Dari balik jendela, di masa kecil itu, dia melihat hujan
membasahi pohon beringin. Bola-bola air menggantung di ranting dan daun. Dalam
benak masa kecilnya, kehidupan begitu sederhana, tak lebih dari main sepakbola,
sekolah sampai jam duabelas siang, dan main kelereng di bawah pohon itu. Siapa
yang mencemaskan masadepan?, anak kecil hanya tahu hari ini, hari yang tengah
dijalaninya dengan total tanpa ketakutan tentang bayang-bayang masadepan yang
begitu absurd.
Waktu bergerak, tapi manusia juga bertumbuh. Semua mencair,
tidak ada yang stagnan. Dalam diam, sesungguhnya pohon juga dinamis, dia begitu
tulus mengabdi kepada manusia, kepada jiwa-jiwa resah yang kerap kalah dalam
pertarungan melawan egonya. Tentu saja berbeda antara akar serabut dan akar
tunggang. Dalam kekuatan dan keteduhan, keduanya diciptakan kontradiksi.
Barangkali pohon tidak pernah punya leher untuk mengalungkan
masalalu yang dibawa-bawa ke masadepan. Atau mungkin dia tidak punya memori
yang bisa menyimpan kenangan yang berarak di tempurung ingatan. Membenturkan
kepala ke tiang listrik barangkali pembebasan terhadap belenggu yang bersemayam
di dasar perasaan. Dan hidup tidak pernah sama lagi setelah itu.
Sebagian orang menyebutnya sebagai pembelajaran, tapi jangan
lupa bahwa jebakan betmen selalu mengancam kapan saja. Dibutuhkan kosakata “sakit” atau “luka” untuk
menemukan kata “sembuh”. Ternyata kata-kata juga dibangun dari hubungan
sebab-akibat, dan terdiamlah kamu beberapa saat, demi berkemas-kemas dan siap
lagi untuk berangkat.
Selama hidup masih dikandung badan, lelah selalu akan
datang. Tapi waktu selalu menyediakan tempat untuk istirahat sejenak, menghitung
jejak, dan kembali bergerak.
Dua jiwa tak beda dengan dua planet besar. Ego terkandung
dalam darah yang mengalir di arteri. Tapi manusia adalah makhluk vertebrata,
tulang belakangnya selalu siap menyangga beban tubuh untuk senantiasa tegak dan
membuatnya tidak berjalan dengan melata.
Bukan gila misteri, tapi siapa sesungguhnya yang mengetahui
hari esok?. [ ]
No comments:
Post a Comment