28 June 2012

Sebuah Sore Di Dermaga

Dan waktu akhirnya membawa mereka ke sebuah dermaga. Sore itu, ketika bola api menjelang dijemput malam. Laut yang sepi, burung-burung pulang ke sarang. Langit jingga di barat, lengkungnya adalah seluet keabadian, dan manusia hanyalah fana, juga mereka, empat kakak-beradik yang tengah duduk tenang di dermaga itu. Tahun-tahun ke belakang telah membuat mereka tumbuh dalam keluarga yang hangat, penuh canda, dan diskusi-diskusi yang menarik.

Pertengkaran masa kecil hanyalah berdurasi lima menit. Memperebutkan buku cerita adalah hiasan petang rembang yang berakhir dalam pangkuan sang ibu. Lalu selebihnya mereka dibaluri oleh cerita-cerita masalalu tentang Karimun Jawa, Pulau Tidung, Green Canyon, dan bentang alam lainnya yang begitu manis dan eksotis. Minggu pagi, jika tak ada jadwal bermain lumpur di halaman belakang, atau hujan tak turun untuk mereka rayakan dengan bermain air, maka ayah mereka membawanya ke toko buku, memperkenalkan mereka kepada orang-orang yang memfosilkan pemikiran dan pengalamannya dalam tulisan.


Tentu ibu mereka ikut serta, sebab membawa empat orang anak ke ruang public bukanlah perkara mudah. Apalagi semuanya banyak bertanya, banyak berlari, dan sesekali bertengkar. Tenaga satu orang ayah tidak akan cukup untuk meredakan energy itu. Dan tidak perlu ditanya, karena sang ibu selalu berada di samping mereka : meredakan pertengkaran, menjawab pertanyaan, dan membuat mereka berlari dengan aman. Barangkali inilah surga, maka tak ada alasan bagi si ayah untuk tidak mencintai mereka, mencintai empat orang kakak-beradik dan ibu mereka.


Mesjid kecil yang berjarak 50 meter dari rumah, telah menjadi saksi. Tentang bulan Ramadhan yang riuh oleh tadarus Al Qur’an, ceramah Wak haji di awal pagi, dan belajar kitab fiqih sambil menunggu buka puasa. Adzan subuh masih sangat jelas di ingatan mereka, waktu ayah membangunkannya, dan mereka masih payah dihajar kantuk dan malas. Sekali lagi tidak perlu ditanya, karena lihatlah, di hari yang sepagi itu, sang ibu pun telah dengan lembut ikut membangunkan mereka, menciumnya satu-persatu dan membawanya ke kamar mandi, mengajarkan wudhu dan menasehati mereka bahwa awal kekuatan bermula dari subuh.


Tapi itu telah berlalu beberapa tahun ke belakang. Kini mereka---Rekti Bara Sastra, Sigi Pitaloka Citaresmi, Azhar Aqliyatul Handasah, dan Azdimattinur Izzatunnisa---telah menjadi manusia-manusia yang kerap mencintai keindahan senja, duduk bersama, berdiskusi tentang alam, sejarah, sastra, fotography, film, atau hanya sekedar membicarakan kura-kura kecil dan sepasang ikan koki yang berada di rumah mereka.


Barangkali ini hanyalah mimpi, dan manusia tinggal mempercayai mimpi-mimpinya. Bagianku hanyalah mendo’akanmu, selebihnya Tuhan yang lebih tahu.


Jika mencintai dengan berani, maka sebuah fase telah dilewati : tidak takluk kepada takut. [ ]


No comments: