Dari 18 buku karangan penulis
Indonesia yang diterbitkan menjelang gelaran Frankfurt Book Fair 2015, “Ziarah”
menjadi buku paling “tua”. Novel karya Iwan Simatupang ini diterjemahkan dalam
bahasa Jerman dan akan diterbitkan oleh penerbit Angkor Verlag.
Karya klasik yang sejatinya
telah rampung ditulis Iwan tahun 1960 ini baru bisa terbit pada tahun 1969.
Novel ini mulanya sempat ditolak penerbit Djambatan. Salah satu alasannya
karena dianggap sulit diterima oleh pembaca Indonesia kala itu. Barulah
Djambatan bersedia menerbitkannya setelah mendapatkan rekomendasi dari H.B.
Jassin.
Sejak
terbit, “Ziarah” langsung memicu perdebatan. Seperti dilaporkan oleh Dami N.
Toda (Jurnal Susastra, Vol. 2, No. 4, 2006), yang menelusuri diskusi tentang
“Ziarah” di berbagai surat kabar, sangat banyak pembaca (termasuk para penulis)
yang kesulitan memposisikan novel ini. Bahkan oleh beberapa dosen di
Universitas Indonesia, masih merujuk Toda, novel ini ditolak karena tidak
diakui sebagai “karya sastra”. Dami N. Toda mengalami bagaimana dosen-dosen
menolak penelitiannya mengenai novel “Ziarah”, kecuali H.B. Jassin dan Boen S.
Oemarjati.
Kurang satu dekade dari
penerbitan pertamanya, “Ziarah” sudah terbit dalam bahasa asing. Pada 1975,
Yayasan Lontar menerbitkan edisi Inggris novel ini berdasarkan terjemahan Harry
Aveling. Berikutnya, pada 2003, jauh setelah Iwan meninggal, edisi Perancis-nya
terbit dengan judul “Pelerinage”. Penerjemahan ke bahasa Perancis ini dilakukan
oleh Okke Zaymar dan Jean Maiffredy dan diterbitkan Faustroll, sebuah lembaga
nirlaba Perancis yang punya perhatian khusus kepada karya sastra dunia.
Novel yang mengisahkan kehidupan
seorang yang di penghujung cerita melamar pekerjaan sebagai opseter pekuburan
ini, hingga sekarang, banyak dirujuk sebagai novel dengan kandungan filsafat
eksistensialisme. Sebutan sebagai “novel eksistensialisme” ini memang sudah
sudah menjadi klise dan juga ditampik oleh beberapa orang. Pada 1970, misalnya,
Goenawan Mohamad menampik novel-novel Iwan berpretensi filsafat, namun sebagai
“keasiykan akan kata-kata” dan “lanjutan rasa tidak betah dengan kovensi bentuk
yang lurus”).
Toh pada akhirnya menjadikan
novel ini sebagai salah satu novel dari sedikit novel Indonesia yang
mendapatkan “cap” yang kuat. Mungkin seperti “Saman” yang mendapatkan cap
sebagai “novel feminis”, atau katrologi Pulau Buru-nya Pramoedya yang di-cap
sebagai “novel kiri” atau novel “Ronggeng Dukuh Paruk”. Kita tahu, sebagaimana
stereotype, “cap” tidak sepenuhnya bisa diterima namun setidaknya menggambarkan
meta-teks perihal bagaimana sebuah naskah dirumuskan oleh “publik”.
Kehadiran kembali novel ini,
sebagai novel tertua yang diterjemahkan dan dipamerkan perhelatan pasar buku
tertua di dunia, ibarat sebuah ziarah pada karya sastra klasik Indonesia. Di
Frankfurt, setiap orang yang hadir di sana, bisa menziarahi lagi “Ziarah”. [irf
]
Postscript :
Re-post catatan ini dimaksudkan sebagai arsip dari naskah yang telah dipublikasikan di Pulau Imaji, dalam rangka mendukung Indonesia sebagai Tamu Kehormatan di Frankfurt Book Fair 2015. Ikuti juga akun @PulauImaji untuk informasi seputar pameran buku tertua di dunia tersebut.
No comments:
Post a Comment