26 July 2012

Menyapa Seorang Kawan

Ini kopi sudah kuseduh. Kopi yang sama seperti yang dulu juga, waktu kita meminumnya dari gelas air mineral yang dipotong pisau lipat. Sementara buku-buku tidak tersusun rapi. Bertumpuk di lantai kamar yang berdebu, sebagian di rak kayu yang sudah usang. Tumpukan koran hari minggu mulai menguning, tapi aku pertahankan juga, tak lebih karena di dalamnya ada rubrik budaya yang memuat  cerpen dan beberapa puisi dari pengarang yang tidak semuanya terkenal. Ini aku baca lagi tulisan Pram, yang tak henti-hentinya menghantam. Biar kubacakan padamu kawan :

“Sekali ini aku ingin bicara kepada kalian tentang lembaga yang menjadi pangkal. Mula kehidupan manusia : keluarga!. Payung yang melindungi keturunan manusia daripada hujan dan terik pergaulan hidup. Titik permulaan di mana tiap suami dan isteri mendapat atau tidak mendapat kebahagiaan.”

Sementara aku pun teringat pada tulisan kau di halaman paling belakang buku catatanku yang aku sudah lupa kapan kau menulisnya. Tapi begini kau menulisnya waktu itu :

“Kalau kamu baca tulisan ini, mungkin saya sedang bermesraan dengan istri, atau juga sedang main petak umpet dengan anak saya. Kalau kamu baca lagi tulisan ini, mungkin saya sedang berlibur dengan keluarga ke ladang sawit, atau mungkin saya sedang sibuk membacakan puisi untuk anak saya. Kalau kamu masih nekad baca juga, mungkin saya sedang duduk di teras depan rumah saya, sambil memberi makan ikan, atau mungkin saya sedang memarahi anak saya karena terlambat pulang. Tapi kalau kamu berhenti sampai di sini, berarti kamu masih ingat saya. Masih ingat dengan perburuan buku yang belum usai, dan juga problem perut yang semakin besar.”

Ah Bung, begini rupa waktu telah menyeret kita untuk tunduk pada halaman-halamannya. Pernah suatu saat kau kuolok-olok dengan tulisan, tentang cinta yang gagal, invalid macam Sjahrir dan Tan Malaka. Apakah kau masih ingat apa yang kutulis Bung?. Baiklah, kalau kau sudah lupa, mari kutulis ulang :

“Dan cinta tidak hanya hinggap kepada orang-orang besar saja. Selain di kedua tokoh itu, di kedua bapak bangsa itu, cinta juga mengjangkiti seorang kawan. Apalagi dia seorang laki-laki konservatif yang sering menghabiskan cintanya hanya kepada seorang perempuan saja. Cintanya kepada seorang perempuan bermata sipit yang ditemuinya di sebuah sore yang manis tak sedikit pun goyah. Jarak hanyalah halangan ilusi untuk menyatukan cinta mereka. Bertahun-tahun cinta itu tumbuh, sampai akhirnya jarak mengkhianati. Halangan ilusi itu akhirnya merobohkan getaran semesta hubungan mereka. Keputusan sudah diambil, tali itu mereka putuskan bersama. Dan lagi-lagi tali hanyalah sebuah bullshit, karena ternyata cinta masih mengaliri semesta perasaan. Cinta bukan datang lagi, karena dia tidak pernah benar-benar pergi. Kini dia menemukan lagi lampu sorotnya, matahari perlahan menumbuhkan kembali cinta yang telah lama bersembunyi. Tapi kawanku adalah dia yang sudah tercatat di alam virtual, jauh sebelum waktu itu datang, bahwa dia harus mengalami pahitnya ditinggalkan; perempuan bermata sipit itu ternyata berani mencuri start, dia yang mula-mula naik ke pelaminan dengan seorang maskulin yang berbeda. Kawanku ditinggalkan dengan kepedihan yang muram, pahit, merobohkan perasaannya sampai berderak-derak. Dia invalid. Hujan turun deras waktu aku mendengarkan kisahnya.”

Nah, kau ingat kan sekarang?. Tapi sudahlah, itu masalalu kawan. Mengolah memori memang tidak semudah yang dibayangkan, bagaimana tidak, pasti ada satu atau dua kenangan yang menjadi fosil di tempurung batok kepala kita, bukan?. 

Apa kabar Cikarang?, bukankah itu tidak terlalu jauh dari Bekasi?. Ah, Bekasi. Lagi-lagi kota yang satu ini menyeretku untuk membaca lagi tulisan-tulisan Pram tentang revolusi, tentang tapal batas yang dipertahankan tentara-tentara republik. Kubaca lagi kisah Farid dalam buku ‘Di Tepi Kali Bekasi’. Ya, fragmen dari ‘Kranji-Bekasi Jatuh’ itu begitu menohok titik kesadaran, bahwa selamanya anak-anak muda adalah kaum pelopor yang senantiasa berani mendobrak. 

Tapi jika saja Farid dan kawan-kawannya sekarang masih hidup, tentu darah mereka akan mendidih lagi, kota yang dulu mereka perjuangkan itu kini telah jatuh kembali ke haribaan tangan-tangan asing. Pabrik-pabrik milik Jepang, Amerika, dan Korea memperkerjakan anak-anak bangsa dengan upah sangat menyedihkan. Polusi, ya polusi di mana-mana. Memenuhi paru-paru langit tanahair yang dulu begitu biru gilang-gemilang. 

Oh, apa kabar perburuan buku?. Apakah kau masih berminat pada cerita-cerita bersetting tahun 1800-an?. Tentu buku sakti kau masih ‘Mencari Sarang Angin’ bukan?. Kesibukan kerja barangkali telah menawan kau dari buku-buku yang dulu selalu menggoda itu. Ya, aku pun, kalau kau tahu, telah mulai jauh dengan buku, kawan.  Sudah hampir tiga bulan ini tak satu buku pun aku khatam. Baru-baru ‘Partikel’ Dewi Lestari aku ambil dari Gramedia, tapi nasibnya tak jauh berbeda dengan buku-buku yang lain : tak kubaca benar-benar. Apakah budaya membaca ini akan hilang?, aku begitu mengkhawatirkannya. Tapi barangkali ini hanya masalah waktu, mungkin saat ini waktunya buatku untuk belajar menentukan pilihan, belajar dalam dunia nyata dan untuk sementara istirahat membaca buku. Kau tahu kawan, kini aku tengah berada dalam sebuah persimpangan jalan. Tapi tenang saja, aku masih ingat apa yang ditulis Muhidin dalam memoarnya :

“Kesanggupan memilih, sebagaimana petuah novel ‘Burung-burung Manyar’, mengandaikan suatu kemampuan untuk menimbang, untuk memegang kendali nasib, untuk berkreasi. Sebab siapa berkemampuan untuk memilih, dia mengatasi nasib.”

Kau sendiri bagaimana?, apa kabar puisi merah jambu?, apakah kau masih berpegang teguh pada prinsip-prinsip dasar imajiner club?. Tapi kawan, kau tentu sudah tahu, bahwa menjalani tidak semudah menuliskannya. Banyak betul tikungan tajam yang menuntut konsentrasi, pengendalian emosi, dan terutama mengolah ego. Ah, kawan….sebetulnya masalah meneruskan atau menyudahi sebuah hubungan bukanlah soal emosional, melainkan pandangan visioner ke depan, tentang sikap, tanggungjawab, dan ketentraman. 

Pernah sekali waktu aku menulis, barangkali namanya bukan puisi, atau apapun namanya, tapi beginilah jadinya :

“Saya hanya ingin duduk di bawah pohon rindang
Teduh, angin perlahan hinggap
Kantuk mulai datang dan menyerang     
Dan saya tertidur lelap

Saya tidak perlu yang banyak berkicau
Banyak omong tentang mode, kesetaraan gender, dan kosmetik
Saya tidak butuh yang akan membuat kacau
Ada kiranya yang sederhana, patuh, dan simpatik

Membicarakan perempuan
Berarti berbicara tentang kecenderungan dan ketentraman
Mereka adalah pakaian bagimu
Dan kamu adalah pakaian bagi mereka.”

Dari tadi kita hanya minum kopi saja, kawan. Marilah kita sebatang dulu, sambil melarung segala pahit masalalu, segala kegagalan, atau harapan yang kandas, atau cita-cita yang terbenam sebelum terbit sempurna. [ ]


No comments: