Dalam riwayat dunia sastra di
Indonesia, terjadi "pembelahan" beberapa periode yang menandai
lahirnya generasi pengarang dan penyair baru. Hal itu ditandai peristiwa yang
menjadi pembabakan riwayat perjalanan Indonesia sebagai sebuah bangsa. Sebagai
contoh, angkatan 66 adalah periode yang lahir dari masa transisi peralihan
kekuasaan dari pemerintahan Orde Lama ke Orde Baru.
Salah satu penyair yang lahir
dari angkatan ini adalah Taufik Ismail. Ia yang sekarang telah menginjak usia
80 tahun ini, di Frankfurt nanti, termasuk penyair yang akan hadir dengan
membawa karya-karyanya.
Taufik telah melahirkan beberapa
buku puisi, dan karyanya dikenal masyarakat secara luas. Hal ini, selain karena
puisi-puisinya memang banyak tersebar di beberapa buku pelajaran sekolah, juga
karena ia bekerjasama dengan grup musik yang melagukan beberapa puisinya,
terutama dengan Bimbo. Langkah musikalisasi puisi ini kemudian banyak juga
dikerjakan oleh grup-grup musik terhadap puisi-puisi para sastrawan Indonesia
yang lain.
Hari Jum’at, tanggal 14 Agustus
2015, ketika ditemui di gedung Kemendikbud pada acara pertemuan antara penulis
dan Komite Nasional Frankfurt Book Fair, ia menunjukkan selembar catatan
tentang sejarah penerjemahan karya-karyanya ke dalam berbagai bahasa asing. Ia
orang paling tua yang datang di acara tersebut, namun juga salah satu yang
datang paling awal, sangat amat tidak terlambat, jauh lebih tepat waktu
ketimbang para pengarang lainnya (yang lebih muda) yang banyak datang belakangan.
Berikut riwayatnya:
Tahun 2013 dan 2015, sejumlah
puisinya diterjemahkan ke Bahasa Bosnia oleh Prof. Ferid Muhic dan Edin
Hadzalic dengan judul “Prah na Zrnu Praha”. Lalu masih pada tahun 2015,
diterjemahkan ke Bahasa Prancis oleh Prof. Etienne Naveau dengan judul “Cendres
sur Cendres”. Terjemahan ke Bahasa Belanda oleh Prof. E. P. Wieringa dengan
judul “Stof op Stof” dikerjakan juga pada 2015. Sedangkan terjemahan ke Bahasa
Arab oleh Prof. Nabilah Lubis dengan judul “Turab Fauqat Turab” dilakukan pada
2013.
Riwayatnya tidak berhenti sampai
di situ, karena masih pada 2015 sejumlah puisinya diterjemahkan pula ke Bahasa
Farsi oleh Prof. Vahed Semnani dan Bastian Zulyeno, Ph.D. dengan judul “Khak
rouy-e Khak”. Terjemahan ke Bahasa Jerman diberi judul “Staub auf Staub”
dikerjakan Prof. E. P. Wieringa dan Carsten U. Beermann juga pada 2015. Tahun
2013 pernah juga diterjemahkan ke Bahasa Inggris oleh Prof. Amin Sweeney dengan
judul “Dust on Dust”.
Satu buah puisinya yang berjudul
“Dengan Puisi, Aku” diterjemahkan ke 80 bahasa asing pada 2015 dengan diberi
pengantar oleh Prof. Victor A. Pogadaev.
Tahun 1966, ketika demo-demo
mahasiswa menentang rezim Orde lama mencapai titik didihnya yang paling panas,
Taufik Ismail melahirkan “Tirani” dan “Benteng”; dua kumpulan puisi yang
berhasil merekam suasana di sekitar peristiwa tersebut.
Waktu mahasiswa Universitas
Indonesia tewas dalam sebuah bentrokan dengan aparat keamanan, Taufik Ismail
menulis puisi yang lirih dan murung, puisi yang mengantar jenazah dari
almamaternya itu diberi judul “Salemba”.
“Almamater, janganlah bersedih /
bila arakan ini bergerak perlahan / menuju pemakaman / siang ini. / Anakmu yang
berani / telah tersungkur ke bumi / ketika melawan tirani.”
Keberhasilan Taufik merekam
setiap cemas dan cekam yang terjadi di sekitar demo dan bentrok para mahasiswa
dengan alat negara, juga keresahan masyarakat yang dihimpit situasi ekonomi
yang tak pasti, membuat penyair ini cukup ikonik, setidaknya untuk periode
1966.
Di sekitar 1998, ketika akhirnya
Orde Baru tumbang, Taufik pun kembali membuat beberapa karya yang
menjelentrehkan kondisi kehidupan berbangsa yang sudah keropos di berbagai
sektor. Ya, di luar karya-karyanya yang lahir di beberapa titimangsa lain,
namun ia lagi-lagi hadir di tahun-tahun ketika bangsa ini berada di situasi
pelik yang begitu menentukan.
Meskipun sampai sekarang ia
masih terus berkarya, namun riwayat kepengarangannya penting juga untuk
dihadirkan di Frankfurt. Ini akan menjadi semacam mosaik perjalanan bangsa yang
berhasil direkam oleh puisi. Di titik ini, sastra telah terbukti menjadi
penjaga ingatan kolektif bangsa. Taufik dan karya-karyanya, adalah juga bagian
dari keragaman Indonesia yang hendak ditampilkan itu
“Dengan puisi aku
berdoa, perkenankanlah kiranya”. Sepenggal puisi Taufik itu, terkait dengan
Frankfurt Book Fair, barangkali adalah juga harapan si penyair terhadap
perkembangan literasi dunia. [irf]
Postscript :
Re-post catatan ini dimaksudkan sebagai arsip dari naskah yang telah dipublikasikan di Pulau Imaji, dalam rangka mendukung Indonesia sebagai Tamu Kehormatan di Frankfurt Book Fair 2015. Ikuti juga akun @PulauImaji untuk informasi seputar pameran buku tertua di dunia tersebut.
No comments:
Post a Comment