Empat anak panahnya telah melesat ke masadepan. Kini Karni
hidup sendirian, mirip seperti orangtua berkacamata di film kartun Shaun The
Sheep. Bagi Karni, waktu berjalan seumpama sumbu petasan yang dibakar dan berlari
kencang menuju hulu ledak. Meledak. Berhamburan. Lalu sepi. Kini anak-anaknya
sudah punya alamat rumah masing-masing. Mereka membangun lembaga kehidupan sendiri,
sementara hulu batih lembaga kehidupannya hidup sendirian dan kesepian. Mempunyai
anak, menemani pertumbuhannya, lalu ditinggal pergi, bagi Karni, persis seperti
meniup balon gas. Balon terlepas dan terbang tinggi ketika volume udara telah
membuatnya hamil. Dan mudik, oh mudik, tidakkah itu hanya semacam ziarah ke
masalalu?. Pertemuan setahun sekali dengan anak-anaknya tak lebih dari sekedar pamer
keganasan waktu. Jutaan milisekon telah membuat badannya perlahan menjadi
ringkih, dan rambutnya berangsur memutih. Anak-anaknya, seperti juga dia
sadari, memang adalah anak panah masadepan, tapi juga dirasakannya---ketika
mereka pergi---seperti mata pedang virtual yang meninggalkan ruang kosong lalu
membabatnya, yang orang banyak menyebutnya sebagai rindu.
Sekali ini Karni mengakui juga, dia merindukan anak-anaknya. [ ]
No comments:
Post a Comment