Beberapa pengarang Indonesia ada
yang memilih hidup jauh dari kota. Terasing dari pergaulan sehari-hari dengan
para pengarang lain yang memilih tempat hidup sebaliknya. Bagi mereka, yang
namanya kampung, dusun, dukuh, desa dan lingkungannya adalah justru tempat yang
nyaman bagi proses kepenulisan dan juga keseharian.
Salah satu pengarang dengan
pilihan tempat tinggal demikian adalah Ahmad Tohari. Penulis yang terkenal
dengan Trilogi “Ronggeng Dukuh Paruk” ini, sampai sekarang memilih hidup di
daerah Banyumas, mengakrabi kehidupan desa dengan segala keindahan sekaligus
persoalannya.
“Dunia yang sangat saya kuasai
adalah tempat di mana saya berkubang bersama teman-teman di lumpur, tempat saya
mengembala, tempat saya menembak burung, tempat saya memancing, kurang lebih
wilayah Banyumas inilah. Toh, Banyumas bagian dari Indonesia, tidak mungkin
bisa dipisahkan. Dan persoalan-persoalan manusia di Banyumas, saya yakin
persoalan-persoalan manusia di tempat lain juga,” tutur Ahmad Tohari dalam
sebuah dokumentasi video yang diproduksi oleh Yayasan Lontar.
Dari lingkungan seperti inilah
karya-karya Ahmad Tohari lahir. Ia mengakrabi dan menghayati kehidupan
sekitarnya, lalu dituliskan dalam teks-teks sastra. Di hampir setiap bukunya,
sejak dari paragraf-paragraf awal, pembaca akan langsung disuguhi suasana
lanskap alam pedesaan, hutan, dan sawah. Seperti di mula kisah dalam buku
“Ronggeng Dukuh Paruk”, ia menulis begini; “Sawah berubah menjadi padang kering
berwarna kelabu. Segala jenis rumput, mati. Yang menjadi bercak-bercak hijau di
sana-sini adalah krokot, sajian alam bagi berbagai jenis belalang dan jangkrik.
Tumbuhan jenis kaktus ini justru hanya muncul di sawah sewaktu kemarau
berjaya.”
Bukunya yang pertama terbit
berjudul “Kubah”. Novel yang memenangkan penghargaan dari Yayasan Buku Utama di
tahun 1980 ini, bercerita tentang seorang lelaki yang baru pulang dari
pengasingan di sebuah pulau di Timur Indonesia, yang dijadikan kamp konsentrasi
di masa rezim Orde Baru. Ahmad Tohari mengisahkan bagaimana susahnya si tokoh
itu kembali ke masyarakat. Semua seolah telah tertutup baginya, sampai akhirnya
ada seorang Haji yang mengulurkan tangan, mempercayainya untuk membangun sebuah
kubah masjid desa.
Sementara novel “Di Kaki Bukit
Cibalak” yang terbit tahun 1986, sebelumnya pernah dimuat di harian Kompas pada
tahun 1980. Buku ini pun lagi-lagi mengisahkan kehidupan masyarakat pedesaan,
lengkap dengan berbagai persoalannya dan bumbu romansa percintaan.
Riwayat panjang kepenulisan
Ahmad Tohari, di tahun 2011 dilirik oleh kalangan sineas. Trilogi “Ronggeng
Dukuh Paruk”, “Lintang kemukus Dini Hari”, dan “Jantera Bianglala”, diangkat ke
layar lebar dengan judul “Sang Penari”. Film besutan sutradara Ifa Isfansyah
yang mengisahkan tentang budaya ronggeng di tengah pusaran konflik ini, ikut
mendorong karya-karya Ahmad Tohari untuk lebih dikenal publik. Hal ini juga
akhirnya membuat bebarapa judul buku pengarang berusia 67 tahun ini dicetak
ulang.
“Senyum Karyamin”, salah satu
kumpulan cerpen yang ia tulis dan terbit di tahun 1989, dengan ciri khas Ahmad
Tohari, tetap mengisahkan kehidupan orang-orang kecil di pedesaan dengan
warna-warni kehidupannya.
Mustofa Bisri, ulama cum
sastrawan yang kini tinggal di Rembang, sempat mengutarakan pendapat terkait
dengan karya-karya Ahmad Tohari. “Kalaupun dibilang dakwah, tidak kelihatan dia
sedang berdakwah. Namun ia memihak kepada orang-orang kecil yang terpinggirkan.
Di dalam tulisan-tulisannya, tidak kelihatan dia sengaja mengajak kepada
kebaikan, dia cerita saja seperti orang cerita biasa, tapi dengan membaca itu
orang bisa termasuki ajakannya.”
Novel “Ronggeng Dukuh Paruk”
telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh yayasan Lontar dengan judul
“The Dancer”. Selain itu “Ronggeng Dukuh Paruk” pun pernah diterjemahkan dan
diterbitkan oleh penerbit Horlemann ke dalam bahasa Jerman dengan judul “Die
Tanzerin von Dukuh Paruk”. Sementara “Lintang Kemukus Dini Hari” dalam versi
Jerman-nya menjadi “Komet in der Damerung”. Dan “Bekisar Merah” diterjemahkan
ke dalam bahasa Inggris oleh penerbit Gramedia Pustaka Utama dengan judul “The
Red Bekisar”.
Riwayat panjangnya dalam
berkarya, juga sudut pandangnya dalam berkisah, membuat posisi Ahmad Tohari
begitu penting dalam peta sastra Indonesia kontemporer. Namun hal ini bagi ia
sendiri tidaklah penting. “Apakah saya kemudian setelah menulis ini disebut
sastrawan atau penulis, itu sama sekali tidak penting buat saya. Posisi saya
ketika menulis, saya adalah saksi yang harus mewartakan hal ini kepada
kehidupan. Dukuh Paruk akan saya ajak kembali mengenal Sang Wujud yang serba
tanpa batas,” ungkapnya.
Kehadiran karya Ahmad Tohari di
perhelatan Frankfurt Book Fair 2015, tentu akan menjadi warna tersendiri.
Dengan tulisan-tulisannya, ia hendak mengabarkan, bahwa Indonesia kiwari yang
gempita dalam banyak hal, adalah juga Indonesia yang punya dan kaya dengan
kehidupan pedesaan yang relatif lebih sunyi, namun bergejolak dengan berbagai
persoalan.
Desa, orang kecil, dan
sosok penari dalam narasi Ahmad Tohari, bukanlah sejenis eksotisme yang digali
untuk kebutuhan promosi turisme, namun sebuah sikap kritis terhadap lingkungan
kehidupan yang disesapnya di keseharian. [irf]
Postscript :
Re-post catatan ini dimaksudkan sebagai arsip dari naskah yang telah dipublikasikan di Pulau Imaji, dalam rangka mendukung Indonesia sebagai Tamu Kehormatan di Frankfurt Book Fair 2015. Ikuti juga akun @PulauImaji untuk informasi seputar pameran buku tertua di dunia tersebut.
No comments:
Post a Comment