Sungguh terasa beda citarasanya. Malam nisfu Sya'ban, sehabis ngaji surat Yasin satu putaran dilanjutkan dengan nonton (lagi) film (500) Days of Summer : seperti sedang tamasya dalam hiperealitas. Segugus bintang kejora datang lagi, di saat mereka bertemu kembali di taman itu.
Tapi tiba-tiba saya teringat selatan Jakarta, saat hujan menderas di sana. Bunyi airnya yang mencium bumi menyembunyikan suara gunting yang tengah merapikan celana jeans. I love us. Saat batu sama-sama tidak bisa cepat dihancurkan, saya hanya mencintai rencana ke depan. Konfrontasi sudah lama dipecundangi diplomasi, dan rekonsiliasi adalah jalan menuju kebaikan.
Gigil yang berhembus dari temperatur tinggi adalah jalan untuk komunikasi, untuk sekedar menjelaskan bahwa the other side of affection tidak pernah pudar. Siapa yang beranjak?. Saya menemani dengan sepenuh khusyu, dengan partikel-partikel bening yang merayapi semesta. Barangkali selimut itu bisa menggantikan posisi, tapi tidak pernah benar-benar bisa. Saya lebih kedap udara, lebih hangat dari ruangan yang digelapkan.
Kartu ucapan, film, dan lagu-lagu pop adalah penyebab kebohongan dan sakit hati. Maka biarkan orang-orang mengucapkannya sendiri, bukan kata-kata yang ditulis oleh orang asing. Bila catatan ini pun disalahpahami, maka saya tidak akan ke mana-mana, tetap setia berjaga di garis udara, menemaninya merekontruksi bangunan yang diimpikan bersama.
I love us, maka menang dan kalah harus diistirahatkan. Biarkan yang berjalan adalah rencana-rencana, dan kewajiban kita adalah merawatnya. [ ]
No comments:
Post a Comment