Jelang
Indonesia menjadi Tamu Kehormatan di perhelatan Frankfurt Book Fair (FBF) bulan Oktober mendatang, beberapa buku
karya para pengarang Indonesia menarik perhatian penerbit luar negeri, khususnya
Jerman. Ada 18 buku sastra yang diterjemahkan dan hak ciptanya terjual. 16 di
antaranya diterjemahkan ke Bahasa Jerman, dan 3 di antaranya ke lebih dari satu
bahasa. "Pulang" karya Leila S. Chudori ke dalam Bahasa Jerman,
Belanda, dan Italia. Lalu "Lelaki Harimau" karya Eka Kurniawan ke
dalam Bahasa Jerman dan Italia. Sedangkan "Amba" karya Laksmi
Pamuntjak diterjemahkan ke dalam Bahasa Jerman dan Belanda.
Husni Syawie,
Ketua Komite Penerjemahan yang dibentuk untuk mengoptimalkan kesempatan menjadi
tamu kehormatan di FBF 2015, menjelaskan bahwa hampir semua buku yang akan
diterbitkan para penerbit luar tersebut terkait (langsung maupun tidak
langsung) dengan program penerjemahan FBF yang disubsidi pemerintah. Namun ada
beberapa buku yang jauh-jauh hari sudah dilirik para penerbit luar, seperti
novel "Amba" dan "Pulang".
Untuk
buku-buku lain, proses komunikasinya rata-rata hampir bersamaan dengan hadirnya
program penerjemahan yang disponsori pemerintah, walaupun Komite Buku dan
Komite Penerjemahan tidak mengarahkan penerbit luar kepada buku tertentu.
“Saya
tegaskan, kami selaku Komite Buku dan Penerjemahan tidak mengarahkan buku
tertentu kepada para penerbit luar. Proses komunikasi antar penerbit sampai
selesainya urusan copyright berjalan sewajarnya,” ujar Husni.
Komite
penerjemahan, kata Husni, hanya membantu memfasilitasi program penerjemahannya.
Syaratnya, karya tersebut sudah dibeli copy right-nya oleh penerbit luar
negeri. Pembelian copy right-nya bisa langsung kepada pengarang dan penerbit
Indonesia yang memegang right, atau melalui literary agent.
Husni
melanjutkan, Komite Penerjemahan mempunyai daftar buku rekomendasi sejak tahun
lalu, tapi itu hanya pengantar bagi penerbit asing untuk memilih buku Indonesia
yang bagus. Pada dasarnya, program pendanaan/subsidi penerjemahan karya
Indonesia memfasilitasi buku Indonesia apa saja yang dibeli hak ciptanya oleh
penerbit asing, baik ada dalam daftar rekomendasi atau pun tidak. Dengan
demikian, buku apa yang dibeli hak bahasanya, maka berhak mendapat dana
penerjemahan. Pendeknya, kata Husni lagi, buku apa yang hendak diterbitkan oleh
penerbit asing diputuskan seratus persen oleh penerbitnya itu sendiri.
Meskipun
program penerjemahan berperan penting dalam menghubungkan antara penerbit luar
dengan penerbit lokal, namun sebetulnya komunikasi antar penertit itu sendiri
sudah terbangun sebelumnya. Jadi untuk beberapa buku, Komite Nasional bukan
yang mula-mula menjadi penghubung antar penerbit. Komite Nasional juga tidak
hendak serba mengklaim bahwa penerbitan karya-karya Indonesia melulu karena
agenda Frankfurt Book Fair 2015 ketika Indonesia didapuk sebagai tamu
kehormatan. Keberhasilan novel Eka Kurniawan yang lain, “Cantik Itu Luka”, yang
edisi Inggris-nya diterbitkan oleh New Direction dengan judul “Beauty is
Wound”, misalnya, bisa dibilang tidak terkait program penerjemahan yang
disubsidi pemerintah.
Ihwal
buku-buku yang berhasil menarik minat para penerbit luar Husni menjelaskan
bahwa hal itu bukan soal promosi semata. Mereka juga pasti mempertimbangkan kelayakan
buku-buku tersebut, bukan hanya secara mutu kesusastraan, tapi juga
kelayakannya untuk bersaing di pasar Jerman dan luar negeri.
“Saya yakin,
para pelaku perbukuan itu tentu sudah mempertimbangkan mutu dari buku-buku yang
hendak mereka beli copyright-nya,” sambung Husni lagi.
Kepada Andy
Budiman, ketua Komite Media, Barbara Weidle dari penerbit Weidle Verlag
mengutarakan hal senada. Keputusan Weidle untuk menerbitkan dan men-Jerman-kan
novel Leila S. Chudori, “Pulang”, juga semata karena pertimbangan mereka
sendiri, yang mengambil keputusan secara independen tanpa diarah-arahkan oleh
pihak Indonesia.
“Kami memilih
karya Leila melalui riset dan agen,” kata Barbara, di Koln (29 Juni 2015).
Untuk
meningkatkan perhatian publik dunia terhadap buku-buku karya penulis Indonesia,
tentu akan sangat riskan jika hanya mengandalkan perhelatan Frankfurt Book
Fair. Di titik ini pemerintah, penerbit, dan para pengarang Indonesia mesti
mempunyai agenda yang jelas. Husni sendiri mempunyai beberapa pendapat ihwal kondisi
ini.
“Saya kira
sekurangnya mesti ada lima poin yang harus dikerjakan oleh kita untuk
mendongkrak perhatian publik dunia, diluar acara FBF ini. Pertama, mambentuk
Komite Nasional yang menyeleksi buku-buku bermutu yang berpihak kepada pasar
internasional. Kedua, penerbit harus menerjemahkan buku-bukunya ke dalam Bahasa
Inggris sebagai bahasa internasional. Ketiga, lakukan promosi dengan cara
mengikuti beberapa event buku internasional seperti; Bologna, New Delhi, Tokyo,
dll. Keempat, harus membangun website yang kokoh secara pengelolaan sebagai
sarana interaksi, promosi, dsb. Dan yang terakhir harus mengadakan event buku
internasional di Jakarta.”
Peluang
Indonesia di kancah perbukuan internasional sangat terbuka. Khusus untuk pasar
Eropa, Husni memprediksi bahwa buku-buku fiksi masih mendominasi. Sedangkan
untuk genre lain kemungkinan akan lebih terserap oleh pasar Asia dan Timur
Tengah. “Untuk genre non fiksi; kuliner, fashion, dan buku anak, saya kira akan
menarik pasar juga,” tambahnya. [irf.]
Postscript :
Re-post catatan ini dimaksudkan sebagai arsip dari naskah yang telah dipublikasikan di Pulau Imaji, dalam rangka mendukung Indonesia sebagai Tamu Kehormatan di Frankfurt Book Fair 2015. Ikuti juga akun @PulauImaji untuk informasi seputar pameran buku tertua di dunia tersebut.
No comments:
Post a Comment