Di
pasar dekat alun-alun, dulu dia berjualan nasi, semacam warung nasi
yang menjual macam-macam lauk dan nasi tentunya bagi para pedagang baju
dan sembako yang berdatangan dari penjuru desa. Ada juga para karyawan
kecamatan dan kewedanaan yang mengisi perutnya ke sana, ke warung nasi
mak Engkom, lalu datang keuntungan atau laba hasil dari berjualan nasi
tersebut, sebagai bekal nanti untuk dibawa pulang ke rumah. Laba yang
tidak banyak harus dibagi-bagi pula dengan anaknya yang dua orang, yang
kedua-duanya laki-laki, yang kedua-duanya pengangguran. Maklum lulusan
SD, di kampung pula. Maka dua-duanya sampai usia 31 tahun waktu itu,
masih juga mengandalkan ibunya, mak Engkom, untuk membiayai kehidupan
sehari-hari yang hanya makan, minum dan rokok. Kebutuhan sederhana itu
harus ditanggung mak Engkom dari laba jualan nasinya yang tidak
maju-maju. Semenjak saya masuk SD untuk permulaan kali sampai sekarang
sudah lulus kuliah, warung nasinya tidak maju, bahkan bangkrut dan habis
tak bersisa. Maka sekarang saya sering mendapatinya, mendapati mak
Engkom sedang melamun di pinggir kali, di dekat rumahnya yang gelap dan
lembab.
Kali
yang memanjang dari sumber mata air yang sudah kering di kaki bukit,
melintasi juga kampung saya, melintasi juga halaman belakang rumah mak
Engkom. Kali yang dari dulu hanya penuh dengan sampah dan kotoran
manusia serta air keruh, tiap sore berhadap-hadapan dengan mak Engkom,
entah apa yang ada di pikirannya, yang ada di lamunannya, mungkin
masalalu, mungkin juga masadepan, saya tidak tahu persis. Tapi jika
dilihat dari usianya yang hampir mendekati 70 tahun, mungkin dia sedang
bercengkrama dengan masalalunya, dengan masa-masa mudanya yang
meliuk-liuk.
Sebelum
saya lahir, suami mak Engkom telah meninggal dunia atau lebih tepatnya
menghilang, karena dia pergi dan tak pernah kembali, begitu cerita ibu
saya. Waktu itu adalah ketika ada gejolak di Jakarta
yang menyebabkan beberapa Jenderal Angkatan Bersenjata meninggal dunia
oleh huru-hara, atau kakek saya lebih senang menyebutnya sebagai
pengkhianatan partai politik katanya. Dan pada sebuah sore yang merah,
suami mak Engkom mengibas-ngibaskan semacam kipas untuk mendinginkan
tubuhnya yang gerah sehabis kerja, dan di kipas itu ada gambar palu
aritnya, maka beberapa hari setelah meletus huru-hara di Jakarta,
ternyata sampai juga apinya ke kampung saya. Dan di sunyi senyap siang
yang panas, maka digiringlah suami mak Engkom ke sebuah truk yang
berjejalan manusia untuk dibawa ke kota.
Semenjak itu dia tak pernah kembali lagi ke lembaga kehidupannya, dia
meninggalkan istri serta dua orang anak laki-laki yang sampai sekarang
pengangguran. Lembaga kehidupan yang hancur itu akhirnya harus bertahan
hidup dengan susah payah, sampai akhirnya berhasil punya warung nasi
untuk melanjutkan hidup, sampai akhirnya sekarang bangkrut juga karena
gelombang krisis ekonomi yang bertalu-talu menghajar rakyat kecil.
Rumahnya
menghadap ke barat, membelakangi rahmat cahaya matahari di pagi hari.
Lembab dan gelap di sana-sini sebagai kompensasi tidak bersentuhan
dengan sinar mentari, bahkan beberapa dindingnya telah lepas terkelupas
dan cat pudar melingkupi semesta rumah. Tapi yang hendak saya bicarakan
adalah kali yang melintas di halaman belakang rumahnya. Ada juga pohon
alpukat yang penuh ulat di dekat rumah, serta satu bangku kayu yang
sudah tua tempat mak Engkom tua melayangkan tatapan kosongnya setiap
hari, dari pagi sampai sore selalu begitu, setiap saya melewati bagian
belakang rumahnya, maka setiap itu pula saya melihat dia, seorang
manusia tua yang sorot matanya mulai pudar sedang mengenang-ngenangkan
hidupnya yang berliku-liku. Tak ada seorang pun yang peduli untuk
menyapa perempuan tua itu, seolah-olah dia adalah unsur sosial yang
sudah tidak bermanfaat, yang sudah tidak ada artinya sama sekali, laku
orang-orang memperlakukan Museum Pos yang sepi pengunjung.
Pernah
pada suatu pagi yang masih meremang, ketika saya disuruh untuk membeli
rokok, dan untuk sampai ke jalan desa, ke jajaran warung kelontongan,
pastilah saya harus melewati rumah belakang mak Engkom dan mendapatinya
sedang dalam penuh mendung raut mukanya. Seolah-olah hujan lebat akan
turun di muka keriputnya, saya benar-benar tidak tahu apa yang sedang
berkecamuk di langit jiwa orang tua itu. Kosong, dan tatapannya kosong
masih seperti biasa, menerawang, menembus batas waktu yang entah kapan
bermula dan entah kapan akan berakhir. Perempuan tua itu adalah manusia
republik yang kian tersingkir di semak-semak zaman yang terus bergerak
cepat meninggalkannya. Semakin hari, semakin tak nyaman saya melihatnya,
melihat perempuan tua itu. Seperti ada rasa iba yang mencuat dari jiwa
saya. Entah orang-orang yang lalu-lalang seperti saya ini, yang pasti
saya tidak pernah melihat dia berkomunikasi dengan satu orang pun
diantara para pejalan kaki yang melewati halaman belakang rumahnya.
Sampai
tibalah pada suatu sore yang merah, ketika kelelawar mulai berkeliaran,
saya tidak mendapatinya lagi. Entah ke mana perempuan tua yang selalu
murung itu. Saya hanya mendapati bangku tuanya yang kosong dan pohon
alpukat yang masih penuh dihinggapi ulat bulu. Wajah-wajah murung
penghuni kampung berkurang satu lagi, begitu pikir saya. Kemudian
mencoba bertanya pada orang-orang yang suka lewat, tapi mereka tidak
tahu, bahkan tidak pernah melihatnya sama sekali katanya. Mau bertanya
pada kedua anaknya yang pengangguran, susah, sebab mereka kini telah
pergi ke kota, mencoba mengadu peruntungan mungkin. Ke mana perempuan tua pemurung itu?.
Dua
hari setelah kasus menghilangnya, masyarakat menemukannya telah
terbujur kaku di sebuah kebun yang sunyi milik warga. Di bawah pohon
rambutan yang rindang, jasad tua itu menghembuskan nafas terakhirnya.
Terasing. Dalam hidup dan matinya, perempuan tua itu sangat terasing. [ ]
No comments:
Post a Comment