05 July 2012

Penyakit Gila Entah Nomor Berapa

Warnet di Gegerkalong memang punya selera humor yang rendah, dibuatnya cacatan saya raib dalam selubung kabel data yang menguap entah ke mana. Siang, atau tepatnya menjelang siang, karena matahari masih bisa dibaca dari hangat sinarnya dan garis bayangan pohon. Catatan yang sengaja saya bawa dalam benda mungil berkapasitas 2GB isinya tak jauh dari kumpulan cerita yang tak selesai, jahitan aforisme yang tak orisinil, kontemplasi dangkal, dan deretan paragraph kisah yang absurd. Niatnya mau saya posting di blog, tapi virus di warnet itu memang goblog, nama file word tiba-tiba berubah seperti huruf sirilik kebanggan kaum Bolshevik. File word tidak terbaca dan intruksi di layar monitor buram meminta untuk dihapus. Ancamannya klasik : tak dibuang, benda kecil 2GB punyamu akan mengidap penyakit menahun. Maka pulang dari warnet seperti pulang dari kuburan, hanya untuk membuang anak rohani yang dilahirkan di tengah-tengah kesibukan menjadi jongos bagi kaum pembeli tiket di bandara. 

Satu tahun sebelumnya ada kekonyolan tak terkira : saya membakar tiga buah buku catatan harian sendiri. Bagi oranglain isi buku catatan harian itu mungkin sama konyolnya dengan kelakuan saya, tapi mereka tidak tahu cerita di balik semua catatan itu. Lalu kenapa saya membakarnya? : lagi-lagi karena ada kisah purba di sana. Api melahap berlembar-lembar kertas yang habis dinodai tinta. Di dapur, di rumah yang pernah menadah ari-ariku, di depan tungku pembakaran, buku keluaran Sinar Dunia dan Mirage meregang nyawa dalam hawu berlobang dua. Lidah api mengunyah kertas dengan cepat, lalu sebentar menjadi bara yang rapuh, sebelum akhirnya menyentuh titik mengenaskan : abu.

Katanya dia pernah menulis di majalah kampus, waktu masih berjaya dengan jaket kuning, walaupun statusnya hanya jaket kuning dari kakak tiri berlogo Makara. Lihat, saya seperti orang pengagum penyamaran, padahal akan lebih gampang kalau menyebut : “dia pernah menulis di majalah kampus waktu masih kuliah di Politeknik UI.” Ya, kakak saya pernah menulis di majalah kampus beberapa jam setelah terjadi bentrok fisik antar Fakultas dalam haribaan (POM) Pekan Olaharaga Mahasiswa. Peristiwa yang terdengar tidak istimewa sebenarnya, dari dulu mahasiswa telah terkurung berbagai garis batas yang diciptakan secara turun-temurun : gengsi Fakultas, Jurusan, Himpunan, dan berhala-berhala primordial lainnya. Judul tulisannya lumayan provokatif : “Mahasiswa UI Dilanda Gejala Vandalisme”.

Kurang lebih lima tahun setelah tulisan itu lahir, saya sempat bertanya : “Kenapa orang-orang suka menulis?”. Dia menjawab, “Karena setiap yang kamu tulis akan terasa nikmat ketika kamu baca kembali beberapa tahun ke depannya setelah tulisan itu lahir.” Benarkah demikian??.

Ah, tapi lupakan saja, saya dan dia berbeda generasi. Tapi diam-diam seperti ada yang terbenam di dalam pikiran, seperti kayu puspa yang terbenam dalam lumpur pekat, seperti proyektil nyasar yang membelesak ke dalam sudut terdalam organ. Perlahan saya menjadi mencintai tulisan. Pertama mencoba, kedua mencoba, ketiga mencoba, lalu ketagihan. Seperti candu, laksana opium di pegunungan Afghanistan. Tapi memang harus diiringi dengan membaca, sebab “kalau tak ada yang kau baca, lalu apa yang mau kau tulis?”. Opium perlahan menjadi semacam penyakit gila (terdengar tidak orisinal—Belitong mode on), saya keranjingan meyimpan dan mengarsipkan catatan. Masih jelas dalam ingatan bagaimana catatan-catatan itu kemudian berserakan dalam banyak blog. Ada minat yang tidak kecil setiapkali menulis, setiapkali melahirkan bayi-bayi prematur, mereka selalu menarik dengan kuat untuk diperhatikan dan dirawat. 

Gejala repost atau memposting ulang catatan adalah lukisan jalan di tempat, produktifitas mandul, mogok akut, atau pergerakan lempeng kayu puspa yang berusaha ingin naik ke permukaan, ingin melawan lumpur pekat yang telah membenamkannya selama bertahun-tahun. Laksana odong-odong yang ditinggalkan bocah, maka malas menulis pun tak lebih seperti itulah. [ ]


No comments: