Ketika rezim Orde Baru merepresi
pers, dan banyak peristiwa yang menginjak-nginjak kemanusiaan yang akhirnya
luput dari pemberitaan, maka Seno Gumira Ajidarma membuat sebuah kredo yang
cukup terkenal, “ketika jurnalisme dibungkam, sastra harus bicara.” Seno yang
waktu peristiwa Dili menjadi jurnalis di majalah Jakarta Jakarta, mencoba
“berkelit” dari tekanan Orde Baru, dengan tidak mengedepankan tulisan
jurnalistik, namun ia hadir dengan cerita-cerita (yang seolah) fiktif.
Buku kumpulan cerpennya yang
berjudul “Saksi Mata” berisi kisah-kisah tentang konflik di Timor Timur. Buku
itu terbit pertamakali di tahun 1994. Dua tahun kemudian, novel “Jazz, Parfum
& Insiden” terbit. Buku ini pernah diterjemahkan dan diterbitkan oleh
Yayasan Lontar ke dalam bahasa Inggris dengan judul “Jazz, Perfume & the
Incident”. Sementara jelang acara Frankfurt Book Fair 2015, buku ini
diterjemahkan ke bahasa Jerman dan akan diterbitkan oleh penerbit Angkor
Verlag.
Novel “Jazz, Parfum &
Insiden” menceritakan seorang wartawan yang tinggal di lingkungan metropolitan
dan mesti menuliskan sesuatu yang kritis. Peristiwa yang sedang dihadapi si
wartawan tadi adalah seputar konflik di Timor Timur. Di novel ini Seno lebih
transparan dalam menyebutkan latar tempat terjadinya kekerasan, juga
menyelipkan beberapa laporan jurnalistik yang penah dimuat di majalah Jakarta
Jakarta.
Apa yang dilakukan Seno bukan
berarti tanpa resiko, meskipun teks untuk mengungkap kebenaran itu berbentuk
tulisan fiksi, namun menghadapi rezim militer yang otoriter dengan mata-mata
disebar di setiap penjuru negeri, tetap saja membuat langkah Seno dijegal. Ia
sebagai wartawan kemudian dipecat dari tempat kerjanya, karena memberikan fakta
insiden Dili 12 November 1991.
Dalam buku “Ketika Jurnalisme
Dibungkam Sastra harus Bicara”, ia memberikan penjelasan, “Kemudian, karena
laporan tentang insiden Dili dalam Jakarta Jakarta edisi 288, 4-10 Januari
1992, atas permintaan pihak luar, perusahaan tempat saya bekerja menghentikan
saya dan dua kawan lain. Kejadian ini tentu saya anggap sebagai penindasan—oleh
suatu kekuasaan yang merasa dirinya melakukan yang paling benar. Saya
melawannya dengan cara membuat insiden Dili yang ingin cepat-cepat dilupakan
itu menjadi abadi.”
Meskipun karya Seno yang hendak
diterbitkan oleh penerbit Angkor Verlag hanya novel “Jazz, Parfum &
Insiden”, namun kalau dikaitkan dengan usaha Seno mengungkap peristiwa Dili,
sejatinya ada tiga buku yang terkait satu sama lain. Ketiga buku ini di tahun
2010 diterbitkan secara utuh (digabung menjadi satu) oleh penerbit Bentang
Pustaka, dan diberi judul “Trilogi Insiden”, yang di dalamnya terdiri dari;
Kumpulan cerita pendek “Saksi Mata”, novel “Jazz, Parfum & Insiden”, serta
kumpulan esai “Ketika Jurnalisme Dibungkam Sastra harus Bicara”.
Buku trilogi ini kemudian oleh
Digital Archipelago yang didukung Galeri Indonesia Kaya diluncurkan dalam
bentuk audio. Waktu diwawancara oleh TabloidNova.com, Seno memberikan
keterangan, "Ini adalah karya saya yang pertama kali dibuat dalam bentuk
buku audio, dengan bantuan banyak sahabat yang mau meluangkan waktu membacakan
karya saya, dan memberikan atmosfer berbeda dalam setiap kisah yang dibacakan.
Buku audio ini penting bagi sastra Indonesia, juga menarik karena memanfaatkan
internet, teknologi komunikasi mutakhir yang paling populer saat ini,"
ujar Seno.
Insiden Dili yang oleh rezim
Orde Baru hendak cepat-cepat diberangus dan dilupakan dengan segera itu, kini
lagi-lagi justru mengabadi dengan caranya sendiri. Lewat jejaring internet yang
bisa diakses, suara-suara warga Dili yang tulis oleh Seno Gumira Ajidarma akan
menggema sampai jauh. Ini bukan soal nasionalisme, namun lebih mendasar lagi,
yaitu kemanusiaan.
“Jazz, Parfum & Insiden”
sebagai narasi yang dibangun untuk menyingkap noktah merah dalam salah satu
perjalanan sejarah Indonesia, sekali ini, akan hadir pula di Frankfurt. Isu
kemanusiaan yang universal memang tak dapat dibendung oleh apa pun, termasuk
garis batas bangsa dan negara.
Dan inilah ragam wajah
Indonesia kontemporer itu, yang salah satunya terus berusaha untuk menyingkap
tabir-tabir sejarah yang penuh luka. Seperih dan sepahit apa pun, usaha mencari
dan mengungkapkan kebenaran harus tetap mendapatkan tempat -- melalui sastra
atau bukan sastra. Menjadi spirit hidup berbangsa. [irf]
Postscript :
Re-post catatan ini dimaksudkan sebagai arsip dari naskah yang telah dipublikasikan di Pulau Imaji, dalam rangka mendukung Indonesia sebagai Tamu Kehormatan di Frankfurt Book Fair 2015. Ikuti juga akun @PulauImaji untuk informasi seputar pameran buku tertua di dunia tersebut.
No comments:
Post a Comment