Jakarta dikepung. Jakarta panen sampah. Mesin politik calon
Gubernur seperti kerasukan siluman sampah. Apa yang terbebas dari sampah
spanduk, stiker, baliho, umbul-umbul, poster, dan bendera?. Semua tempat
dijajah : tong sampah, halte, pohon, jembatan penyeberangan, dinding rumah,
angkutan umum, tiang listrik, gapura,
gerobak pedagang kaki lima, pagar rumah dan perkantoran. Seandainya bus
Transjakarta berhenti cukup lama, niscaya akan menjadi korban juga.
Orang-orang menyebutnya pesta demokrasi, tapi sebenarnya
pesta sampah juga. Janji-janji memperbaiki ibu kota menjadi paradoks yang
sangat telanjang ketika janji-janji itu justru disampaikan dengan mengotori
jantung dan pinggiran kota. Mesin politik berjalan kencang dan semakin panas.
Saling intimidasi tak terelakkan. Kampanye hitam dan saling sindir mulai
berhamburan.
Siapa yang tidak tergiur Jakarta. Tempat di mana uang
berputar sedemikian besar dan kencang. Tempat di mana wilayah di pinggir pulau
Jawa ini seakan-akan gula bagi jutaan pendatang yang berduyun-duyun mengadu
nasib seperti parade semut. Tata kelola memang menjadi tantangan, tidak mudah
mengatur multi etnis, multi agama, multi profesi, dan multi kepentingan. Di
sisi lain demokrasi diterjemahkan dengan begitu sederhana tanpa melihat
masyarakat yang mulai tidak nyaman dengan pesta lima tahunan ini.
Di wilayah teknis, demokrasi kita masih bersikap puber.
Setelah terlepas dari rezim otoriter yang tertutup, maka era keterbukaan begitu
bergairah dan nyaris serampangan. Masyarakat digiring oleh pendidikan
pencitraan, kultus tokoh, dan modal nama besar. Kondisi ini hampir saja membuat
partai sulit dibedakan dengan fans club. Pemimpin diproyeksikan oleh iklan,
kamuflase seremonial, klaim keberhasilan, dan tentu saja dengan dana yang tidak
sedikit.
Pendidikan politik di tingkat akar rumpur nyaris tidak ada. Underbouw-underbouw
partai sangat jarang yang berjalan dengan solid dan konsisiten. Multi partai
nyaris mubazir karena yang bertambah hanyalah logo partai, pahlawan kesiangan,
dan kerja KPU yang semakin menumpuk karena harus memverifikasi data. Semakin
lama masyarakat semakin diposisikan sebagai penonton yang kian muak dengan
segala manuver dan tawar-menawar politik.
Mesin politik yang sekarang tengah bekerja di Jakarta tak
ubahnya sebagai pasukan siluman yang bergiat menebar sampah, kepanjangan lidah,
atau barangkali pembibitan pendidikan politik?.
Yang jelas setiap pagi, ketika saya melewati gang-gang padat
penduduk itu, pemandangannya tampak begitu homogen tentang kaos kodian bergambar
dua orang manusia, tebaran stiker, teror spanduk, dan janji-janji yang sangat
manis.
Selamat berpesta Jakarta. Jangan lupa bersihkan sampahnya. [
]
No comments:
Post a Comment