Setiap
kali saya melintas di jalan kecil yang menghubungkan warung nasi Padang
dengan mesjid Al Falah, pasti saya dapat melihat jajaran jendela kamar
kost-kostan mahasiswa, ada yang besar dan bersih, ada pula yang kecil
serta kusam berdaki tebal. Kalau malam sudah larut menjelang pagi,
jendela-jendela itu menjadi tertutup dan gelap menandakan penghuninya
sudah terlelap tidur atau barangkali tidur bareng dan mengendap-ngendap,
tapi kedengarannya sama saja tidak ada suara gaduh bahkan terasa sunyi
atau mungkin sengaja dibikin sunyi, saya tidak terlalu tahu karena saya
tidak pernah dengan sengaja mengintip semua yang ada di balik jajaran
jendela itu. Dan jalan kecil itu selalu saja sepi kalau telah lewat jam
sembilan malam, orang-orang yang dari sore nongkrong bergerombol sudah
pada masuk rumah dan mungkin meneruskan gosipnya di dalam, saya kurang
tahu karena saya tidak pernah dengan sengaja menguping obrolan mereka.
Tak ada yang menarik perhatian saya dari jajaran jendela dan jalan kecil
itu kecuali sebuah jendela yang selalu terbuka baik siang maupun malam.
Jendela itu berada di lantai dua karena saya harus agak melihat ke atas
untuk mengetahuinya, mengetahui bahwa jendela itu terus-menerus
terbuka. Pertama kali saya melihatnya belum menarik perhatian bahkan
biasa saja, tapi setelah beberapa kali saya melewati jalan kecil, maka
heranlah saya pada jendela kamar yang selalu terbuka itu. Lalu saya
menerka-nerka, siapa orang yang ada di balik jendela terbuka itu?.
Pernah
suatu saat saya sengaja pura-pura beli nasi goreng yang kebetulan
tukang dagangnya sedang mangkal pas di bawah jendela yang terbuka
incaran saya, sayup-sayup terdengar ada suara musik dari dalamnya, saya
buka kuping ini lebar-lebar tapi terdengarnya samar sekali karena beradu
dengan suara kompor minyak gas dan suara wajan tukang nasi goreng,
ingin rasanya saya pukul kepala tukang nasi goreng karena sudah
mengganggu operasi penyelidikan saya. Dan penyamaran berakhir ketika
nasi goreng sudah selesai dibungkus, nasib nasi goreng berakhir di tong
sampah karena saya memang sedang tidak lapar, tidak lama kemudian ada
juga seekor kucing mengaduk-ngaduk tong sampah, tapi saya tidak mau tahu
soal kucing yang kelaparan. Esoknya saya sengaja lewat jalan kecil yang
semalam menjadi tempat mangkal tukang nasi goreng, ketika pas berada di
bawah jendela incaran, saya pura-pura membetulkan tali sepatu padahal
tidak terjadi apa-apa, sengaja saya pakai sepatu padahal cuma mau beli
nasi Padang.
Tapi sialan tak terdengar suara apa-apa dari balik jendela yang
terbuka, yang terdengar hanya suara terompet yang ditiup anak-anak kecil
dari kejauhan, padahal tahun baru masih jauh karena sekarang baru meil.
Lama-lama segan juga jongkok sambil pura-pura membetulkan tali sepatu,
dan karena saya baru ingat bahwa sepatu yang dipakai adalah pantovel
tanpa tali. Lalu pergilah saya ke warung nasi Padang dan pulangnya tidak lupa mengawasi jendela terbuka yang misterius itu.
Rumahnya
bernomor 177 blok 8, demikian yang saya lihat di dinding tembok lantai
satu tempai si jendela terbuka menumpang hidup. Di lantai satu juga saya
tidak melihat ada penghuni yang suka keluar, rumah itu sepi dan seperti
tak ada penghuninya padahal di halaman ada tiga buah motor sedang
parkir. Saya kemudian pura-pura cari kost-an dan kebetulan ada seorang
ibu sedang menunggu warung tidak jauh dari si jendela terbuka incaran
saya. Kebetulan lagi si ibu warung membawa saya ke rumah bernomor 177
dan diperkenalkan dengan pemiliknya. Katanya ada satu kamar lagi yang
kosong di atas, kemudian saya dibawanya ke atas, inilah saatnya untuk
mengetahui siapa penghuni jendela terbuka siang dan malam itu, begitu
pikir saya. Ternyata di lantai dua itu pintu kamar si jendela terbuka
tertutup rapat sehingga saya tidak bisa melihat manusia di balik pintu.
Saya kemudian tanya si pemilik rumah yang belakangan diketahui bernama
Ny. Endeus, katanya penghuni kamar itu seorang mahasiswa di kampus yang
tidak jauh dari kelurahan itu. Saya coba tanya namanya tapi sayang Ny.
Endeus tidak mau kasih tahu, mahasiswa itu tidak mau jika namanya
disebarluaskan katanya. Lalu saya tanya barang kali Ny. Endeus tahu
nomor teleponnya yang kemudian dijawab : “boro-boro kasih nomor telepon,
namanya aja ga boleh disebarluaskan”. Karena kamar yang “bakal menjadi”
kamar saya terlalu kecil dan kurang sirkulasi udara, maka saya tidak
jadi menyewa kamar kost-an Ny. Endeus, juga terutama karena saya hanya
pura-pura mencari kamar.
Karena
kalau setiap hari melintasi jalan kecil dan mengawasinya dengan
tindakan pura-pura yang beragam itu sangat merepotkan, akhirnya saya
putuskan untuk pindah kost-an ke dekat rumah si jendela terbuka, sengaja
saya tidak serumah dengan si jendela terbuka agar penyelidikan lebih
asyik dan berseni. Tepat di sebelah kiri rumah yang baru saya sewa ada
satu rumah yang berhadapan langsung dengan rumah si jendela terbuka,
jadi arah rumah si jendela terbuka dengan kostan saya berbentuk seperti
diagonal dan itu cocok buat operasi penyelidikan. Setiap hari dari balik
jendela kamar saya yang berwarna gelap, saya arahkan pandangan pada si
jendela terbuka, siapa tahu ada kepala nongol untuk meludah atau ada
tangan buat buang puntung rokok, tapi setelah satu minggu mengawasi
ternyata hal tersebut tidak ada. Dan saya masih punya stok kesabaran
yang sangat banyak. Suatu hari ada yang turun dari lantai dua rumah si
jendela terbuka itu, seorang laki-laki berseragam rapi seperti mau
berangkat kerja, kemudian saya tanya apakah dia penghuni kamar yang
berjendela selalu terbuka, dia jawab bukan dan dia juga tidak mau kasih
tahu nama penghuni sebenarnya ketika saya tanya. Apakah si penghuni
jendela yang selalu terbuka itu perempuan atau laki-laki sama saja, dia
juga tidak mau kasih tahu.
Sore
hari ketika anak-anak mahasiswa sudah pada pulang dari kampusnya
masing-masing, saya datangi rumah si jendela terbuka itu dan permisi
sama si ibu kost bahwa saya mau berkenalan dengan orang yang berjendela
selalu terbuka itu. Tapi rupanya dia sedang tidak ada di kamar, sebab si
ibu kostnya bilang dia sedang pulang kampung. Kampungnya di mana
rupanya tidak menimbulkan rasa ingin tahu si ibu kost sehingga saya pun
tidak tahu di mana kampungnya itu. Kapan dia pulang pun si ibu kost
tetap saja tidak tahu, sebab dia terlalu sibuk mengurus anak semata
wayangnya yang perempuan, yang kebetulan sedang mekar-mekarnya, yang
menyebabkan si ibu kost harus ekstra memperhatikan setiap kegiatan
anaknya, mungkin dia takut apabila anaknya kemudian sering main ke dugem
atau mungkin takut jika anaknya pacaran sama laki-laki yang brengsek
yang akhirnya akan merampas masadepan anaknya. Tapi saya lihat anaknya
memang sering keluar malam dengan berdandan seksi dan minyak wangi
melumuri seluruh tubuhnya, saya tahu betul sebab setiap malam minggu
saya sengaja nongkrong di teras rumah kontrakan saya yang baru dan
sering melihat anak ibu kost itu keluar dengan wangi-wangian serta
dandanan yang menggiurkan. Tapi saya tidak perlu betul memperhatikan
anak ibu kost si jendela terbuka, yang saya perhatikan hanyalah penghuni
jendela yang selalu terbuka, yang sampai sekarang belum diketahui
namanya dan saya pun belum tahu dan belum pernah melihat orangnya.
Tak
terasa sudah hamper tiga bulan saya melakukan penyelidikan pada si
penghuni jendela yang selalu terbuka, dan kemudian saya berpikir buat
apa saya pusing-pusing mencari tahu si penghuni jendela aneh itu?. Iya,
akhirnya saya bisa juga berpikir demikian dan mulai keesokan harinya
saya hentikan segala aktivitas penyelidikan itu. Tapi tak disangka
sebelumnya, ketika saya mulai menghentikan penyelidikan, tiba-tiba saya
melihat ada tangan membuang abu rokok dari jendela yang selalu terbuka
itu, dan ini rupanya sangat menggoda saya untuk mengingkari penghentian
aktivitas penyelidikan. Saya langsung menuju ke TKP dan mengetuk pintu
rumah dari lantai satu. Dari balik daun pintu itu muncul anak si ibu
kost dengan pakaian menggoda iman, tanpa basa-basi busuk saya langsung
minta izin mau kenalan sama si penghuni jendela terbuka, dan si pakaian
penggoda iman mengijinkannya, karena saya kenalan atau tidak dengan si
penghuni jendela terbuka bagi dia tidak ada manfaatnya. Sesampainya di
lantai dua tepat di depan pintu kamar penghuni jendela terbuka itu saya
diam atur nafas, seperti pemburu sedang membidik sasaran tembaknya.
Sebelum pintu diketuk tiba-tiba pintu sudah terbuka duluan dan kawan
lama saya tengah berdiri di balik pintu kamar itu. Kamarnya sedang gaduh
waktu itu. Ada
suara musik dari computer, ada bunyi ringtone hp, ada bunyi berisik
dari televisi dan dering alarm jam. Setelah saya masuk semua
bunyi-bunyian berhenti kecuali suara berisik televisi yang sengaja tidak
dimatikan oleh kawan lama saya. Sengaja tidak dimatikan sebab acara
infotainment sedang ditayangkan di sana. [ ]
No comments:
Post a Comment