"Kalau kau tak mampu menjadi beringin yang tegak di puncak bukit
Jadilah belukar, tetapi belukar yang baik, yang tumbuh di tepi danau
Kalau kamu tak sanggup menjadi belukar
Jadilah saja rumput, tetapi rumput yang memperkuat tanggul pinggiran jalan
Kalau engkau tak mampu menjadi jalan raya
Jadilah saja jalan kecil, tetapi jalan setapak yang membawa orang ke mata air
Tidaklah semua menjadi kapten
Tentu harus ada awak kapalnya
Bukan besar kecilnya tugas yang menjadikan tinggi rendahnya nilai dirimu
Tapi jadilah saja dirimu
Sebaik-baiknya dari dirimu sendiri."
Puisi
tersebut di atas berjudul “Kerendahan Hati” yang disebut-sebut sebagai
karangan penyair Taufiq Ismail. Dan gawatnya puisi tersebut dicurigai
sebagai jiplakan dari puisi berbahasa Inggris yang berjudul “Be the
Best of Whatever You Are” karangan Douglas Malloch. Maka ramailah
gonjang-ganjing, gossip berhembus bagai api membakar rumput kering di
kalangan para peminat, pemerhati, dan pelaku sastra, bahwa Taufiq
Ismail, penyair sepuh yang pernah menulis puisi pamflet di era
menjelang kejatuhan Soekarno, yaitu “Tirani”dan “Benteng” itu sebagai
seorang plagiator, penjiplak yang memalukan langit Sastra Indonesia.
Yang
pertamakali menarik pelatuk adalah Bramantyo Prijosusilo, seorang
seniman dari Yogyakarta yang baru-baru ini sempat konflik dengan
Majelis Mujahidin Indonesia. Di dinding facebooknya, Bramantyo
Prijosusilo menulis dengan keras :
“Kabarkan
kepada dunia, penyair jahat Taufiq Ismail yang suka menekan-nekan
seniman muda dengan cara-cara selintutan, adalah plagiator
tuna-budaya.”
Bramantyo juga menulis di rimbunan komentar statusnya di atas bahwa seseorang memberitahunya bahwa Taufiq Ismail “njiplak
dan karena aku sebel dengan kelakuan dia nggencet-nggencet Lekra,
bahkan terakhir orang-orang eks Bumi Tarung yang sudah sepuh-sepuh mau
dikerjainya. Jadi, kuumumkan sebisaku bahwa Ismail ini memang otak
kurap.”
“Status” Bramantyo itu mengundang
beragam komentar. Salah satunya aktivis Partai Gerindra dan sekaligus
keponakanTaufiq Ismail, Fadli Zon. Lalu susul-menyusul
komentar-komentar lainnya. Menurut pengamat Sastra Indonesia, Katrin
Bandel, seperti tertulis di dinding facebooknya : “Jelas tidak
sah dan tidak etis kalau diakui sebagai karya sendiri. Judul puisi
memang tidak sama, mungkin agar tidak mudah ketahuan. Ironisnya, judul
puisi Taufik justru : ‘Kerendahan Hati’. Hahahaha,” jelas Katrin. Sedangkan perupa Dadang Christanto berkomentar “Jika
benar tuduhan itu, maka penyair Taufiq Ismail adalah seniman pecundang
dan tak mengherankan kreativitas dan tindakannya mencerminkan
kepencudangannya itu.” Dan masih banyak lagi komentar-komentar pedas yang menghantam harga diri Taufiq Ismail.
Gerah
dengan serangan bertubi-tubi yang menyembelih harga dirinya, maka
tepat tanggal 2 April 2011, Taufiq Ismail melakukan serangan balik
kepada para penuduhnya. Salah satu sasaran tembaknya adalah Bramantyo
Prijosusilo.
Di paragraph akhir pembelaannya Taufiq Ismail menulis : “Dalam
kasus saya dikelirukan dengan Malloch, saya dicaci-maki oleh
facebookers yang salah tuduh. Saya tidak terima dinista sedemikian.
Saya akan membawa ini ke ranah hukum, dengan mengadukan Bramantyo
Prijosusilo ke Kepolisian RI, agar dia diproses sesuai dengan
undang-undang yang berlaku dalam hal pencemaran nama baik. Saya meminta
bantuan pengacara sastrawan Suparwan Parikesit SH dan aktivis kampus
Abrori SH, dengan saksi pelukis Hardi dan Budayawan Fadli Zon.”
Lihat,
betapa kata-kata yang dihamburkan secara serampangan telah mengundang
ledakan. Semuanya telah mencapai titik didih. Emosi dilawan dengan
emosi, hingga direncanakan harus melibatkan Kepolisian. Tapi untunglah,
sebelum berkas gugatan Taufiq Ismail itu sampai di meja Kepolisian,
Bramantyo akhirnya meminta maaf dan akhirnya keduanya berdamai dengan
hangat. Di situs berita digital detik.com terlihat Taufiq Ismail
berpelukan dengan Bramantyo. Mereka berdua telah memilih jalan
kebaikan.
Ya, seperti juga kata Khaled Hosseini dalam
novel ‘The Kite Runner’, dia menulis : “Selalu ada jalan untuk kembali
menuju kebaikan.” [ ]
No comments:
Post a Comment