Hampir dua tahun yang lalu, tepatnya tanggal 24 Agustus 2010,
serial Olva mulai aku tulis. Aku tidak peduli orang menyebut catatan ini
sebagai apa. Kenyataannya, catatan ini
memang paduan antara fakta dan fiksi, kubumbui dengan puisi merah jambu,
kutipan buku, dan emosi yang turun-naik laksana iman seseorang. Kini sudah
masuk Ramadhan ketiga semenjak catatan ini aku mulai. Kalimat-kalimat suci masih
merambati tiang-tiang mesjid dan melesat ke langit. Sementara aku masih
kedodoran di surat A-An’am (Hewan Ternak). Payah sekali tahun ini. Tahun-tahun
ke belakang, di hari kesepuluh, biasanya sudah hampir sampai di pertengahan
kitab suci. Seorang kawan, Bung Marjo, yang dulu sengit berkompetisi denganku
untuk segera sampai di An-Naas, ke penghujung mukjizat ini, sekarang tak ada
kabar. Sang juara seperti hilang. Begitu juga aku.
Aku merasa lelah, entah kenapa. Mungkin karena sudah semakin
tua, atau pengalaman yang mendera akhir-akhir ini. Langit di dalam jiwa tidak
begitu cerah. Aku bukan seorang melankolik, tapi tidak pernah mau jika prinsipku menjadi goyang
dan roboh berderak-derak. Biar saja Sigmund Freud berkhotbah tentang ego, tahu
apa dia tentang aku?. Mungkin orang menyebut aku sentiment, tapi aku selalu
berpihak kepada para pemberani. Ya, para pemberani yang tegak menghadapi setiap
tanda tanya hidup. Busur boleh sama, tapi anak panah akan melesat ke tempat
yang berbeda-beda. Dengan bakcsound suara The Panasdalam yang bernyanyi
berulang-ulang, aku lanjutkan catatanku.
***
Olva. Ah, apa kabar dia?. Langit Surabaya barangkali masih
menjadi atapnya. Sekali-kali aku masih mengingatnya dalam wujud yang paling
sederhana : perempuan berbaju biru. Atau bahkan dalam kontruksinya yang paling
menawan, yakni sebagai perempuan yang pernah membuatku kelebihan energi dan
daya hidup. Baru-baru aku membaca Partikel dari serial Supernova yang ditulis
Dewi Lestari, kutemukan pamafrasa ini : “Akhirnya kumengerti betapa rumitnya
kontruksi batin manusia. Betapa sukarnya manusia menanggalkan bias, menarik
batas antara masa lalu dan masa sekarang. Aku kini percaya, manusia dirancang
untuk terluka.”
Tapi walau bagaimanapun masa lalu menggerayangi tempurung
ingatan yang berarak di awan otak, aku tidak mau menjadi kereta tua. Telah
kucoba untuk---atau mungkin tidak sengaja---jatuh cinta lagi pada perempuan.
Sekali waktu datanglah seorang perempuan yang bermata juara. Usianya masih
relative muda, dan meteor yang membedaki langit melankoli tidak pernah memilih
usia. Aku gembung dengan perasaan yang bercorak indah pelangi. Aku layangkan
sebuah pandangan tajam, tapi memang aku bukan ahli strategi dalam urusan yang
satu ini. Dia menghindar dalam gradasi sikap yang tidak dapat aku mengerti. Kalau
kata seorang kawan, Bung Erlan, perempuan adalah ilmu pengetahuan, barangkali
dia benar, sebab tidak kutemukan titik koordinatnya di perpustakaan. Aku hanya
belajar otodidak, dan ternyata dalam definisi yang sederhana, akhirnya dapat
aku uraikan.
Kemudian waktu tidak pernah sama lagi setelah itu. Dalam
kanal tersembunyi ranah maya, datang lagi seorang keturunan Hawa. Proses menuju titik kulminasi, atau bahkan
titik nadir, selalu saja diawali dengan gila. Pertahanan manusia dirancang
seperti itu. Pada titik permulaan, yang menjadi konsentrasi adalah soal memakai
baju, urusan baju itu ukurannya cukup atau tidak, warnanya sesuai atau tidak,
semuanya akan terjadi di hilir, di aliran yang telah berjalan seiring waktu. Di
hulu, yang terjadi hanya taburan cahaya yang kerap membutakan mata. Dan itu
indah. Di pertahanan terlemahnya manusia merayakan jatuh cinta. Berjuta janji
dan resolusi berhamburan dengan mudah. Dunia seolah diciptakan hanya untuk
berdua. Klise memang. Tapi siapa yang sanggup menghindar dari langit merah
jambu yang cahayanya berpendaran menembus batas-batas saturasi jiwa?.
Hanya kesadaran tentang masa depan yang akhirnya
menghentikan puisi itu. Aku terdiam di kamarku yang berantakan. Aku nanar
menimbang pikiran dan perasaan. Aku tahu, aku dilahirkan untuk tidak takut
mengambil keputusan. Dan keluarlah ultimatum itu. Olva edisi ketiga ini, yang
aku kerap memanggilnya Wangihujan, juga ternyata berani mengambil keputusan. Aku
apresiasi langkahnya, dan kami pun berkemas-kemas. Sekali waktu, dia pernah
memberiku sebuah buku catatan yang cantik. Dalam emosi yang telah terakumulasi,
di buku catatan yang dia berikan itu, aku menulis :
“Tapi cinta bukan perjalanan satu jiwa, jadi bukan siapa
menguji siapa, melainkan proses membangun saling pengertian. Sering mengalah
sesungguhnya bukan sebuah bentuk kasih sayang, tapi dendam yang ditanam dengan
hati-hati untuk dipanen pada suatu hari nanti. Jadi jangan terlampau senang
jika merasa sering menang. Lihat ke dalam dan pelan-pelan berpikirlah. Jika
tahu itu duri kenapa terus dimakan?. Bukankah nanti akan nyangkut di
tenggorokan?. “
Setelah catatan emosional itu, pernah juga aku menulis
dengan sepenuh tulus. Aku berusaha menjernihkan segalanya. Aku menulis begini :
“Aku datang dengan niat baik. Juga catatan ini. Kejujuran
terkadang terasa pahit, tapi yakinlah bahwa dia akan menyembuhkan. Lebih baik
kita limbung di pantai daripada karam ketika bahtera telah dilayarkan. Apakah
kamu akan ikut dengan perahuku?. Itu sepenuhnya menjadi hak kamu.”
***
Ada yang bergetar hebat
entah di mana, waktu dia pada hari itu, sore itu, memberi kabar bahwa di hari
ketika para pekerja mainstream tengah merayakan libur, dia justru berangkat
dalam balutan serba biru. “Demi kamu”, katanya. Ah, terdengar manis sekali. Aku
tidak mau berprasangka buruk. Aku hanya tahu bahwa ketulusan selalu ingin aku
balas dengan ketulusan, tak peduli meskipun dia hanya memakai baju biru saja.
Tapi satu hal, aku tidak mau membuat puisi merah jambu yang picisan tentang kenangan, yang seolah-olah aku manusia bijak yang penuh simpatik. Tidak, aku tidak mau melakukan itu. Aku sadar, aku telah invalid. Aku telah mengecewakan Wangihujanku. Dan oleh karena itu aku pantas untuk dibenci. [ ]
Tapi satu hal, aku tidak mau membuat puisi merah jambu yang picisan tentang kenangan, yang seolah-olah aku manusia bijak yang penuh simpatik. Tidak, aku tidak mau melakukan itu. Aku sadar, aku telah invalid. Aku telah mengecewakan Wangihujanku. Dan oleh karena itu aku pantas untuk dibenci. [ ]
No comments:
Post a Comment