Orang-orang
memanggilnya Darman, tapi saya selalu memakai embel-embel mang (paman),
meskipun sebenarnya dia bukan adik kandung ibu atau pun bapak saya,
tapi yang jelas dia masih saudara saya, bahkan rumahnya pun sangat
berdekatan dengan rumah saya. Maka tak heran jika saya sering main ke
rumahnya dan masuk ke kamarnya untuk melihat-lihat koleksi buku yang
cukup banyak, ada buku Emha Ainun Nadjib di sana. Ada
juga poster GNR yang sedang menulis sambil duduk itu. Kamarnya
berukuran sekitar 3x3 dan bersuasana gelap, apalagi kalau langit sedang
mendung. Di kamarnya itu, akhir-akhir ini dia sering melihat
langit-langit kamar sambil terbaring, sambil meresapi suasana kamarnya
yang hening dan senyap, sementara orang-orang sibuk dengan urusannya
masing-masing.
Mungkin sekitar tahun 1976 dia dilahirkan, sebab seangkatan dengan kakak saya yang sudah menikah itu. Sejak SD dia memang pintar, sehingga salah satu saudaranya membawa dia ke kota untuk melanjutkan sekolah di sana.
Tapi saya tidak tahu prestasi dia selanjutnya, sebab saya pun harus
punya kesibukan, harus punya kegiatan yang disebut sekolah, biar
tetangga tidak menyebut saya anak yang putus sekolah. Apalagi waktu itu
sedang gencar-gencarnya Wajib Belajar 9 Tahun, maka demi patuh pada
peraturan pemerintah, akhirnya saya disuruh sekolah juga sama bapak. Dia
sekolah, saya sekolah. Sekolah di mana-mana. Pengangguran di mana-mana.
Orang-orang
di kampung saya pasti terkejut dan tidak terima, jika akhirnya pada
suatu hari Darman pulang kampung, bukan untuk liburan, tapi untuk pulang
mencari penghidupan. Semua orang tahu bahwa kampung saya itu bukanlah
tempat yang baik untuk mencari nafkah, hampir semua pemuda di sana pergi ke kota
untuk mencari kerja, sedangkan dia malah pulang kampung untuk mencari
penghidupan. Maka bergosiplah orang-orang itu membicarakan Darman, si
anak pintar yang telah gagal dalam penghidupannya di kota.
Tapi buat apa mendengarkan ocehan orang lain, lebih baik dengarkan saja
kata hati, begitu pikirnya. Akhirnya dia diterima sebagai guru honorer
di sebuah sekolah swasta di kampung itu. Dan kehidupan baru itu
dijalaninya. Tahun demi tahun begitu, sampai akhirnya dia merasa bosan
dengan pekerjaannya itu. Tanpa pikir panjang akhirnya dia berhenti
sebagai guru honorer dan menyibukkan diri dengan hobi barunya : mancing
ikan di sungai. Tapi lama-kelamaan mancing di sungai kurang menantang
pikirnya, maka pindahlah dia ke arena lotre pancing, arena perjudian di
tengah kecipak ikan itu. Dan karena dia sudah tidak kerja, sudah tidak
ada sumber penghasilan lagi, maka uang untuk lotre pancing itu dia minta
ke ibunya. Sedangkan ibunya tidak tahu bahwa uangnya akan dipakai
untuk membayar pendaftaran lotre pancing. Demikianlah hari-hari Darman
selanjutnya berlangsung, tanpa kerja, tanpa kejujuran.
Manusia
yang dulu pintar itu, yang dulu menjadi harapan kampung itu kini
terperangkap dalam nasib yang mendung. Apa sebenarnya yang menjadi
impiannya, apa sebenarnya yang ada di batok kepalanya sehingga dia
menjadi seperti sekarang ini, benar-benar saya tidak tahu. Buku-buku
yang menumpuk di kamarnya kini menjadi kawan setianya, sebab kawan-kawan
seangkatannya sudah pada pergi, sudah menuju impiannya masing-masing,
anak-anak muda tetangganya pun entah kemana, mereka juga tidak ada, yang
ada hanyalah anak-anak sekolah SD dan SMP, yang baginya bukanlah kawan
sepadan untuk diajak bicara. Darman kini sering menyendiri di kamarnya
yang 3x3 itu. Langit-langit kamar semakin banyak goresan dari air yang
bocor waktu hujan. Pemuda itu kini terperangkap dalam dunianya yang
sunyi dan tak berkawan, dan ini adalah tragedy social yang mungkin juga
ada di sekitar kalian.
No comments:
Post a Comment