Di Indonesia, atau setidaknya
Pulau Jawa, pesantren sudah lama mewarnai semesta pendidikan dan budaya
masyarakat sehari-hari. Sebagai contoh, tahun 1718, di Pasuruan berdiri
Pesantren Sidogiri yang digagas para ahli agama Islam dari Cirebon. Berabad
kemudian, bahkan sampai hari ini, pesantren tetap memiliki tempat terhormat di
mata masyarakat sebagai salah satu penyumbang sumber daya manusia yang mumpuni.
Lembaga pendidikan yang menggali
mata air hikmah dan ilmu ke-Islam-an itu, di Indonesia, telah teruji dalam
berbagai situasi apa pun. Dalam pasang surut kehidupan berbangsa dan bernegara,
pesantren selalu bisa menyesuaikannya dengan cepat. Maka tak heran, jika para
pengampu pendidikan di pesantren, dalam hal ini para kiai, ulama, atau pun
ustadz; kerap diapresiasi sebagai tokoh-tokoh yang layak dijadikan teladan.
Pada perjalanannya, karena
lembaga pendidikan ini terkait langsung dengan Islam, dengan sebuah kesakralan
panji-panji ketuhanan, maka hampir tak ada yang berani mengkritisi dan
menggugatnya secara terbuka, karena barangkali takut dianggap melanggar batas
demarkasi antara makhluk dan khaliq.
“Perempuan Berkalung Sorban”
yang terbit tahun 2001, adalah salah satu karya Abidah El Khalieqy kemudian
mencoba menghujam di titik ini. Novel yang kemudian diangkat ke layar lebar
ini, pada akhirnya memang menjadi kontroversial, dan ini seolah kembali
menegaskan bahwa resiko yang ditempuh Abidah masih diintai marabahaya, yang
lahir dari sudut pandang lama tentang pesantren yang seolah ma’sum, atau
terpelihara dari “dosa”.
Abidah tak berhenti sampai di
situ, di tahun 2004 ia kembali melahirkan “Geni Jora” sebuah novel yang
bercerita di seputar lingkungan pesantren. Kejora, tokoh utama di kisah
tersebut adalah seorang santri putri. Di lingkungan tempatnya belajar, ia
menemukan banyak sekali fenomena yang menggiring pada satu kesimpulan, bahwa
sebenarnya kehidupan di pesantren ga bagus-bagus amat. Tak “semulia” seperti
nampaknya dari luar.
Di luar iklim persaingan belajar
yang tidak sehat, pelanggaran terhadap norma-norma lembaga, dan kutub
pertemanan di antara santri yang berujung pada permusuhan, Kejora juga menemui
kenyataan adanya skandal asmara sejenis (lesbian). Isu mengenai orientasi sex,
sampai hari ini--bukan hanya pada teks fiksi, memang kerap muncul di beberapa
pesantren, yang terutama memberlakukan rambu-rambu yang sangat ketat dalam
pergaulan antara santri laki-laki dan perempuan.
Tak pelak, novel yang ditulis
Abidah itu kembali memicu perdebatan dan kontroversi di tengah masyarakat.
Menanggapi hal ini, pada wawancara dengan Endah Sulwesi di acara sebuah seminar
sastra, Abidah menjelaskan; “Saya sudah terbiasa dengan pro-kontra para pembaca
buku saya. Novel ‘Perempuan Berkalung Sorban’ sebenarnya lebih keras kritiknya
terhadap Kitab Kuning dan para kyai, yang mereka adalah ‘para penguasa’ yang
menciptakan pola pikir dan budaya. Namun saya melihat, ‘para penguasa muda’
memang lebih toleran dan responsif.”
Dari pernyataan tersebut, Abidah
jelas bukan hanya sedang menyoroti kondisi kehidupan sehari-hari para santri,
namun lebih tajam mengkritisi para pengampu pendidikan yang telah menjadi staus
quo dan hampir tak tergoyahkan. “Kekuasaan” yang dibangun oleh aroma feodalisme
dan doktrin-doktrin inilah yang coba dibongkar oleh Abidah dalam beberapa
kisahnya.
Hal ini, di tahun 2015 kembali
mencuat ketika dalam sebauh acara peluncuran buku Abidah yang berjudul “Aku
Istri Teroris”, tersebar informasi bahwa dalam acara yang sama hendak diadakan
lomba berbusana mirip istri teroris. Tak butuh waktu lama ketika akhirnya isu
ini bergulir dan ramai diperbincangkan, terutama di media sosial. Dan Abidah
lagi-lagi dilabeli stigma serupa.
Di zaman yang relatif abai
terhadap sikap tabayyun (klarifikasi), setiap ucap dan laku yang seolah informasi
akurat, tanpa pikir panjang kerap langsung dikunyah masyarakat tanpa reserve.
Dalam kasus ini, sebetulnya Abidah pernah memberikan keterangan ketika
diwawancara oleh hidayatullah.com, “Isi novel ini justru
membela istri-istri terduga teroris. Sungguh amat sangat salah jika masyarakat
mengecam dan mengejek mereka dengan istilah ninja (hanya karena mereka memakai
cadar), apalagi penyebutan istri teroris sebagai wanita kejam ataupun ejekan
lainnya,” tegasnya.
Dari situasi lebih terbuka dalam
melontarkan kritik di satu sisi, dan respon reaktif terhadap kritik di sisi
lain—keduanya dalam koridor wacana ke-Islama-an, karya-karya Abidah lahir dan
tumbuh. Tak banyak perempuan penulis Islam dalam pergaulan sastra Indonesia
yang berani memposisikan dirinya di ruang ini.
Keberanian pilihan Abidah inilah
yang patut dibawa dan diperkenalkan di Frankfurt. Bukan semangat sekadar beda
dan lalu berharap respon positif dari publik luar, namun soal-soal seperti ini
memang layak menjadi bahan dialog bersama dengan warga dunia.
Dalam khasanah kesusasteraan
dunia, Islam dan perempuan bukan tema yang asing dan bukan pula hal yang tak
menarik. Pembaca Indonesia, misalnya, sudah cukup akrab dengan karya-karya
Nawal el-Shadawi atau Marjanee Satrapi. Belum jika menyebut nama-nama yang
muncul belakangan seperti Zadie Smith dengan novelnya "White Teeth",
Laila Lalami dari Maroko dengan novelnya "Secret Son", hingga Leila
Aboulela dari Sudan yang hijrah ke London dan menulis novel berjudul
"Minaret".
Seperti yang pernah
dilontarkan oleh Seno Gumira Ajidarma, bahwa fungsi sastra adalah untuk
mendobrak tabu-tabu, di Jerman nanti, beberapa karya Abidah yang dipamerkan
adalah cermin dari sepotong mozaik usaha mendobrak hal-hal yang tabu itu. [irf]
Postscript :
Re-post catatan ini dimaksudkan sebagai arsip dari naskah yang telah dipublikasikan di Pulau Imaji, dalam rangka mendukung Indonesia sebagai Tamu Kehormatan di Frankfurt Book Fair 2015. Ikuti juga akun @PulauImaji untuk informasi seputar pameran buku tertua di dunia tersebut.
No comments:
Post a Comment