Sejak “Entrok”, karya pertama Okky Madasari terbit
di tahun 2010, ia kemudian dikenal sebagai seorang penulis perempuan yang
menyuarakan kaum minoritas, marginal, dan tertindas. Narasi yang dibangun oleh
penulis yang lebih dulu berprofesi sebagai seorang jurnalis ini, adalah tentang
orang-orang yang tak berdaya di hadapan kekuasaan; baik kekuasan politik,
korupsi, maupun agama.
Dalam sebuh wawancara dengan BBC Indonesia, Okky
menjelaskan posisi karyanya, "Saya tentu membuat cerita bukan sekedar
untuk senang-senang, bukan sekedar sebagai hiburan, atau justru sebagai
pengantar tidur. Sejak awal saya percaya bahwa karya sastra itu seharusnya bisa
menyuarakan persoalan-persoalan dalam masyarakat," ungkapnya.
Tahun 2011, penulis yang mengaku dipengaruhi oleh
karya-karya Pramoedya Ananta Toer ini menerbitkan novel “86”, sebuah kisah yang
menghujam praktek korupsi dan bobroknya sistem hukum serta orang-orang yang
berkuasa atas hukum tersebut. Setahun kemudian Okky melahirkan “Maryam”. Karya
ini berhasil menerima penghargaan di ajang Anugerah Sastra Khatulistiwa 2012.
“Maryam” menceritakan tentang orang-orang penganut
Ahmadiyah di Indonesia yang ditekan dan mengalami pengusiran dari tempat
tinggalnya. Diwakili oleh tokoh Maryam yang datang dari keluarga penganut
Ahmadiyah, ia pada satu keputusan memilih menikah dengan seorang laki-laki non
Ahmadiyah. Sejak semula pernikahan itu tidak direstui oleh orang tua kedua
belah pihak. Sampai pada klimaksnya, pernikahan itu tak bisa dipertahankan,
mereka bercerai.
Ketika Maryam kembali ke rumah orang tuanya,
ternyata mereka dan warga kampung yang lain sudah tidak ada, terusir dari tanah
yang selama ini mereka tinggali dan perjuangkan. Ahmadiyah yang menurut kaum
mayoritas adalah golongan sesat, tak kuasa membendung “para hakim” dan akhirnya
meraka diusir dari tempat tinggalnya sendiri.
Tema yang diusung di novel “Maryam”, praktis membuat
Okky menjadi salah satu, atau bahkan satu-satunya yang mengangkat kondisi
sosial kontemporer ini. Ia tak sedang memberi solusi, namun menggugah kesadaran
para pembaca tentang ketidakadilan yang tengah berlangsung, dan negara selalu
tumpul dalam menyelesaikannya.
"Tidak bisa apa yang terjadi di sana kemudian
dihentikan. Itu bukan tugas karya sastra," ungkap perempuan kelahiran
Magetan ini.
Setahun setelah “Maryam” terbit, Okky kemudian
merilis “Pasung Jiwa”. Ini pun lagi-lagi tentang orang-orang yang tak berdaya
di hadapan kekuasaan. Kali ini Okky memasukkan isu LGBT dalam kisah yang ia
bangun. Sasana, tokoh utama di novel tersebut, setelah kerap melewati kekerasan
di sekolahnya, perlahan menjadi laki-laki kemayu. Sisi feminin-nya muncul dan
menjadi lebih dominan dari sifat laki-lakinya. Namun di tengah keluarga, Sasana
tak bisa bersikap terbuka dan berlaku layaknya lelaki “normal”, ia berbohong
kepada dirinya sendiri, ia terpasung oleh kekuasaan anggapan umum. Selain itu,
Sasana pun, jika tampil apa adanya di luar keluarga, kerap dirisak oleh
sekelompok orang yang membawa panji-panji agama.
Okky yang Oktober nanti, akan tampil juga sebagai
salah satu pembicara di sebuah talk show dalam rangkaian Frankfurt Book Fair
2015, menyatakan, "Yang saya lakukan adalah tetap menghadirkan sebuah
cerita yang tentu memiliki dampak besar jika para pengambil keputusan itu membacanya,"
katanya.
Sampai hari ini, karya-karya Okky Madasari telah
diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris. “Entrok” menjadi “The Years of The
Voiceless”, “Maryam” jadi berjudul “The Outcast”, dan “Pasung Jiwa” menjadi
“Bound”. Ia yang waktu dihubungi tengah berada di Australia menjelaskan, bahwa
semua karyanya akan dibawa ke Frankfurt.
Kuasa militer, Ahmadiyah, LGBT, dan bobroknya dunia
hukum yang hadir dalam kisah-kisah Okky, tak berlebihan jika karyanya paling
mewakili kondisi luka Indonesia yang telah lampau dan paling mutakhir.
Okky
telah bercerita. Soal kondisi akan berubah atau tidak menjadi tanggungjawab
bersama. Tapi setidaknya, mengutip dari Hannah Arendt, “Derita menjadi
tertanggungkan ketika ia menjelma cerita.” [irf]
Postscript :
Re-post catatan ini dimaksudkan sebagai arsip dari naskah yang telah dipublikasikan di Pulau Imaji, dalam rangka mendukung Indonesia sebagai Tamu Kehormatan di Frankfurt Book Fair 2015. Ikuti juga akun @PulauImaji untuk informasi seputar pameran buku tertua di dunia tersebut.
No comments:
Post a Comment