Tidak perlu
menuliskan sebuah novel utuh di tulang unta atau di pelapah kurma untuk
menceritakan kepergian Khadijah yang membuat manusia terpercaya begitu
kehilangan. Al Amin benar-benar kehilangan sosok yang pernah menyelimutinya
dikala menggigil sepulang dari berkhalwat di bukit itu. Dari rahim perempuan
yang usianya terpaut 15 tahun itulah beliau mendapatkan empat orang putri yang
begitu disayanginya. Tragedy kehilangan orang-orang tercinta bukan hanya monopoli
manusia-manusia akhir zaman, tapi juga pernah hinggap di manusia pembawa
risalah yang akhirnya mengantarkannya berangkat ke Sidratul Muntaha dan pulang
membawa oleh-oleh ibadah yang sangat istimewa : shalat.
Berjarak
belasan abad kemudian, tragedy kehilangan itu kerapkali berulang menghampiri
umatnya. Sore itu, di kala bola api hendak terbenam di barat, ketika siang
perlahan dijemput malam, seorang perempuan berpulang kepada-Nya. Laki-laki paruh
baya yang setiap hari ditemaninya tiba-tiba kehilangan separuh nyawa. Dia
limbung meskipun telah mencoba untuk tegar. Matanya merah dan berair. Betapa
tidak, perempuan yang telah menemaninya selama 37 tahun tiba-tiba harus pergi
untuk selama-lamanya. Kesehatan fisik yang selama ini terjaga tiba-tiba saja
roboh. Tubuhnya menjadi ringkih, dan pikirannya menjadi kalut. Hebat betul
tragedy kehilangan itu.
Seorang ahli
pesawat terbang tiba-tiba seperti kehilangan karakter ketika istrinya meninggal
dunia. Sorot mata yang biasanya gilang-gemilang tiba-tiba saja menjadi redup. Uban
mulai menyerang dengan ganas, dan kerap masih merasakan kehadiran istrinya yang
telah berpulang itu. Obat pun menjadi vonis, beliau harus menulis.
Kondisi
sadar-jaga, kebugaran fisik, ketenangan pikiran, dan ketentraman hati kerapkali
hancur berantakan ketika tulang rusuk yang selalu bengkok itu pergi untuk
selama-lamanya. Ini bukan tentang candu Venus, tapi soal kecenderungan dan
ketentraman jiwa yang tercerabut. Seperti mencabut pohon sekaligus dengan
akarnya, jauh melampaui lirik Sabda Alam yang pernah ditulis Ismail Marzuki,
karena bukan sekedar “tekuk lutut di sudut kerling”, namun ketika jiwa yang
searah telah menyerah pada hidup, maka pijakan itu menjadi goyah.
Bagaimana jika sebaliknya?. Mari kita bertanya kepada
Fira Basuki. [ ]
No comments:
Post a Comment