan yang menceritakan kisah cinta orang-orang kantoran, tak lebih. Lalu apakah narasi seperti itu salah? Bukankah cerita tetaplah cerita. Siapa pun dan bagaimana pun latar kehidupannya, setiap orang berhak untuk diceritakan.
Adalah Ika Natassa, seorang pekerja kantoran (bank), yang dengan kelihaian menyusuri setiap kelokan kisah, berhasil membangun rangkaian cerita dengan latar dan tokoh para pekerja kantoran. Sejak buku pertamanya yang berjudul “A Very Yuppy Wedding” terbit di tahun 2007, ia langsung digemari para pembaca—dengan label, metropop.
Andrea, seorang karyawan sebuah bank terbesar di Indonesia, karena kesibukan yang berlapis-lapis, hidupnya berisi 8 hari dalam seminggu. Hari-harinya diprioritaskan untuk pekerjaan yang kian hari semakin menyita waktu. Namun, ketika berada di tubir usia 29 tahun, ia perlahan mulai mengubah haluannya; tuntutan perkawinan mengintai. Perjalanannya menuju pelaminan yang diimpikan ternyata panjang dan berliku. Memilih antara karir atau rumahtangga ternyata tidak mudah.
Cerita tentang Andrea tersebut, yang ada dalam buku “A Very Yuppy Wedding”, adalah percobaan pertama Ika dalam mengulik sisik melik kehidupan kaum metropolitan, yang hidup dan kehidupannya, menarik untuk diangkat menjadi cerita. Mereka yang sehari-harinya berkutat dengan rutinitas yang rigid, sebagaimana manusia yang lain, tetap adalah kumpulan personal yang memiliki kisah dan tragedinya masing-masing.
Pada karya selanjutnya yang terbit di tahun 2008, Ika menulis “Divortiare”. Kata dari bahasa Latin yang berarti “perceraian” itu lagi-lagi menuturkan hubungan manusia dengan pasangannya, berlatar kehidupan kaum urban, lengkap dengan pasang surut dan tikungan tajam dalam hubungan antar keduanya. Tokoh dan latar yang dipakai oleh Ika seperti tak hendak berjarak dengan kehidupan sehari-hari pengarangnya. Profesinya sebagai karyawan di sebuah bank, barangkali yang membuat Ika mengail ide dari kehidupan sekitarnya.
Ihwal kenapa ia akhirnya memilih dua pekerjaan, sebagai karyawan bank dan penulis, Ika menjelaskan, “Nulis sebenarnya hobi dari kecil di mana aku suka bikin cerita-cerita gitu, akhirnya karena hobinya bisa diseriusi menjadi suatu pekerjaan di luar dari pekerjaan yang day job, ya udah dilakuin aja,” terangnya.
Ika yang karya-karyanya akan dibawa ke Frankfurt, di tahun 2011 kembali menulis buku berjudul “Antologi Rasa”. Secara garis besar, tema yang diusung olehnya masih sama dengan dua karya sebelumnya. Pencapaian Ika, dari segi gaya penceritaan dan medium yang dipakai dalam mengeksplorasi kehidupan kelas menengah kaum metropolitan, baru benar-benar menembus pakemnya ketika menulis “Twivortiare” di tahun 2012, dan “Twivortiare 2” di tahun 2014. Tokoh utama rekaan Ika dibuat seolah-olah nyata dan mempunyai akun twitter.
Alexandra, tokoh yang di novel “Divortiare” adalah seorang istri yang kemudian bercerai, tiba-tiba hadir di media sosial dengan akun twitternya. Ika sebagai admin akun tersebut membuat seolah dia hadir nyata.
“Aku iseng bikin akun twitter si tokoh utamanya. Aku ingin mengeksplorasi cara baru bercerita, kalau dulu kan penulis bercerita cuma lewat cerpen, prosa, dan novel, nah aku ingin bisa bikin cerita lewat tweet, jadi aku bikinlah akun twitternya. Tokoh utamanya nge-tweet kehidupannya sehari-hari, ga pake plot, jadi seenaknya aku aja, misalnya hari ini nge-tweet cerita ini, besok lain lagi, dan seterusnya. Sampai hari ini follower-nya ada sekitar sepuluh ribu dan pending request-nya sekitar lima ribu, “ ungkapnya.
Metropop atau novel populer, di Indonesia, pernah berkembang di tahun 1970-an. Para pengarangnya seperti Marga T., La Rose, Iskasiah Sumarto, Sri Bekti Subakir dan masih banyak lagi. Mereka masuk ke tengah khalayak pembaca sastra dengan tema yang relatif lebih “ringan”.
Maman S. Mahayana, pada buku “Sembilan Jawaban Sastra Indonesia : Sebuah Orientasi Kritik” menjelaskan:
“Novel populer berperan sebagai dokumen sosial dari kebaruan yang diperlihatkan di dalamnya. Hal-hal yang baru muncul dan menjadi sesuatu yang sedang populer di masyarakat, itulah yang dimaksud dengan kebaruan. Novel populer dapat menunjukkan perkembangan yang sedang terjadi di masyarakat, dari teknologi, tempat umum, hingga pemakaian bahasa. Karena itulah, secara tidak langsung, novel populer dapat menjadi dokumen sosial.”
Jika menilik karya-karya Ika, di dalamnya memang banyak dokumen sosial tersebut, misalnya merek sandang terkenal, ungkapan-ungkapan memakai bahasa asing, dan tentu saja ihwal pemakaian media sosial (yang tengah digandrungi) sebagai medium untuk bercerita.
Inilah salah satu wajah sastra Indonesia kontemporer. Dengan karya-karyanya, Ika berhasil memotret kehidupan manusia (kantoran) perkotaan terkini, lengkap dengan kondisi lingkungan yang hadir di sekitarnya. Dari sana juga ia akhirnya ikut memetakan ulang pembaca karya sastra populer di Indonesia, berhitung tentang jumlah pembaca karya “ringan”, yang bagaimana pun adalah realita yang kehadirannya memperkaya keragaman sastra.

Jadi jika kemudian karya-karyanya ikut dipamerkan di Frankfurt pada Oktober nanti, tentu bukan persoalan bacaan “berat” atau “ringan”, namun tentang dokumentasi sosial yang termuat dan dibawa oleh tulisan-tulisannya. Indonesia yang gigantik, tentu tak bisa diwakili hanya dengan satu rupa, ia mesti dibangun oleh keragaman yang banyak dan rancak. Ika dan karya, adalah satu dari yang rancak itu. [irf]

Postscript : 
Re-post catatan ini dimaksudkan sebagai arsip dari naskah yang telah dipublikasikan di Pulau Imaji, dalam rangka mendukung Indonesia sebagai Tamu Kehormatan di Frankfurt Book Fair 2015. Ikuti juga akun @PulauImaji untuk informasi seputar pameran buku tertua di dunia tersebut.

No comments: