Setiapkali jam kerja selesai, yang dia tahu hanyalah pulang. Pulang
ke rumah sederhana itu, disambut istri dan anak-anaknya yang manis. Dia sudah
meninggalkan masa-masa mudanya yang penuh dengan gejolak, gelisah, cemas, dan
ketidakpastian. Ketika dia menikah, surga mini segera menyambutnya. Firdaus itu
ternyata tidak dibangun dari retorika, tapi dari keluarga yang hangat oleh
saling pengertian, yang membuatnya merasa enggan untuk menghabiskan waktu di
luar rumah. Kebahagiaan dia gali dari mataair yang mengalir jernih di sela-sela
komunikasi dengan istri dan anak-anaknya. Atau bahkan ketika dia diam, hanya
merasakan sejuknya ketika anak-anaknya belajar ngaji, memperebutkan buku
cerita, dan bermain di bawah pelukan hujan. Waktu istrinya mengandung, dia tak
pernah banyak berjanji, hanya menemani dan melindunginya dengan tulus.
Kawan-kawannya mulai banyak yang kecewa, karena dia sudah
tidak bisa lagi diajak olah vocal di ruangan berpendingin, nongkrong
berlama-lama di warung kopi, atau hanya sekedar menghabiskan sebatang cigarette
di ujung sore. Dia sudah meninggalkan semuanya. Kini rute kehidupan
sehari-harinya begitu sederhana : rumah – tempat kerja – mesjid. Hanya sesekali
saja dia pergi ke toko buku untuk membeli beberapa buah cerita anak sebagai
hadiah kecil bagi anak-anaknya yang manis.
Setiapkali kawan-kawannya bertanya, “ko lu ga ikut?”, dia
pasti menjawab, “mau main sama anak gw.”
Maka di sebuah sore yang baru saja tinggalkan rintik hujan, tidak
jauh dari tanah lapang, dia mendapati dirinya tengah menemani anaknya yang
sedang belajar sepeda. Sambil berjalan pelan, dia memegang stang dan jok,
sedangkan anaknya tertatih mengayuh pedal. Ketika tangannya dilepaskan dari
stang dan jok, dan keseimbangan anaknya belum terjaga, maka sepeda berjalan oleng
sebelum akhirnya terhenti di tanah lapang yang sedikit basah. Anaknya terjatuh
ke rumput ketika dia berusaha mengejar sepeda.
Dari dulu dia tidak pernah bisa romantic, tapi setiapkali
anaknya yang masih bayi terbangun di malam hari karena pipis, dia begitu
cekatan mengganti popok dan menidurkannya kembali, sementara istrinya terlelap
karena lelah setelah seharian mengurus anak. Saat pagi datang dengan tergesa,
matanya masih merah, tapi senyum itu masih tersisa.
Jika surga kelak, tempat yang dijanjikan itu hanya
diperuntukkan bagi mereka yang telah berhasil melewati bermacam-macam ujian
dari Tuhan, maka apakah bisa dianalogikan dengan perjalanan menuju keluarga
yang menentramkan?. Apakah memang sama harus melewati dulu rute yang panjang,
penuh cadas, dan jurang menganga di kanan-kirinya?. Ah, entahlah. Lebih baik
menyeduh kopi dan membakar cigarette saja. Oh tidak, saya sudah berhenti
berkawan asap. [ ]
No comments:
Post a Comment