22 September 2015

(Bukan) Cerita Teroris di Frankfurt

Oktober nanti di Frankfurt, di hadapan publik dunia, Indonesia sebagai tamu kehormatan Frankfurt Book Fair 2015, akan membawa beberapa buku karya penulis perempuannya. Salah satunya karya Linda Christanty. “Jangan Panggil Kami Teroris”, sebuah kumpulan hasil liputan dan investigasi Linda ke beberapa daerah di Indonesia dan Asean, akan mencoba menyapa ruang pembacaan Jerman.
Karya Linda ini diterjemahkan ke dalam Bahasa Jerman, dan akan diterbitkan Horlemann Verlag. Dalam edisi Jerman, buku ini diberi judul “Schreib Ja Nicht, Dass Wir Terroristen Sind!” Sedangkan dalam versi Inggris, Kepustakaan Populer Gramedia akan menerbitkannya dengan judul “Do Not Write We Are Terrorists”.
Seperti karya-karya jurnalisme Linda sebelumnya, kali ini ia pun menyorongkan kisah-kisah yang menuntut daya kritis pembaca dalam menyikapi berbagai hal yang seolah telah menjadi kebenaran umum.
Dalam sebuah wawancara dengan kru 17.000 Island of Imaginations, Linda mengutarakan bahwa sikap kita terhadap terorisme, misalnya, mesti ditakar dengan matang, tidak semata tunduk pada fakta-fakta yang berpolusi opini, karena hal ini akan menggiring kita pada sikap yang tidak adil.
“Kita harus bersikap kritis juga terhadap tidak hanya soal bagaimana orang menggunakan agama untuk melakukan pembenaran, tetapi kita juga bersikap kritis terhadap kata-kata yang diproduksi di dalam konflik global ini,” ungkapnya.
Selain itu, ia juga mengatakan bagaimana, misalnya, situasi di Palestina atau konflik di Afrika yang harus benar-benar ditimbang, karena sulur sejarah kita ke belakang, yang para pelakunya adalah mereka yang hari ini kerap kita sebut sebagai pahlawan, adalah juga mereka yang pernah dilabeli teroris oleh kaum kolonial.
14 kisah di buku ini mendadarkan bagaimana ketidakadilan ternyata bisa terjadi dengan mengatasnamakan apa saja; demokrasi, komunisme, nasionalisme, suku, bangsa, ataupun agama.
Hal ini Linda menjelaskan, “Bagi saya setiap isme-isme; nasionalisme, kemudian agama apa punlah tidak hanya Islam, ya Kristen, Budha, kemudian Sosialisme, itu adalah sebuah ide atau gagasan, yang bisa kita nilai hanyalah prakteknya. Apakah itu berguna bagi manusia atau tidak, apakah bisa membuat orang hidup dalam damai, saling menghargai, aman, dan terjamin kehidupannya atau tidak.”
Buku ini memberi tempat yang lapang kepada mereka-mereka yang diabaikan, kepedihan yang tak diakui, ketersisihan yang harus ditelan dengan pahit dan kesulitan orang-orang di dalamnya untuk menghadapi dan memahami dunia di sekelilingnya.

Kehadiran buku ini di Frankfurt, hampir pasti, akan menyodorkan wajah Indonesia yang tidak hanya elok, yang mooi dalam citraan eksotisme, melainkan juga memiliki wajah yang bopeng, yang tidak rapi, penuh bilur-bilur luka. [irf ]

Postscript : 
Re-post catatan ini dimaksudkan sebagai arsip dari naskah yang telah dipublikasikan di Pulau Imaji, dalam rangka mendukung Indonesia sebagai Tamu Kehormatan di Frankfurt Book Fair 2015. Ikuti juga akun @PulauImaji untuk informasi seputar pameran buku tertua di dunia tersebut.

No comments: