Ini
kopi sudah kuseduh. Kopi yang sama seperti yang dulu juga, waktu kita
meminumnya dari gelas air mineral yang dipotong pisau lipat. Sementara
buku-buku tidak tersusun rapi. Bertumpuk di lantai kamar yang berdebu, sebagian
di rak kayu yang sudah usang. Tumpukan koran hari minggu mulai menguning, tapi
aku pertahankan juga, tak lebih karena di dalamnya ada rubrik budaya yang
memuat cerpen dan beberapa puisi dari pengarang yang tidak semuanya
terkenal. Ini aku baca lagi tulisan Pram, yang tak henti-hentinya menghantam.
Biar kubacakan padamu kawan :
“Sekali
ini aku ingin bicara kepada kalian tentang lembaga yang menjadi pangkal. Mula
kehidupan manusia : keluarga!. Payung yang melindungi keturunan manusia
daripada hujan dan terik pergaulan hidup. Titik permulaan di mana tiap suami
dan isteri mendapat atau tidak mendapat kebahagiaan.”
Sementara
aku pun teringat pada tulisan kau di halaman paling belakang buku catatanku
yang aku sudah lupa kapan kau menulisnya. Tapi begini kau menulisnya waktu itu
:
“Kalau
kamu baca tulisan ini, mungkin saya sedang bermesraan dengan istri, atau juga
sedang main petak umpet dengan anak saya. Kalau kamu baca lagi tulisan ini,
mungkin saya sedang berlibur dengan keluarga ke ladang sawit, atau mungkin saya
sedang sibuk membacakan puisi untuk anak saya. Kalau kamu masih nekad baca
juga, mungkin saya sedang duduk di teras depan rumah saya, sambil memberi makan
ikan, atau mungkin saya sedang memarahi anak saya karena terlambat pulang. Tapi
kalau kamu berhenti sampai di sini, berarti kamu masih ingat saya. Masih ingat
dengan perburuan buku yang belum usai, dan juga problem perut yang semakin
besar.”
Ah
Bung, begini rupa waktu telah menyeret kita untuk tunduk pada
halaman-halamannya. Pernah suatu saat kau kuolok-olok dengan tulisan, tentang
cinta yang gagal, invalid macam Sjahrir dan Tan Malaka. Apakah kau masih ingat
apa yang kutulis Bung?. Baiklah, kalau kau sudah lupa, mari kutulis ulang :
“Dan
cinta tidak hanya hinggap kepada orang-orang besar saja. Selain di kedua tokoh
itu, di kedua bapak bangsa itu, cinta juga mengjangkiti seorang kawan. Apalagi
dia seorang laki-laki konservatif yang sering menghabiskan cintanya hanya
kepada seorang perempuan saja. Cintanya kepada seorang perempuan bermata sipit
yang ditemuinya di sebuah sore yang manis tak sedikit pun goyah. Jarak hanyalah
halangan ilusi untuk menyatukan cinta mereka. Bertahun-tahun cinta itu tumbuh,
sampai akhirnya jarak mengkhianati. Halangan ilusi itu akhirnya merobohkan
getaran semesta hubungan mereka. Keputusan sudah diambil, tali itu mereka
putuskan bersama. Dan lagi-lagi tali hanyalah sebuah bullshit, karena
ternyata cinta masih mengaliri semesta perasaan. Cinta bukan datang lagi,
karena dia tidak pernah benar-benar pergi. Kini dia menemukan lagi lampu
sorotnya, matahari perlahan menumbuhkan kembali cinta yang telah lama
bersembunyi. Tapi kawanku adalah dia yang sudah tercatat di alam virtual, jauh
sebelum waktu itu datang, bahwa dia harus mengalami pahitnya ditinggalkan;
perempuan bermata sipit itu ternyata berani mencuri start, dia yang mula-mula
naik ke pelaminan dengan seorang maskulin yang berbeda. Kawanku ditinggalkan
dengan kepedihan yang muram, pahit, merobohkan perasaannya sampai berderak-derak.
Dia invalid. Hujan turun deras waktu aku mendengarkan kisahnya.”
Nah,
kau ingat kan sekarang?. Tapi sudahlah, itu masalalu kawan. Mengolah memori
memang tidak semudah yang dibayangkan, bagaimana tidak, pasti ada satu atau dua
kenangan yang menjadi fosil di tempurung batok kepala kita, bukan?.
Apa
kabar Cikarang?, bukankah itu tidak terlalu jauh dari Bekasi?. Ah, Bekasi.
Lagi-lagi kota yang satu ini menyeretku untuk membaca lagi tulisan-tulisan Pram
tentang revolusi, tentang tapal batas yang dipertahankan tentara-tentara
republik. Kubaca lagi kisah Farid dalam buku ‘Di Tepi Kali Bekasi’. Ya, fragmen
dari ‘Kranji-Bekasi Jatuh’ itu begitu menohok titik kesadaran, bahwa selamanya
anak-anak muda adalah kaum pelopor yang senantiasa berani mendobrak.
Tapi
jika saja Farid dan kawan-kawannya sekarang masih hidup, tentu darah mereka
akan mendidih lagi, kota yang dulu mereka perjuangkan itu kini telah jatuh
kembali ke haribaan tangan-tangan asing. Pabrik-pabrik milik Jepang, Amerika,
dan Korea memperkerjakan anak-anak bangsa dengan upah sangat menyedihkan.
Polusi, ya polusi di mana-mana. Memenuhi paru-paru langit tanahair yang dulu
begitu biru gilang-gemilang.
Oh,
apa kabar perburuan buku?. Apakah kau masih berminat pada cerita-cerita
bersetting tahun 1800-an?. Tentu buku sakti kau masih ‘Mencari Sarang Angin’
bukan?. Kesibukan kerja barangkali telah menawan kau dari buku-buku yang dulu
selalu menggoda itu. Ya, aku pun, kalau kau tahu, telah mulai jauh dengan buku,
kawan. Sudah hampir tiga bulan ini tak satu buku pun aku khatam.
Baru-baru ‘Partikel’ Dewi Lestari aku ambil dari Gramedia, tapi nasibnya tak
jauh berbeda dengan buku-buku yang lain : tak kubaca benar-benar. Apakah budaya
membaca ini akan hilang?, aku begitu mengkhawatirkannya. Tapi barangkali ini
hanya masalah waktu, mungkin saat ini waktunya buatku untuk belajar menentukan
pilihan, belajar dalam dunia nyata dan untuk sementara istirahat membaca buku.
Kau tahu kawan, kini aku tengah berada dalam sebuah persimpangan jalan. Tapi
tenang saja, aku masih ingat apa yang ditulis Muhidin dalam memoarnya :
“Kesanggupan
memilih, sebagaimana petuah novel ‘Burung-burung Manyar’, mengandaikan suatu
kemampuan untuk menimbang, untuk memegang kendali nasib, untuk berkreasi. Sebab
siapa berkemampuan untuk memilih, dia mengatasi nasib.”
Kau
sendiri bagaimana?, apa kabar puisi merah jambu?, apakah kau masih berpegang
teguh pada prinsip-prinsip dasar imajiner club?. Tapi kawan, kau tentu sudah
tahu, bahwa menjalani tidak semudah menuliskannya. Banyak betul tikungan tajam
yang menuntut konsentrasi, pengendalian emosi, dan terutama mengolah ego. Ah,
kawan….sebetulnya masalah meneruskan atau menyudahi sebuah hubungan bukanlah
soal emosional, melainkan pandangan visioner ke depan, tentang sikap,
tanggungjawab, dan ketentraman.
Pernah
sekali waktu aku menulis, barangkali namanya bukan puisi, atau apapun namanya,
tapi beginilah jadinya :
“Saya
hanya ingin duduk di bawah pohon rindang
Teduh,
angin perlahan hinggap
Kantuk
mulai datang dan menyerang
Dan
saya tertidur lelap
Saya
tidak perlu yang banyak berkicau
Banyak
omong tentang mode, kesetaraan gender, dan kosmetik
Saya
tidak butuh yang akan membuat kacau
Ada
kiranya yang sederhana, patuh, dan simpatik
Membicarakan
perempuan
Berarti
berbicara tentang kecenderungan dan ketentraman
Mereka
adalah pakaian bagimu
Dan
kamu adalah pakaian bagi mereka.”
Dari
tadi kita hanya minum kopi saja, kawan. Marilah kita sebatang dulu, sambil
melarung segala pahit masalalu, segala kegagalan, atau harapan yang kandas, atau
cita-cita yang terbenam sebelum terbit sempurna. [ ]
No comments:
Post a Comment