30 July 2012

20 - Kemanakah Sang Juara Itu?

Hampir dua tahun yang lalu, tepatnya tanggal 24 Agustus 2010, serial Olva mulai aku tulis. Aku tidak peduli orang menyebut catatan ini sebagai apa. Kenyataannya, catatan ini  memang paduan antara fakta dan fiksi, kubumbui dengan puisi merah jambu, kutipan buku, dan emosi yang turun-naik laksana iman seseorang. Kini sudah masuk Ramadhan ketiga semenjak catatan ini aku mulai. Kalimat-kalimat suci masih merambati tiang-tiang mesjid dan melesat ke langit. Sementara aku masih kedodoran di surat A-An’am (Hewan Ternak). Payah sekali tahun ini. Tahun-tahun ke belakang, di hari kesepuluh, biasanya sudah hampir sampai di pertengahan kitab suci. Seorang kawan, Bung Marjo, yang dulu sengit berkompetisi denganku untuk segera sampai di An-Naas, ke penghujung mukjizat ini, sekarang tak ada kabar. Sang juara seperti hilang. Begitu juga aku.

Aku merasa lelah, entah kenapa. Mungkin karena sudah semakin tua, atau pengalaman yang mendera akhir-akhir ini. Langit di dalam jiwa tidak begitu cerah. Aku bukan seorang melankolik, tapi  tidak pernah mau jika prinsipku menjadi goyang dan roboh berderak-derak. Biar saja Sigmund Freud berkhotbah tentang ego, tahu apa dia tentang aku?. Mungkin orang menyebut aku sentiment, tapi aku selalu berpihak kepada para pemberani. Ya, para pemberani yang tegak menghadapi setiap tanda tanya hidup. Busur boleh sama, tapi anak panah akan melesat ke tempat yang berbeda-beda. Dengan bakcsound suara The Panasdalam yang bernyanyi berulang-ulang, aku lanjutkan catatanku.

***    

Olva. Ah, apa kabar dia?. Langit Surabaya barangkali masih menjadi atapnya. Sekali-kali aku masih mengingatnya dalam wujud yang paling sederhana : perempuan berbaju biru. Atau bahkan dalam kontruksinya yang paling menawan, yakni sebagai perempuan yang pernah membuatku kelebihan energi dan daya hidup. Baru-baru aku membaca Partikel dari serial Supernova yang ditulis Dewi Lestari, kutemukan pamafrasa ini : “Akhirnya kumengerti betapa rumitnya kontruksi batin manusia. Betapa sukarnya manusia menanggalkan bias, menarik batas antara masa lalu dan masa sekarang. Aku kini percaya, manusia dirancang untuk terluka.”

Tapi walau bagaimanapun masa lalu menggerayangi tempurung ingatan yang berarak di awan otak, aku tidak mau menjadi kereta tua. Telah kucoba untuk---atau mungkin tidak sengaja---jatuh cinta lagi pada perempuan. Sekali waktu datanglah seorang perempuan yang bermata juara. Usianya masih relative muda, dan meteor yang membedaki langit melankoli tidak pernah memilih usia. Aku gembung dengan perasaan yang bercorak indah pelangi. Aku layangkan sebuah pandangan tajam, tapi memang aku bukan ahli strategi dalam urusan yang satu ini. Dia menghindar dalam gradasi sikap yang tidak dapat aku mengerti. Kalau kata seorang kawan, Bung Erlan, perempuan adalah ilmu pengetahuan, barangkali dia benar, sebab tidak kutemukan titik koordinatnya di perpustakaan. Aku hanya belajar otodidak, dan ternyata dalam definisi yang sederhana, akhirnya dapat aku uraikan.

Kemudian waktu tidak pernah sama lagi setelah itu. Dalam kanal tersembunyi ranah maya, datang lagi seorang keturunan Hawa.  Proses menuju titik kulminasi, atau bahkan titik nadir, selalu saja diawali dengan gila. Pertahanan manusia dirancang seperti itu. Pada titik permulaan, yang menjadi konsentrasi adalah soal memakai baju, urusan baju itu ukurannya cukup atau tidak, warnanya sesuai atau tidak, semuanya akan terjadi di hilir, di aliran yang telah berjalan seiring waktu. Di hulu, yang terjadi hanya taburan cahaya yang kerap membutakan mata. Dan itu indah. Di pertahanan terlemahnya manusia merayakan jatuh cinta. Berjuta janji dan resolusi berhamburan dengan mudah. Dunia seolah diciptakan hanya untuk berdua. Klise memang. Tapi siapa yang sanggup menghindar dari langit merah jambu yang cahayanya berpendaran menembus batas-batas saturasi jiwa?.

Hanya kesadaran tentang masa depan yang akhirnya menghentikan puisi itu. Aku terdiam di kamarku yang berantakan. Aku nanar menimbang pikiran dan perasaan. Aku tahu, aku dilahirkan untuk tidak takut mengambil keputusan. Dan keluarlah ultimatum itu. Olva edisi ketiga ini, yang aku kerap memanggilnya Wangihujan, juga ternyata berani mengambil keputusan. Aku apresiasi langkahnya, dan kami pun berkemas-kemas. Sekali waktu, dia pernah memberiku sebuah buku catatan yang cantik. Dalam emosi yang telah terakumulasi, di buku catatan yang dia berikan itu, aku menulis : 

“Tapi cinta bukan perjalanan satu jiwa, jadi bukan siapa menguji siapa, melainkan proses membangun saling pengertian. Sering mengalah sesungguhnya bukan sebuah bentuk kasih sayang, tapi dendam yang ditanam dengan hati-hati untuk dipanen pada suatu hari nanti. Jadi jangan terlampau senang jika merasa sering menang. Lihat ke dalam dan pelan-pelan berpikirlah. Jika tahu itu duri kenapa terus dimakan?. Bukankah nanti akan nyangkut di tenggorokan?. “

Setelah catatan emosional itu, pernah juga aku menulis dengan sepenuh tulus. Aku berusaha menjernihkan segalanya. Aku menulis begini :

“Aku datang dengan niat baik. Juga catatan ini. Kejujuran terkadang terasa pahit, tapi yakinlah bahwa dia akan menyembuhkan. Lebih baik kita limbung di pantai daripada karam ketika bahtera telah dilayarkan. Apakah kamu akan ikut dengan perahuku?. Itu sepenuhnya menjadi hak kamu.”

*** 

Ada yang bergetar hebat entah di mana, waktu dia pada hari itu, sore itu, memberi kabar bahwa di hari ketika para pekerja mainstream tengah merayakan libur, dia justru berangkat dalam balutan serba biru. “Demi kamu”, katanya. Ah, terdengar manis sekali. Aku tidak mau berprasangka buruk. Aku hanya tahu bahwa ketulusan selalu ingin aku balas dengan ketulusan, tak peduli meskipun dia hanya memakai baju biru saja.

Tapi satu hal, aku tidak mau membuat puisi merah jambu yang picisan tentang kenangan, yang seolah-olah aku manusia bijak yang penuh simpatik. Tidak, aku tidak mau melakukan itu. Aku sadar, aku telah invalid. Aku telah mengecewakan Wangihujanku. Dan oleh karena itu aku pantas untuk dibenci. [ ]

No comments: