01 July 2012

Bukan Arus Akal

Tidak perlu menuliskan sebuah novel utuh di tulang unta atau di pelapah kurma untuk menceritakan kepergian Khadijah yang membuat manusia terpercaya begitu kehilangan. Al Amin benar-benar kehilangan sosok yang pernah menyelimutinya dikala menggigil sepulang dari berkhalwat di bukit itu. Dari rahim perempuan yang usianya terpaut 15 tahun itulah beliau mendapatkan empat orang putri yang begitu disayanginya. Tragedy kehilangan orang-orang tercinta bukan hanya monopoli manusia-manusia akhir zaman, tapi juga pernah hinggap di manusia pembawa risalah yang akhirnya mengantarkannya berangkat ke Sidratul Muntaha dan pulang membawa oleh-oleh ibadah yang sangat istimewa : shalat.

Berjarak belasan abad kemudian, tragedy kehilangan itu kerapkali berulang menghampiri umatnya. Sore itu, di kala bola api hendak terbenam di barat, ketika siang perlahan dijemput malam, seorang perempuan berpulang kepada-Nya. Laki-laki paruh baya yang setiap hari ditemaninya tiba-tiba kehilangan separuh nyawa. Dia limbung meskipun telah mencoba untuk tegar. Matanya merah dan berair. Betapa tidak, perempuan yang telah menemaninya selama 37 tahun tiba-tiba harus pergi untuk selama-lamanya. Kesehatan fisik yang selama ini terjaga tiba-tiba saja roboh. Tubuhnya menjadi ringkih, dan pikirannya menjadi kalut. Hebat betul tragedy kehilangan itu.

Seorang ahli pesawat terbang tiba-tiba seperti kehilangan karakter ketika istrinya meninggal dunia. Sorot mata yang biasanya gilang-gemilang tiba-tiba saja menjadi redup. Uban mulai menyerang dengan ganas, dan kerap masih merasakan kehadiran istrinya yang telah berpulang itu. Obat pun menjadi vonis, beliau harus menulis.

Kondisi sadar-jaga, kebugaran fisik, ketenangan pikiran, dan ketentraman hati kerapkali hancur berantakan ketika tulang rusuk yang selalu bengkok itu pergi untuk selama-lamanya. Ini bukan tentang candu Venus, tapi soal kecenderungan dan ketentraman jiwa yang tercerabut. Seperti mencabut pohon sekaligus dengan akarnya, jauh melampaui lirik Sabda Alam yang pernah ditulis Ismail Marzuki, karena bukan sekedar “tekuk lutut di sudut kerling”, namun ketika jiwa yang searah telah menyerah pada hidup, maka pijakan itu menjadi goyah.

Bagaimana jika sebaliknya?. Mari kita bertanya kepada Fira Basuki. [ ]

No comments: